Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Salah Kaprah Pendidikan

8 Mei 2016   09:24 Diperbarui: 8 Mei 2016   09:37 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mei identik dengan pendidikan. Anak-anak sekolah berjibaku dengan ujian akhir dan usaha masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan sejatinya memberikan kecerdasan, kebebasan, kekritisan, dan kemampuan olah pikir, olah rasa, dan olah pengetahuan dengan cerdas, bijak, dan bebas. Masalah yang ada perlu diselesaikan dengan segala konsekuensinya. Pedih dan perih tetap saja harus dilihat, dievaluasi, dan akhirnya diselesaikan. Kritik bukan berarti tidak suka, justru bentuk peduli, bukan hujat cela tanpa kontribusi.

Beberapa istilah salah kaprah dan diyakni kebenarannya. Seperti istilah air putih yang jelas salah, air bening, kalau air putih itu susu. Atau menanak nasi, yang tepat adalah menanak beras. Kesalahan yang dianggap wajar sepertinya benar. Tidak heran maling pun dianggap apes kalau ketangkap, dan sejenisnya.

TK Berkualitas itu Anak Pinter Calistung. Baru saja saya dengar pas di angkutan umum seorang ibu menggerutu anaknya yang ada di TK hanya diajak main, nyanyi, dan piknik belum bisa baca sama sekali. TK-nya tidak maju. Wong yang di tempat lain sudah bisa kog. Kemajuan anak itu sesuai dengan kemampuan umur. TK memang sewajarnya nyanyi, main, latihan bersosialisasi dengan kelompok yang lebih besar. Pemahaman selama ini, TK maju itu sudah cas cis cus bahasa Inggris, membaca, menulis, dan berhitung. Pemahaman yang tercipta karena kesalahan selama ini. anak dibebani dengan banyak hal yang belum saatnya. Memang banyak yang masih meyakini TK sudah saatnya mampu calistung. Saya pribadi tidak setuju karena banyaknya anak-anak yang lebih dewasa, bahkan orang tua yang kekanak-kanakan karena masa kecilnya kurang bahagia, wajah anak sekolah kuyu karena beban berlebihan. Memang perlu riset yang lebih mendalam dan menyeluruh.

Sekolah Gratis, jargon politis para caleg, cegub dan cabup/wakot. Pendidikan itu tidak murah. Pendidikan gratis menyisakan masalah, pertama, tidak adil karena orang kaya pun mendapatkan subsidi yang sama dengan yang tidak mampu. Lebih bijak adalah pendidikan terjangkau. Dengan demikian, anak miskin pun bisa mendapatkan pendidikan berkualitas dan bermutu. Subsidi silang bisa diterapkan dan itu adalah peran pemerintah yang bisa mengontrol, mendistribusikan, dan memberikan jalan agar akses pendidikan berkualitas bisa dienyam oleh seluruh generasi potensial yang ada. Jangan heran ada anak cerdas yang terlindas karena kesempatan. Sekolah-sekolah bermutu biasanya memang mahal, dan itu tidak salah. Salah kalau mahal tapi tidak berkualitas. Memang idealnya adalah terjangkau, karena murah dan mahal itu relatif.

Wajib Belajar Sekian Tahun, kembali ini jargon pembangunan Orba yang diambil alih beberapa capimda yang kurang kreatif. Dulu untuk bebas buta huruf ada program wajar, wajib belajar enam tahun alias minimal lulus sekolah dasar. Kini banyak calon gubernur edan-edanan dengan menargetkan wajar dua belas tahun gratis lagi. Ha...ha...dua salah kaprah ditimbun. Memang lamanya pendidikan menjamin kualitas? Tidak, itu hanya sarana. Banyak kog tanpa sekolah bisa eksis dan tidak kalah. Bukan berarti sekolah tidak penting, bukan demikian. sekolah atau pendidikan itu membebaskan bukan diwajibkan, jangan heran anak sekolah sekarang beringas, mudah tersulut emosinya, karena beban yang dipikul luar biasa berat demikian juga gurunya. Istilaah kecil yang sangat membebani, secara tidak sadar itu adalah tekanan spikologis bagi dunia pendidikan.

Panjang dan Lama Proses Pendidikan itu Bagus, jangan heran lembaga pendidikan memberikan bannerpromosi akan menuliskan pelajaran sepanjang hari. Dagelan lucu paling ironis, anak juga perlu bermain, menikmati dunia dengan paradigma mereka, sosialisasi, main bahkan hujan-hujanan pun bagian utuh dari itu semua. Bagaimana mereka bisa bebas dan kritis karena dikejar-kejar dengan target di sekolah. Pulang buat pekerjaan rumah, kehabisan daya, nakalin adik, lari tidur. Anak diperkosa dari dunianya dan dibajak untuk dipola seperti maunya lembaga pendidikan.

Les Di Mana? Entah ini harus bagaimana. Les-lesan jauh lebih menjanjikan dan membantu anak bisa lulus, bisa lulus bukan bisa belajar untuk hidup. Bisa saja bahwa nilai UN sangat tinggi, namun apakah hal lain terbina di lembaga les? Pesimis dengan ini. Les hanya membantu beberapa matpel yang ada di-UN, artinya bahwa tujuannya lulus (paradigma lalu). Nilai tinggi juga akan ditanya lesnya mana, bukan sekolahnya mana? Apa artinya, dunia kebalik. Tidak sedikit lembaga les atau guru les adalah pembunuh pendidikan. Mereka mau membuatkan pekerjaan, tugas, dan menggambil alih tugas siswa agar mereka tetap menjadi  klien mereka. Jangan heran anak di sekolah malah ogah-ogahan karena lebih mahal les-nya dan jelas intensif di les-lesan karena hanya beberapa orang per grup, namun lepas nilai kehidupan yang lain. Ada lembaga les yang menjadi ajang berkumpul untuk mendapatkan bocoran soal, pagi-pagi banyak anak ngumpul demi bocoran, tentu sangat ironis bukan.

Beberapa istilah yang tenar di dunia pendidikan yang perlu diubah dan dijadikan pembelajaran bersama jika hendak memiliki kualitas pendidikan yang lebih baik. Usaha-usaha sudah dilakukan, dan perbaikan demi perbaikan perlu lebih ditingkatkan.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun