Haji Lulung yang Merana dan Merasa Dipolitisir serta Tidak Diapresiasi jika Berjasa
Haji Lulung kali ini merasa dipolitisir, bukan seperti rekannya yang biasa memakai istilah dizolimi, sambil menunjuk wartawan yang mewawancarai, ia mengatakan soal USB dan UPS, soal BPK tidak pernah bohong itu selip lidah karena sibuknya dia menjadi pembicara di mana-mana. Perlu dipahami, dimengerti, dan jangan dipolitisir. Kalau gua benar dan berjasa, lue pada lupa dan tidak ditulis, begitu kira-kira kalimat yang ia lontarkan, sepanjang terjemahan saya.
UPS dan USB.
Menjadi bahan olok-olokan karena sangat fatal. Kalau dia mengatakan tidak tahu dan mengatakan pembenarnya karena sibuknya berbicara di mana-mana, menjadi pernyataan, bagaimana kualitasnya sebagai pimpinan dewan ibukota, namun pengetahuan sepele seperti itu tidak tahu. Hal sangat fatal dan mendasar, karena persoalan yang sedang hangat dibicarakan namun sama sekali tidak tahu.
Dan soal ini saya yakin jujur pengakuannya soal tidak tahu. Lebih jauh adalah apakah jujurnya itu cukup sebagai seorang pimpinan dewan, sering kunker ke luar negeri namun membedakan dua benda teknis seperti itu saja tidak tahu? Bagaimana kemampuan bahasa asingnya, memahami bahasa hukum, dinamika politik, dan soal kekinian lainnya. jangan-jangan kalau beliau mengeluarkan pendapat pun tidak jauh berbeda tanpa tahu apa artinya, asal bicara? Jika iya, apakah tidak malu kalau kemampuan segitu, tanpa mau belajar paling tidak bisa lebih bijak dan maaf tidak kelihatan bodoh. Jujur memang baik, namun apakah tidak lebih baik lagi, pinter, bijak, dan jujur? Apakah kurang orang?
BPK Tidak Pernah Tidak Bohong.
Ini paling fenomenal, di mana ketika sedang heboh-hebohnya orang menaruh curiga ke BPK, orang yang paling getol berseberangan dengan tokoh yang berselisih dengan BPK malah memberikan penegasan soal BPK yang selalu bohong. Soal selip lidah okelah, bolehlah, dan manusiawi, namun apakah demikian ketika berulang? Ini bisa saja bawah sadar yang ia ketahui bahwa BPK memang “tukang bohong”, yang mau mengatakan BPK tidak pernah bohong kelebihan satu tidak, sehingga menjadi tukang bohong.
Pengakuan di bawah sadar. Pengakuan beliau mengatakan lagi-lagi soal manusiawi dan sibuknya menjadi pembicara. Apakah cukup pembelaan diri ini? kelihatannya tidak. Berbicara dalam berbagai kesempatan juga memang belepotan kog, bukan soal manusiawi yang terbatas namun memang kemampuannya yang sekali lagi, maaf, memang sangat terbatas. Dengan kata lain sangat kurang untuk menjadi seorang pimpinan dewan di Jakarta lagi.
Terbatas itu Manusiawi, Cerdas itu Belajar
Sepakat bahwa manusia itu terbatas. Namun bukan dengan dalih keterbatasan sebagai topeng karena manusia. Semakin tinggi jabatan jangan saja meminta dan menuntut gaji besar, namun juga makin besar pula tanggung jawab dan kerjanya. Salah satunya banyak belajar dan banyak membaca. Jujur untuk menutupi kekurangan juga tidak bijaksana, mengapa soal Lambo, soal Tanah Abang tidak mengatakan yang sama? Risiko pekerjaan ya jelas saja menguasai banyak bidang dan apalagi di era media seperti ini? Ya jelas saja menjadi bulan-bukanan.
Baik Gak Diingat, kalau Salah Dibesar-Besarkan.