Sejak menjelang pemilu dan pilpres hingga hari ini, Golkar utamanya sang ketum ARB sering jualan barang basi. Lha warung makan yang ketahuan sekali saja jual dagangan kemarin dengan diangetin akan ditinggal konsumen, lha ini parpol. Tidak heran meski peringkat dua, dia tidak laku pas pilpres dan hingga hari ini belum beranjak dengan perubahan yang signifikan. Belum lagi tarik ulur soal ketum baru usai perpecahan yang berlarut-larut.
Sebelum lengsernya kedudukan dewan ke yang baru, wacana pilkada tak langsung mereka usung. Bersama gerombolannya dan Demokrat yang main dua kaki sukses mengetok di dewan, bahwa pilkada akan kembali ke format lama, alias dilakukan dengan pemilihan oleh anggota dewan daerah. Demokrasi akal-akalan menang sejenak. Pimpinan sidang kala itu dari Golkar tertawa girang dan bertepuk tangan bahagia.
Masa kampanye pileg, Golkar memilih promosi jualannya dengan “ISIH ENAK ZAMANKU TO?”masih enak zamanku to? Dengan gambar Soeharto yang tersenyum. Padahal senyum Soeharto sama juga dengan kematian, hal yang sangat diingat para aktivis orde lalu. Eh malah dipakai jualan. Saksi, korban itu masih banyak yang ingat senyum itu membuat mereka seperti apa. Eh malah seolah dipampang untuk mengingat perilaku yang tersenyum itu.
Pemilu dengan sistem tertutup, saya pahami akan kembali ke pola lama, dengan peran parol jauh lebih besar dengan memberi nomor dan memilih parpol bukan orang. Tidak heran dulu pemilu ada yang namanya calon nomor sepatu, puluhan tidak akan jadi selain penggembira, nomor kecil itu milik pengurus dan keluarga, kerabat, sobat, dan lagu Iwan Fals, para juara ha...ha..ha.... Apa artinya, bahwa parpol pegang kendali penuh dan lagi rakyat jadi penonton dagelan demokrasi, untung sama sekali tidak jadi gaung apalagi mendapat respons.
Terbaru, PDIP memiliki Sukarno, Golkar punya Pak Harto. Selain dagelan juga sangat basi. Ingat untuk mengangkat Pak Harto jadi pahlawan saja masih alot, eh dibanggakan sebagai milik yang disejajarkan dengan Bung Karno. Bukan hendak menghujat Pak Harto, namun saksi korban Pak Harto ini masih eksis dan banyak pada posisi emas di segala bidangnya. Dengan tidak mengurangi jasa Pak Harto, apa yang dikenang umum adalah diktator, korup, kolutif, dan nepotis handal. Susah melihat bagaimana Pak Harto sebagai perencana repelita, KB, dan kebaikan lainnya. Tetap saja hitam dan susah untuk melihat sosok Pak Harto yang menjual dengan daya jual sangat tinggi. Lebih-lebih perlakuan Pak Harto ke Bung Karno yang mulai dikuak dan dibicarakan dan itu kembali menjungkalkan nama Pak Harto.
Miskin ide segar malah mengambil sejarah masa lalu yang kelam dan kontroversial. PDI-P malah cerdas dengan ide GBHN yang menggelinding dan mendapatkan dukungan positif. Mengapa bukan Golkar yang bangga dengan GHBN kala pemilik golongan ini berkuasa. Atau repelita dan pelita yang digagas rezim Pak Harto. Cacatan dan persoalan di sana bukan programnya. Pembangunan berkelanjutan dan terencana bukan untuk maling anggarannya namun untuk memberikan gambaran besar mau seperti apa negara ini dibangun. Golkar bisa menjadi pionir untuk itu. Eh malah jual sosok yang susah untuk dikemas, apalagi tanpa kemasan. Keluarga berencana, catatan bahwa dulu terlalu kasar dan vulgar namun bahwa keluarga harus direncanakan tentunya baik, bukan malah sibuk dengan persoalan sendiri dan lepas konteks jualan. Parpol seperti dagangan, tanpa polesan dan cara menjual yang bagus susah untuk bersaing.
Belum lagi sikap Golkar dan Ical sebagai ketum dengan gerombolannya selama ini cenderung ugal-ugalan dan akal-akalan. Parpol seperti milik, memang Pak Harto dulu demikian, namun kini berbeda lah, eh sikap yang dimaui sama. Terbaca dengan gamblang, Golkar itu milik Ical dan teman-teman, bancaan proyek, banyak kasus, mikir kelompok, dan tidak mau maju, selain bangga akan masa lalu. Mau apa dengan demikian?
Catatan untuk Ical secara khusus, bagaimana ia pengusaha namun susah untuk berjualan dengan smart,justru apa yang jadi jargonnya sering salah dan menjadi blunder sendiri. Dulu berkolaborasi dengan Demokrat, namun menghantam membabi buta pada pemerintah. Sikap yang buruk karena bukan kritis namun cari keuntungan sendiri. Ada di kabinet namun kalau menguntungkan dalam citra publik bisa berseberangan. Saat pemerintah berganti dan menyatakan diri berseberangan, parpol ada perselisihan, malah mengatakan kalau penguasa tidak suka dengannya. Lho, piye to Bro? Katanya pimpinan parpol besar, capres kog, melow? Perusahaannya mulai gagal dan jelas beban ada di Lapindo. Corong medianya juga sangat memihak membabi buta yang membuat orang malas untuk memperhatikan.
Keberanian Ical untuk melepaskan Golkar bagi generasi lain, apalagi bukan gerombolannya, bisa menjadi salah satu solusi mengembalikan kejayaan Golkar. Susah juga kalau mau menggunakan Golkar sebagai kereta sekaligus pelindung bagi kepentingan diri dan gerombolannya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H