Daffa, Ridwan Kamil, Ahok, antara Esensial dan Artifisial
Beberapa kasus menunjukkan banyaknya hal yang esensial lepas dan malah menjadi booming yang permukaan. Beberapa tokoh dan kisah ini secara obyektif memberikan gambaran yang identik.
Daffa beberapa hari yang lampau menjadi pembicaraan hangat. Sebenarnya anak ini wajar, normal, dan biasa saja. Menjadi luar biasa karena dunia bangsa ini yang sudah jungkir balik. Kisah mengenai anak kecil yang mengusir pelanggar lalin. Persoalannyaadalah adanya pelanggaran hak orang lain dan oleh polisi dan aparat penegak hukum justru tidak disikapi dengan semestinya. Harusnya malu,bukan bangga dengan si anak. Bukan meremehkan Daffa dan keberaniannya, namun ke mana polisi, dishub, dan nurani para pelanggar itu.
Ridwal Kamil, beberapa waktu lalu, walikota keren ini lepas kendali dan “menggampar” sopir angkot. Persoalan adalah “sopir angkot yang melanggar.” Soal pukulan, atau toyoran itu hanya sisi lain. Bisa dipahami bagaimana jengkelnya walikota yang menegur malah kena bantah dan bisa dibayangkan bahasa dan cara ngeyelnya kru angkutan umum kalau melanggar. Apa yang dihebohkan? Kang Emil memukul sopir, orang kecil diperlakukan semena-mena, dan kasus semestinya malah tidak dibicarakan, seolah menjadi benar karena ada perlakukan kasar sang walikota.
Ahok, dicari yang lebih obyektif, soal anggaran siluman, masalah lain akan menimbulkan debat tak berujung. Berbeda dengan kasus soal anggaran yang jauh lebih obyektif. Persoalan adalah adanya maling anggaran, dan apa yang menjadi kehebohan adalah masalah carayang dipakai Ahok. Misalnya cara menulis gila, nenek lu, ingat, masalah maling bisa terlupa dan malah menjadi lebih terfokus ke cara berkomunikasi Ahok. Itu padahal sisi yang berbeda.
Mengapa lepas yang esensial dan sering mengurusi yang artifisial?
Pertama, suka atau tidak suka, pendidikan formal kita hanya penghafal. Apa artinya? Sepanjang sama dengan buku atau yang diajarkan guru, dari a hingga z, bahkan ada yang titik koma pun persis, maka tidak heran hanya mampu mencerna hal-hal yang remeh dan mudah lupa akan hal yang mendasar. Sikap kritis dari pendidikan sangat susah diharapkan karena adanya pendidikan yang menghasilkan pembeo.
Kedua, keteladanan. Lihat saja bagaimana pejabat dari yang paling tinggi sering melenakan dan ngeles dengan menutup kasusnya dengan kisah yang lain. Contoh, menteri ketangkap maling eh malah mengatakan bahwa ia berprestasi, banyak berkorban untuk negara, mengapa malah disidang dengan tidak semena-mena. Esensinya adalah maling, mau ditutup-tutupi dengan telah berprestasi dan mengorbankan diri bagi bangsa dan negara. Jelas saja contoh buruk dari atas.
Ketiga, maaf seribu maaf, suka atau tidak suka, kita memang tidak mampu mencerna yang esensial selain yang ada di permukaan. Bukan sekali dua kali, bagaimana bisa pelaku perdagangan narkoba bisa merasa menjadi korban dan diamini dengan gegap gempita oleh banyak pihak dan pribadi.
Keempat, sistem politik dan pendidikan kita, diciptakan hanya berjangka pendek, dengan menghafal itu, sekejab saja menggendap, kemudian datang yang baru dan hilang. Apa akibatnya, mudah lupa. Apa akibatnya, kasus demi kasus datang dan tidak selesai, akan ditingkahi dengan kasus baru dan yang lebih lama terlupakan dan aman.
Daffa, itu sama saja dengan KPK, jargon kog aneh dan salah begitu, bagaimana tidak BERANI JUJUR HEBAT. Sesuatu yang wajar, normal, sangat biasa menjadi luar biasa karena lingkungan yang sangat buruk. Daffa memang layak mendapat apresiasi, namun tentunya ironis kalau polisi yang digajipun berlaku sebaliknya dengan anak kecil ini. Lihat saja berapa banyak polisi atau dishub yang mengendarai motor di trotoar. KPK juga setali tiga uang, jujur itu keharusan, sebuah tindakan dasar bukan sebuah prestasi atau kehebatan. Hal yang sangat biasa, karena hampir semua tidak jujur akhirnya jujur itu hebat, padahal itu sesat.