SARA, Benar, Salah, atau Etis, Belajar dari Pengalaman Menonton the Young Messias
Soal SARA sedang panas-panasnya. SARA susah untuk diukur sebagai benar dan salah, ranah etis, moralitas, dan rasa jauh lebih berperan. Kita tentu tidak bisa mengatakan yang sama dan menilai sebagai absolut bahwa ini SATA atau bukan. Bisa saja orang yang sama akan menilai kali ini SARA esok memaknai sebagai bukan.
Kita bisa belajar dari contoh beberapa hal berikut.
Pertama, tentu SARA tidak akan mungkin seperti matematika, 1+1= 2, jelas itu benar. Akan dengan mudah dikatakan 2*3= 7, jelas saja salah. Ranah yang berbeda tentu bisa menimbulkan pro dan kontra. Contoh, dalam salah satu novelnya Mira W mengisahkan tokohnya, paling suka kalau dipanggil China, “Hai, China...” meskipun sedang lupa ingatan ia tahu siapa yang memanggilnya demikian. di waktu lain ketika kerusuhan Malari, mobilnya dijungkirbalikkan dan dibakar, ia trauma dan memutuskan pergi. Jelas bukan bahwa kata yang sama bisa berbeda menurut konteksnya?
Kedua, saat menyaksikan film the Young Messias, ada tiga ornag berjilbab menonton juga, pling awal datang malah, dan sama sekali tidak ada persoalan, sekadar menonton tentunya. Ketika dalam salag satu penggalan kisah penjelasan, mereka tertawa, jelas saja ini karena konteksnya berbeda dengan iman mereka. Ini bisa menjadi SARA karena ia menertawakan iman yang bukan iman mereka. Mereka menonton dengan suka rela, membayar sendiri, dan tentu saja mereka diandaikan sudah tahu isi cerita film tersebut. Akan bisa dimaklumi kalau mereka dipaksa oleh sekolah misalnya untuk menonton film tersebut.
Ketiga, orang Jakarta sering menyebut Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai Jawa saja. Memangnya Jakarta bukan masuk Pulau Jawa? Bukan. Tidak ada selat yang memisahkan antara Jawa Tengah dan Jakarta bukan? Konteks sangat menentukan, ada nada merendahkan atau tidak.
Keempat, pengalaman ketika pertama kali di Pontianak. Satu truk militer semua berbicara bahasa Mandarin. Saya sama sekali satu kata saja tidak tahu. Ada anak siswa satu yang baik hati dan menyapa dan mengajak ngobrol saya dengan bahasa Indonesia. Pengalaman berbeda akan membawa orang menjadi toleran. Sikap superior biasanya dialami orang yang belum pernah hidup di antara kelompok di mana ia merasa sedikit dan kecil.
Kelima, pengalaman rekan yang hidup di pulau lain, ia bertemu dengan sesama dari pulau yang sama, kelompok tuan rumah marah, padahal ketika mereka sedikit dan yang banyak berbicara dengan bahasa ibu mereka juga merasa terancam dan merasa digrundeli, dirasani, atau dibicarakan di belakang. Sikap ini ada rasa tidak bisa dipaksakan bahwa benar atau salah. Persepsi yang bisa salah bisa pula benar.
Keenam, bangsa ini sudah usai dengan keputusan dibangun di atas perbedaan dengan Bhineka Tunggal Ika, keberanian hidup secara berbeda tentu akan mempertunjukkan kualitas dan kedewasaan hidup bersama.
Apa yang menjadi patokan jika demikian?
Tolok ukur adalah kita sendiri. Apakah aku merasa tersinggung ketika itu diucapkan? Bisa saja bahwa hal ini masih abu-abu karena ketersinggungan orang macam-macam, bisa mencari pembanding. Lebih banyak mencela atau menerima. Ketika lebih banyak yang menerima lebih baik ditinggalkan. Untuk apa membuat orang terluka, jika tidak mau terluka janganlah melukai, tentu semua agama, semua suku, dan semua ras sepakat dengan hal ini.
Sikap berani menyelami perbedaan tentu merupakan sebuah proses pendidikan panjang dan tidak mudah. Hidup bersama dengan yang lain. Dunia ini penuh dengan perbedaan bukan? Coba kalau semua penghuni dunia ini satu saja, bosan bukan?
Perbedaan itu dikehendaki Tuhan, untuk apa coba untuk saling mengisi dan melengkapi. SARA itu sangat relatif, dan itu tentunya perlu kepekaan untuk menentukan batasnya. Kebebasan kita bersentuhan kadang beririsan dengan kebebasan yang lain. Berbuatlah baik kalau mau menerima kebaikan yang sama.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H