Sedikit berbeda petinggi Demokrat juga yang mengatakan Golkar akan mendapatkan satu digit kala pileg, dan dia dengan susah payah, masih berkuasa bisa membuktikan entah dengan berbagai cara bisa terjadi. Kecelakaan yang tidak parah.
Sekaliber lulusan Amerika saja bisa jatuh dalam kecelakaan-kecelakaan. Prof. Amin Rais jatuh berkali-kali hanya dengan satu tema soal Jokowi. Mengatakan ini-itu namun makin membuatnya jatuh lebih dalam, dan tidak bisa mengatasi kekacauan yang ia timbulkan sendiri.
Kecelakaan terjadi karena emosional tanpa terlebih dahulu berpikir masak-masak dalam mengeluarkan pernyataan. Politik itu pada dasarnya tidak ada kawan abadi namun lawan juga tidak akan kekal, belum lagi bangsa yang masih belajar seperti bangsa Indonesia. Pusat bermusuhan seperti kucing dan anjing, di darah berpelukan seperti anak-anak kucing yang kekenyangan.
Ahok membuat banyak pihak harus bermanuver dan sering membuat jatuh-bangun orang-orang yang kurang cerdik dalam bersikap. Ketua dewan Jakarta ini masih perlu banyak belajar seni dalam berpolitik. Sejak awal dia ini agak sering condong membela kolega di dewan dan berbeda pandangan dengan petinggi parpolnya. Sejak pilihan gubernur, wakil gubernur, dan soal RAPBD kelihatan kecenderungannya untuk berbelarasa dengan kolega di dewan, dan hal itu justru sebaliknya dengan DPP dan parpolnya. Akhirnya dia harus berbalik badan dengan susah payah. Kali ini ingin jadi pahlawan dengan pernyataannya dan eh malah dibantah teman sendiri dan dia mau tidak mau tidak berdaya.
Politik bukan barang yang kasat mata, seni itu bisa dinilai dengan seribu kacamata. Kalau seirama dengan petinggi (maklum parpol di sini masih ketum sentris, susah keluar dari pakem itu) karier akan moncer, namun kalau beda yang siap-siap saja mendera kemaluan berkepanjangan. Cara pandang yang beda dianggap salah karena pasti akan dengan cepat dijawab sebagai bukan pandangan partai atau ketum.
PDI-P paling banyak memiliki korban kecelakaan sepert ini, ada Masinton, Efendi Simbolon, barisan sakit hati yang seperti membela parpol namun ternyata malah dinilai berseberangan dengan pemikiran ketum (parpol). Â Tidak heran mereka yang awalnya berkoar-koar di mana-mana, pelan namun pasti hilang dari percaturan elite.Â
Salam