Menyaksikan film London Has Fallen jadi teringat betapa selama ini Komnas HAM memberikan porsi berlebihan di dalam seperti menekan polisi untuk berbuat seideal mungkin, sedangkan perilaku teror sangat susah diprediksi. Mau tidak mau, menembak atau ditembak harus terjadi. Mau menghentikan atau dihentikan, dan itu artinya mati.
Sepakat bahwa kerja Komnas HAM menjaga agar hak-hak azasi manusia itu ditegakkan apapun alasannya. Menjadi keprihatinan adalah, sepertinya lembaga ini lupa, bahwa yang di hadapi polisi kali ini adalah teroris, tentu jauh berbeda penerimaan saya, dan mungkin juga publik, kalau itu berhadapan dengan mahasiswa atau demo buruh. Ada kekhawatiran bahwa polisi kerja keras namun takut HAM dan akhirnya teroris yang mendapatkan angin untuk bisa berbuat sambil meledek polisi yang khawatir dijerat untuk mempertanggungjawabkan di peradilan HAM (meskipun ini sangat berlebihan).
Pemberantasan terorisme bukan balas dendam. Kekerasan dilawan dengan kekerasan memang bukan jalan keluar, namun menjadi salah satu usaha yang perlu dilakukan. Film ini mengisahkan sebuah keluarga yang ditengarai oleh USA sebagai pelaku kejahatan. Saat mereka mengadakan pesta pernikahan, mereka dijatuhi bom dengan drone, entah bagaimana, mempelai meninggal dan anak serta bapaknya bisa selamat dan merencanakan tindakan teror yang sangat besar (meskipun bisa pula dinilai berlebihan, karena di pusat kota London begitu banyak amunisi, senjata, dan “pasukan” tanpa ketahuan). Balas dendam, dan nyawa ganti nyawa menjadi mengerak di sana. Dendam yang membara kemudian berubah menjadi obsesi untuk membunuh presiden USA secara langsung melalui media internet. Demi kepuasan itu, mereka membunuh lima kepala negara dan pemerintahan dengan bom, masuk sungai, ditembak, dan racun. Belum lagi warga yang tidak tahu apa-apa yang sedang melayat, polisi dan tentara yang bertugas, dan tidak ketinggalan suap di pusat pemerintahan Inggris. Informasi apapun dengan mudah mereka dapatkan, penyadapan luar biasa hingga ke mana-mana. Sikap terhadap uang jelas bisa membuat semua berantakan. Akhir cerita jelas bahwa kejahatan tertumpas dan kemenangan ada di pihak yang membela kebenaran.
Balas dendam dan lingkaran kekerasan memang tidak akan berakhir tanpa adanya keberanian untuk menghentikannya. Bagaimana sang teroris merasa bahwa USA melalui presidennya adalah pihak yang paling bertanggung jawab dan salah menghancurkan kehidupan dan keluarga mereka, dan sebaliknya. Teroris dikejar karena meresahkan. Kebenaran yang satu menjadi “rebutan” dan semua merasa benar dan tidak melakukan kejahatan.
Pelajaran bagi bangsa Indonesia yang masih “permisif” akan terorisme:
Sikap melawan siapapun yang merongrong negara. Negara tidak boleh kalah oleh sekelompok anak negeri yang memiliki persenjataan dalam ukuran yang besar. Negara mengeluarkan siapa saja yang ditengarai sebagai teroris, dan menjadi perhatian bersama untuk dicermati. Jika ada perbedaan diungkapkan bukan membela kejahatan namun meluruskan apabila negara salah dalam memasukkan daftar.
Negara menjamin bahwa daftarnya benar-benar dari data yang baik dan dapat dipertanggung- jawabkan, bukan karena politis dan kebencian sebagian kelompok atas kelompok lain. Hal ini perlu kerja keras dan kerja cerdas.
Seluruh elemen bangsa, apalagi lembaga negara memiliki kesamaan persepsi sehingga tidak malah membela kejahatan dan seperti berseberangan dengan penegak hukum. LSM dan ormas wajar ketika ada perbedaan, namun perlu juga menjadi catatan bagi negara dan masyarakat, siapa yang membela kebenaran dan siapa yang mencari keuntungan sendiri.
Sikap waspada dan bukan curiga apalagi permisif. Sikap curiga dipertontonkan, salah tangkap (katanya) pada petugas KPK, permisif, bisa melindungi, atau melepaskan teroris yang telah ditangkap, karena adanya suap yang sangat sepele, ingat Noordin yang pernah ditangkap polantas kemudian lepas karena suap yang tidak seberapa.
Jauhkan sentimen keagamaan. Sama sekali tidak ada agama yang mengizinkan menumpahkan darah sesamanya. Namun ada pihak-pihak tertentu yang bahagia dan senang mengguna pola ini. agama sebagai kedok dan pelecehan namun malah didukung bukannya dikutuk. Hal ini masih kuat, pendidikan agama yang baik dan benar tentu penting.
Persoalan terorisme bukan hanya tugas negara, namun kita semua memiliki tanggung jawab sesuai dengan kapasitas masing-masing. Salah satu yang bisa kita lakukan adalah jangan memberikan mereka kesempatan untuk bisa memecahbelah, contoh dengan sentimen agama, tidak mudah memberikan tempat yang layak bagi kekerasan dan paham ekstrem, dan sejenisnya.