Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pornografi, Prostitusi, Larangan Anak Bawa HP, Utopis, atau Bentuk Kepanikan?

19 Februari 2016   08:05 Diperbarui: 19 Februari 2016   08:31 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

UU lucu bin aneh sekian lama tercipta. Aakah berubah? Menteri kemarin yang gencar sekali mau menutup, dia sendiri malah menyukai  salah satu situs pornografi juga, atau koleganya nonton di gedung dewan yang terhormat. Apa yang terjadi di permukaan itu jauh lebih kecil, sangat tidak sebanding dengan yang ada di bawah permukaan. Satu ditutup, seribu yang terbuka. Belum lagi klasifikasi dan batasan yang jelas dan akan selalu berubah menurut  zaman. Ini bukan soal optimis atau pesimis, namun realistis. Apa yang bisa dilakukan?

Pornografi berbicara masalah kekuatan dan itu ada di bidang iman dan moral pribadi, negara sulit untuk mengatur lebih jauh. Apa bedanya dengan KB zaman orba yang diintervensi pemerintah, sehingga urusan domestik kamar paling privat pun bisa dibaca di kantor desa.

Larangan Siswa Membawa HP ke sekolah

Ide baik, namun tidak sesederhana di atas kertas. Banyak keberatan dan nilai positif yang  bisa berlembar-lembar jika hendak didaftar. Memang banyak pula kesulitan, bagaimana anak yang lebih asyik main hp daripada belajar, berinteraksi dengan rekan, dan abai akan tanggung jawabnya di sekolah, itu sekelumit catatan kekurangannya.

 

Ketiga hal tersebut bisa menjadi satu persoalan besar yang seolah hanya utopis, atau idealis saja untuk mengatakan aturan sebagai penyelesaian.  Apakah larangan, penghapusan, upaya blokir itu sebuah solusi? Atau hanya reaksi?

Selama ini hanya bereaksi atas sebuah peristiwa atau kejadian. Belum menjadi solusi jitu atas permasalahan yang ada. Sama sekali tidak menyelesaikan masalah, selain menutupi, atau mengalihkan persoalan. Sepakat bahwa nilai moral dan etis itu di atas segalanya, namun realistis juga bagian dari moral.

Minimal apa yang bisa dilakukan? Keteladan dan pendidikan moral dengan lebih baik lagi, baik di sekolah, rumah, dan lingkungan. Bagaimana mau berubah ketika pimpinan saja berbuat  keburukan berkaitan dengan itu semua kog. Baik pornografi, prostitusi, dan penyalahgunaan hp. Dari atas sana contoh itu jelas ada dan ditampilkan dengan vulgar.

Ada yang bisa tidak terlibat, dan ada yang bisa berubah, itu adalah harapan adanya perubahan. Ada satu saja yang berbalik arah dan menjadi baik, tentu menjadi kekuatan dan harapan bukan justru melihat yang kembali lagi sebagai pokok penilaian. Kita bisa menilai, bagaimana dari 100  itu, satu yang kembali dan berubah menjadi baik, lebih baik daripada 100 semuanya tidak berubah. Sering kita fokus pada 99 yang gagal, perlu diubah, dan syukur atas yang satu tersebut.

Pendidikan moral akan membuat orang memilih yang terbaik bukan yang buruk. Kita bisa saja tidak akan melirik pornografi dan prostitusi ketika tahu dengan baik bahwa hal itu buruk. Selama ini fokus kita hanya larangan-larangan yang tidak efektif sedangkan contoh demikian masif terpampang dengan gamblang. Hukuman sosial juga masih lemah, sehingga pelaku dua ranah ini malah lebih dihargai, karena materi bukan perilaku. Ini ranah moral, bukan semata hukum.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun