Oktober lalu Presiden Jokowi melakukan lawatan ke Amerika. Lawatan prestisius, maka tidak heran banyak komentar dan hal-ihwal yang mengikutinya. Komentar demi komentar berseliweran, bahkan dari petinggi negeri yang baru pula balik dari sana.
Kondisi kala itu, banyak asap, lagi panen raya kabut asap dan kebakaran hutan. Tidak heran kaum salawi, yang dikomandani Zon berkomentar minir, bahwa presiden ternyata tidak peduli akan negara dan anak negeri yang sedang menghadapi bencana. Tidak heran, dia pun menyatakan kunjungan yang tidak membawa hasil yang luar biasa. Lha luar biasa buruk dalam kacamatanya yang bisa ia lihat.
KMP lagi berjaya dan sedang di atas angin serasa jawara padahal baru bisa dua jurus silat dan menantang kusir sado. Sekali cetar dari pecut sang sais, berguling calon centeng latihan ini. Belum berhenti di situ, presiden pulang dan hadir di tengah kepungan asap, eh dengan lantangnya di katakan sebagai wisata bencana. Sidang dewan pun memakai masker, ternyata untuk melindungi mulutnya yang comel dna minta ke mana-mana, saham, uang, dan dukungan. Seolah mendukung rakyat yang menderita.
Anak emas dewan ini lup bahwa dirinya baru saja jalan-jalan bahkan berfoto dengan gadis kelinci, coba lebih tidak berharga dan memalukannya mana? Berbeda konsep ya jelas yang memalukan dianggap kebanggaan dan yang memang tugasnya malah dicela. Maklum anak PG lagi latihan komentar.
Tidak berhenti di situ, kunjungan itu dikatakan sebagai melarikan diri dari kabut dan soal UU RAPBN. Kalau ini dari sang anak emas PKS. Rumor pula soal presiden membayar sekian rupiah untuk bisa bertemu Obama, kata seorang dari luar ini diamini dengan gegap gempita, sekali lagi oleh kelompok yang menggunakan kacamata hitam dalam hidupnya.
Itu jilid satu, kali ini jilid dua, sebenarnya lebih banyak yang iri harusnya. Bagaimana tidak, dalam waktu empat bulan bisa jalan-jalan, Amrik lho.... Kan bisa menggunakan paspor hitam untuk berperilaku hitam, bukan pasport diplomatik, kan mereka bukan diplomat. Kondisi berbeda, KMP tinggal jaddi arisan emak-emak yang telah kehilangan gairah. Anak buahnya banyak yang menjadi emak minta kursi. Arisan diundang lewat toa pun gak ada yang datang. Pas ultah sang ketua pun banyak yang enggan datang, soalnya lapak sebelah lebih menarik.
Hampir bisa dipastikan mereka, paling tidak duo FF ini hanya akan normatif mengatakan, gak ada yang baru, biasa saja, tidak signifikan, wajar lah, kan negara besar, dan yang sejenis, tidak akan jauh dari itu. Normatif, netral gak berani ganas sebagaimana jilid I.
Mengapa? Selain pembela utama mereka telah almarhum, mereka kehilangan taji. Arisan tante-tante kesepian yang sudah tidak lagi menarik tidak bisa mereka harapkan lagi. Kubu sebelah FH lapaknya sedang minta kursi, papa minta kursi tentu harus membuatnya diam meskipun mulutnya kecut untuk mengatakan yang jelek. Belum lagi soal sekjennya yang keluar. Makin jelas memperlihatkan lapak yang biasanya solid ini ternyata juga mengalami perpecahan. Sebenarnya sejak lama ketika ada perbedaan cara pandang dan prinsip, ketua sang ketua memberi jeweran kepadanya dan datang ke istana.
Tidak akan ada yang garang dari dewan, demi papa minta kursi dan tidak lagi memiliki kekuatan untuk berkoar-koar. Tidak lagi punya kekuatan dan harapan untuk menjegal pemerintah. Namun bisa saja ayam babon di pojokan itu lebih ganas, atau kepala ular yang nongol di permukaan lobangnya lebih bertenaga.
Patut kita tunggu bagaimana komentar cerdas mereka. Biasanya bisa menjadi andalan yang keren dan bijak bagi pembelanya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H