Kereta cepat China (SANDRO GATRA/KOMPAS.com )
Proyek kereta cepat masih ramai menjadi pro dan kontra. Tidak sedikit yang tidak setuju termasuk elite, baik eksekutif ataupun legislatif berbagai argumen, mulai dari negara yang diajak kerja sama, biaya, kesiapan semua-muanya, ataupun keperluan yang kurang mendesak. Pendukungnya juga tidak kalah banyaknya dengan berbagai pertimbangan pula.
Merdeka belum lagi sepuluh tahun, Bung Karno berani mengadakan pemilu dengan suka-duka, kekurangan tentunya, juga keterlibatannya. Cukup berani juga bangsa yang masih kecil sudah berani membuat gawe cukup besar. Mengundang negara-negara senasib, dalam KAA dan dipandang sebagai daya saing yang cukup kuat untuk menekan negara-negara besar yang belum memberikan kemerdekaan bagi beberapa bangsa yang masih ada di dalam perahan dunia lain yang merasa lebih besar dan kuat.
Pembangunan Jembatan Semanggi, gedung kura-kura, Monas, mengadakai Asian Games dengan gerakan-gerakan besarnya. Alasan klasik juga sama saja. Negara lebih butuh untuk kesejahteraan, pembangunan yang menyentuh kebutuhan mendasar, katanya masih perlu banyak dana bagi pembangunan, kesejahteraan, mengapa untuk bangun-bangun yang tidak berkaitan dengan hajat hidup secara langsung.
Kali ini, setelah pembangunan 70 tahun lebih masalah yang sama datang lagi. Mengatakan banyak anggaran yang harusnya bisa untuk kesejahteraan masyarakat, namun malah untuk proyek yang tidak mendesak ini. Pembangunan dengan hutang dan jauh tidak efisien.
Simbol dan citra sebuah bangsa besar juga perlu dibangun. Pembangunan tol yang dinilai sia-sia dengan berbagai analisis tidak jauh beda dengan pembangunan kereta cepat. Lihat apa bedanya dengan kondisi masa era kemerdekaan awal dulu. Namun, hingga kini masih ada jejaknya dan belum bisa membangun yang sekelas itu. Apa yang dikatakan generasi dulu, kali ini dipandang dengan cara pandang yang berbeda.
Tanda kota besar, negara besar, adalah lancarnya transportasi, adanya kereta cepat, tanda dan simbol modern yang tidak boleh ketinggalan dengan negara tetangga. Kita bisa menengok bagaimana gaya hidup berbangsa ini. Selalu saja merasa miskin, sehingga tidak heran tidak malu ngantri BLT dengan mengendarai motor, mengenakan kalung, gelang emas, pokoknya mampu namun bersikap tidak mampu. Bangsa ini besar, namun selalu saja merasa kurang dan tidak mampu, hal ini akan dikatakan begini, begitu juga akan ada komentar yang tidak jauh berbeda. Selain untuk sarana transportasi, namun jangan lupa perlu simbol dan citra besar itu menjadi penting. Asal bukan untuk kepentingan pribadi dan proyek saja.
Sekiranya Bung Karno tidak berani menyatakan menjadi pioner KAA, tidak akan dikenal sebagai bangsa besar. Tetap kerdil dan di bawah bayang-bayang masa lalu saja. Pembangunan mercusuar yang masih besar hingga hari ini. Kita masih bisa menunjukkan bangsa besar ada bangunan gagah dan besar. Apakah soal kereta cepat ini tidak ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara tetangga?
Konon, Hindia Belanda itu merupakan negara pertama di Asia yang memiliki industri kereta api. Coba sekarang malah bingung mau memilih China atau jepang. Makin melemah dan mundur di dalam kebesaran masa lalu, banyaknya kritik yang tidak membangun malah justru memperlemah semangat. Tentu sangat melelahkan ketika apa pun yang hendak dilakukan selalu melahirkan polemik dan cercaan, beda lho mengkritik dan mencerca itu.
Soal kebutuhan memang banyak lubang yang membuat proyek tol dan kereta cepat itu masih perlu pengkajian, namun soal prestise, citra, dan simbol itu sangat penting dan justru sudah terlambat. Poin ini menjadi perhatian, agar kita tidak ketinggalan dan menjadi permainan negara lain, sebagaimana Malaysia lakukan beberapa saat lalu.
Negara besar itu bukan hanya pada fisik pemimpinnya, wacana yang besar tanpa pelaksanaan, namun simbol, pembangunan, dan tentu kesejahteraan yang mampu membuat bangsa sejahtera. Bangsa sejahtera akan melahirkan masyarakat cerdas, ide-ide baru dan segar, dan tentunya mampu bersaing dengan negara lain dengan kepala tegak.