Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pasal Pencemaran Nama Baik, Pasal Feodal Tinggalan Kolonial

2 Desember 2015   19:10 Diperbarui: 2 Desember 2015   19:35 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Kemarin di antara kejengkelan karena ada yang mengatakan bahwa ada yang mengatakan bahwa Kompasiana itu diisi oleh artikel karangan, Mbak Mike membuat artikel yang mengatakan bahwa meskipun jurnalis warga namun juga mengatakan memiliki batasan dan mencari referensi dan tidak asal mengarang. Hari ini ada akun yang menuliskan ketersinggungan atas artikel itu dan akan menuntut dengan pasal salah satunya adalah pencemaran nama baik.

Pasal tinggalan Belanda yang memang dipakai untuk membungkam para “pemberontak” tentunya. Tulisan-tulisan orang yang tidak mau menurut mereka dibungkam dengan pasal ini. Ironisnya, adalah hal ini dibawa-bawa oleh penguasa atau rezim totaliter yang memang senang dengan pasal ini.

Beberapa waktu lalu pernah ada wacana bahwa pelaporan pencemaran nama baik tidak bisa diproses sebelum apa yang dikatakan itu benar-benar tidak terbukti. Contoh ada pejabat yang merasa dicemarkan nama baiknya oleh artikel seseorang, berarti bahwa dibuktikan dulu bahwa apa yang dinyatakan itu benar atau tidak, kalau benar gugur laporan dan kalau salah lanjut ke pencemaran nama baik. Namun entah kabur ke mana wacana itu.

Kali ini, yang merasa dicemarkan nama baiknya kebetulan pejabat dan yang dikatakan mencemarkan adalah orang biasa. Di artikelnya sang pejabat mengatakan jangan mudah tersinggung, lha kog dia juga tersinggung? Apakah bukan standar ganda kalau demikian? Kedua, kalau bodoh itu apakah parameternya? Apakah IQ 152? Atau yang mana? Bisa tidak dikatakan kalau IQ 152 itu masih bodoh karena ada yang 200 misalnya?

Jika hal ini benar-benar ke peradilan, kritik sama sekali tidak boleh bagi pejabat oleh “orang biasa”, sedangkan mereka memang maaf “bodoh.” Apakah harus didiamkan saja, sedang kinerja memang sangat buruk.

Bukan saatnya pasal karet ini dipakai dan digunakan menjerat orang kecil oleh pejabat. Namanya di atas angin akan berhembus kencang dan mendapatkan sorotan lebih. Makin tinggi makin fokus orang makin tinggi, layak dicontoh presiden yang tidak mengedepankan emosi dan pasal karet namun selalu memaafkan dan sangat lebih buruk apa yang telah dilakukan.

Meskipun kebenaran akun siapa ini, namun bisa menjadi contoh konkret mudahnya membungkam dengan pasal karet dan memberi teror untuk kritis memberikan masukan. Kemarahan memang tidak elok namun tuduhan juga sangat tidak pantas. Mengatakan sabar dan jangan marah dikatakan mengarang mengapa juga tidak menasehati diri untuk sabar dikatakan “bodoh”?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun