Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Miskin Kok Bangga

5 November 2015   10:48 Diperbarui: 5 November 2015   11:25 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Mundjirin, bantuan sembako kami kog blm di kirim?

Kaget pagi-pagi bukan hp, dan ada pesan singkat seperti itu. Pak Mundjirin itu Bupati Kabupaten Semarang. Pesan singkat itu, hanya pesan nyasar ke saya, karena sama sekali saya tidak tersangkut paut dengan apapun mengenai sembako dan bupati ataupun pilkada dan tim sukse. Tidak pula saya anggap penipuan atau sengaja dalam bentuk apapun, hanya pesan kesasar entah maunya apa, bukan hal penting bagi saya.

Menarik adalah, minta bantuan sembako ke bupati, dengan pesan singkat. Pertama, nomer hp itu masih 11 digit, berarti telah lama menggunakan ponsel, sebelum ponsel semurah sekarang ini. Harga nomer perdana itu masih kisaran di atas puluhan ribu tidak seperti sekarang yang hanya ribuan sudah bisa memiliki nomor baru. Kedua, kalau waktu nomor itu masih relatif mahal, demikian juga alatnya. Analisis dangkalnya adalah orang yang berpunya. Ketiga, orang ini cukup punya relasi dengan bupati, melihat sms-nya yang tanpa basa-basi dan tanpa awalan, seolah sering berkomunikasi (kalau memang bukan sms penipuan). Keempat, orang yang demikian kog minta bantuan sembako, apa pantes? (bisa saja ini timses yang mau menanyakan “jatah” daerahnya).

Sekiranya ini bukan soal pilkada dan rakyat yang menanyakan “jatah”nya dengan adanya raskin menjadi ironis ketika mampu membeli pulsa dan handphone, namun masih saja menadahkan tangan untuk meminta bantuan. Kembali lagi ada salah sasaran bantuan. Memang bahwa hp bukan lagi barang mewah dan telah  menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan bagi sebagian orang.

Alangkah lebih bijak dan bermartabat ketika bisa memenuhi kebutuhan yang tersier, yang primer tidak lagi meminta bantuan ke negara. Ironis sering kita jumpai, banyak orang naik kendaraan bermotor bagus, namun ngantri BLT, kalung gelang besar mengantri raskin, beli motor sport ngantri premium, merokok dengan gagah namun meminta jamkesmas, mengemis namun rumahnya tergolong megah.

Tidak jarang masih ada yang mengatakan raskin, juga BLT dibagi rata. Lho, namanya saja beras untuk rakyat miskin lho, mosok semua miskin. Masih pula banyak ditemui masyarakat yang mampu mendapatkan berbagai bantuan dan subsidi yang tidak menjadi haknya karena menekan aparat yang tidak berdaya menghadapi orang “tidak tahu malu ini.”

Keadaan ini faktual ada di tengah-tengah kita. Sikap malu kalau mendapat bantuan dan subsidi bagi yang mampu mendesak untuk didengungkan. Persoalan besar namun seolah sepele karena banyak terjadi. Kesalahan yang menjadi seolah benar karena tidak pernah mendapatkan perhatian. Apakah akan terus begitu? Merasa miskin padahal mampu dan dinilai miskin malah bangga.

Artikel ini bukan sok kaya atau meremehkan kemiskinan, namun hendak menanyakan kepada oknum yang memanfaarkan keadaan dan kemiskinan orang lain untuk kepentingan sendiri. Meski latar belakangnya regional, namun keadaan ini hampir ada di seluruh negeri

 

Salam Damai

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun