Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Amy Chua, Ahok, dan Politik Balas Dendam

15 Oktober 2015   07:48 Diperbarui: 15 Oktober 2015   07:48 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Amy Chua melihat bahwa represi dan kerusuhan etnis istimewanya berhadapan dengan ras Tionghoa sebagai bentuk balas dendam dari kelompok besar yang kalah dalam hal ekonomi oleh sekelompok kecil etnis tertentu, dalam hal ini Tionghoa yang memiliki kesempatan dagang dan ekonomi lebih baik. Lebih parah lagi semasa rezim Orba yang berkaitan dengan Tionghoa cap amat buruk yang diterapkan, kecurigaan, namun serentak dijadikan sumber keuangan.

Pendapat Cua itu diadopsi oleh Wibowo untuk melihat keadaan ini yang selalu saja ada pengorbanan pihak yang kecil oleh yang besar. Selama ini, kerusuhan dan “korbannya” adalah etnis Tionghoa selalu berulang, karena apa? Karena kelompok kecil itu memiliki kesempatan ekonomi yang lebih baik. Balas dendam yang bisa dilakukan dengan menghukum mereka dengan menyingkirkan secara politik dan mengambil keuntungan secara finansial dan berkedok hukum. Sikap menghukum ini mudah dilakukan.

Anomali terjadi pada Pak Ahok, di mana orang yang biasanya dihukum ini, kali ini justru memegang kuasa yang biasa dipakai untuk menghukum. Berbagai cara mereka gunakan untuk “menghukum Pak Ahok.” Kesan dicari-cari dan sangat naif ketika bukan soal kinerja namun di luar itu, bahkan agama pun dipakai. Komunikasi yang buruk, padahal dalam konteks apa dia buruk itu? Tidak pernah dibahas dan dikupas. Komunikasi buruk, marah, teriak sepanjang menghadapi pelaku korup dan tidak disiplin. Soal agama dan etnis yang selalu mentah namun tetap dipakai, karena menang sangat strategis dan seksi. Mengganggu dan menghambat penyelenggaraan pemerintahan, seperti pengesahan APBD dan sejenisnya. “Hukuman” dari pihak yang banyak dan kuat namun justru menampilkan sikap kekanak-kanakan dari “penghukum” yang merasa besar.

Berbagai cara secara ekstrem, dengan mengedepankan  tokoh agama berkali-kali dipakai dan gagal, soal anggaran gagal, dan cara legal telah dicoba namun belum juga berhasil. Chua melihat dendam dari kelompok yang besar untuk menghukum itu akan selalu dipakai karena sistem memang tercipta demikian. Di mana voting tentu akan dimenangkan oleh kelompok yang besar. Usaha digalang untuk menggoyang itu belum bisa, entah ketika pilkada, karena uang bisa mengubah semuanya.

Fenomena ini, bisa pula mematahkan pendapat Cua bahwa kelompok besar akan menghukum yang kecil, ketika kelompok kecil ini mampu membuktikan kinerja dan dilihat sebagai harapan bagi sebagian kelompok lain yang besar sehingga memberikan dukungan. Ketika serangan untuk menghukum itu gagal, tentu simpati dan empati akan tumbuh dan menggelinding demi kepentingan yang lebih besar.

 

Salam Damai

 

Sumber: I. Wibowo, Negara dan Bandit Demokrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun