Kartu remi atau kartu permainan, playing card, merupakan permainan murah meriah, hampir semua orang memainkannya, aturannya pun bisa bermacam-macam, sesuai tempat, pemain, dan zamannya. Acara kebersamaan seperti kenduri, hidup berasrama, ronda jaga keamanan kampung, atau pilot becak yang menunggu penumpang biasa asyik dengan permainan ini. Jangan dikira mahir dan jagoan di kampung sini bisa pula pintar di kampung sebelah, aturan sudah berbeda meski nama dan kartu yang sama.
Partai politik ataupun organisasi sewajarnya memiliki ideologi, sehingga bisa berjuang sesuai dengan apa yang dicita-citakan itu. Mengapa kita sulit sekali memiliki demokrasi yang semestinya? Ideologi sebagai basis perjuangannya lemah.
PKS, partai yang menjanjikan ketika didirikan, perkotaan, intelektual muda, anak kampus bangga dengan mereka. Namun begitu kasus sapi menguar hancur sudah nama mereka. Bicara apapun akan dikaitkan dengan sapi. Para kadernya akan terdiam karena memang tidak lagi bisa membela diri bagaimanapun caranya. Seperti sekarang ini ketika sapi menjadi digdaya dengan harganya, mereka tidak bisa kritis, karena akan dibalas dengan cacian merekalah yang memulai, meskipun bisa saja sama sekali tidak terlibat.
Golkar, versi Ical, akan seribu bahasa ketika lawan politik mengungkit Lapindo. Demikian pun ketika para sesepuh yang bicara akan dikaitkan dengan orde baru yang represif. Kartu mati bagi mereka yang tidak lagi bisa bergerak leluasa. Kritis akan dikuak boroknya, diam saja dikatakan karena ketakutan boroknya sendiri. Simalakama, karti truf-nya sudah ada di tangan.
PDI-P, dua hal yang ironis di sini, pertama partai wong cilik, keberpihakan mereka diragukan. Standart ganda jelas dipampang mereka. Ketika oposisi mereka memang lantang, saat berkuasa banyak kadernya yang lupa dan malah bersuara sumbang di tengah nyanyian koor memperjuangkan rakyat. Kedua, soal ideologis namun biologis, bangga dengan Soekarnoisme yang tidak mereka jalankan. Darahnya saja yang sama namun lemah dalam aplikasinya. Hal ini sering membuat mereka gamang. Oposisi kuat memerintah malah melemah, sering dipecundangi dengan telak.
Demokrat, partai fenomenal ini dari menengah menjadi jawara kembali ke menengah lagi. Mereka kelu ketika ada “KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI” karena hampir semua (semua sejatinya) justru masuk bui dan dalam penantian. Mereka hendak kritis akan dibalik dengan telak apa yang telah mereka buat.
Partai-partai yang lain setali tiga uang, tidak banyak berbeda. Semua pemain memegang kartu lawan, dan rakyat sebagai penonton saja, mereka yang bermain (bertaruh) kita semua korbannya. Kantor saja tidak jelas apalagi ideologi. Aneh bin ajaib ketika di Jakarta berseberangan di daerah bergandengan dan berangkulan mesra. Demokrasi macam apa kalau demikian? Persamaan dan perjuangan bukan demi negara dan rakyat namun kursi yang bagi mereka adalah jaminan hidup.
Ronda malam begitu pagi menyingsing usai sudah permainan. Melayat tengah malam usai, selesai pula main kartu, kalau permainan politik ini, siapa yang tahu kapan berakhirnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H