Wakil ketua DPR yang terhormat mengomentari polemik hukuman untuk penghina presiden. Menarik adalah pernyataannya bahwa sebagai pejabat negara wajib untuk tahan hujatan dan penghinaan. Presiden juga bukan simbol negara karena simbol negara itu adalah benda mati.
Artikel ini bukan akan membahas mengenai simbol negara itu apa saja. Hanya titik tolak komentar itu secara logis, bukan ilmiah. Pertama, saat presiden terpilih menghendaki protokol pengamanannya disederhanakan, apa yang dihujatkan adalah merepotkan banyak pihak, mbok mikir jangan hanya cari nama sendiri saja. Kedua, saat presiden mengenai jas tidak sama dengan pemimpin lain betapa ramainya kompasiana bahkan di T.A kan kemudian dijawab ternyata presiden tidak salah dengan cara mengenakannya, juga T.A di hari yang sama. Ketiga, saat Pak Jokowi ke Singapura dalam kapasitas seorang bapak, beliau memilih penerbangan komersial dikatakan sebagai membahayakan presiden, kalau ada apa-apa bagaimana jadinya, taruhannya adalah sekian ratus juta penduduk yang kehilangan presidennya. Keempat, saat naik dan turun pesawat beliau tidak mengandeng istrinya katanya tidak etis sebagai presiden.
Menjadi pertanyaan adalah ketika seolah-olah itu salah sebagai membahayakan negara karena berkaitan dengan jabatan. Namun ketika itu dianggap oleh sebagian kelompok sebagai benar akan dinyatakan sebagai berlebihan.
Perlu membiasakan bagaimana presiden dan sebagai pribadi. Presiden itu jabatan dan itu milik negara, pak Jokowi telah sering berlaku dengan baik dalam hal ini. Pertama ke Singapura, bagaimana beliau naik pesawat dan bukan protokoler kenegaraan, memang ada pengawalan yang melekat. Kedua, saat mantu, beliau juga menjaga jarak sangat besar sebagai presiden dan Jokowi selaku bapak. Kebiasaan yang mencampuradukkan jabatan, status, dan gelar, serta selaku pribadi. Saat ada yang mencoba untuk menerapkan dengan baik selalu saja menjadi polemik.
Kebiasaan bergaduh ria dengan wacana namun akhirnya senyap dan tidak ada reaksi apapun baik dilakukan, diselewengkan, ataupun menjadi benda mati. Kita tentu masih ingat bagaimana ramainya UU Pornoaksi dan Pornografi, perseteruan PSSI, peneggelaman kapal, soal hukuman mati, dan banyak lagi kalau kita mau merunut satu persatu. Bagaimana dukungan dan hujatan mengenai Abraham Samad dan Bambang waktu itu, sekarang apa khabar dengan mereka. Soal Sarpin dan Buwas.
Pak Karno pernah marah kepada kelompok mahasiswa yang menulis di tembok rumah istri beliau dengan kata lonte, beliau katakan, dia itu istriku, kalian anakku, kalian mengatakan ibumu lonte? Presiden, itu adalah pemimpin kita, bapak kita, meskipun tidak memilih, mau tidak mau kita semua harus mengakui beliau sebagai bapak atau orang tua kita sendiri. Jangan ketika mendapat tandatangan untuk kenaikan gaji dan tunjangan, presidenku, namun ketika membuat kekeliruan bukan presidennya dan dihujat. Kalu tidak merasa memiliki presiden ya jangan menerima gaji yang perlu tandatangannya untuk mencairkan uang negara.
Pembiasaan menerima kekalahan sebagai hal yang wajar. Kompetisi itu menang dan kalah, tidak ada seri karena gamesnya berakhir angka ganjil. Sepak bola saja ada adu tendalan pinnalti, dan pemilu memang telah usai. Saatnya bukan berpolemik tetapi membangun. Presiden adalak bapak kita, pemimpin kita, kalau dihina apa ya pantas, bukan Jokowi atau Prabowonya, presidennya.
Pembiasaan membedakan jabatan, gelar, dan pribadi, kapan itu melekat, kapan itu bisa berdiri sendiri akan menenteramkan dan tidak menjadi polemik atau dicari-cari. Hal ini memang membutuhkan kedewasaan dan perlu waktu untuk itu.
Â
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H