Daerah Istimewa Yogyakarta memang fenomena, bagaimana kerajaan zaman itu masih bisa eksis untuk memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia yang lahir pada zaman modern dengan pranata yang jauh berbeda. Penyesuai-penyesuaian membawa Kerajaan Mataram itu menjadi seperti saat ini. Berbicara kerajaan Nusantara kaya akan itu, bagaimana dari Sriwijaya hingga Majapahit, mulai Kutai sampai Kadhiri, beragam kerajaan, dan yang masih memiliki Raja dan memiliki posisi strategis di Indonesia tinggal Yogyakarta.
Suksesi merupakan hal yang kritis di mana kekuatan, trik-trik antarketurunan menjadi hal yang sangat berbahaya, apalagi model pemilihan langsung belum dikenal. Sejarah menyatakan hal ini. Bagaimana perebutan demi perebutan berdarah dan berlarut-larut hingga lahirlah kerajaan baru, kalau sekarang mungkin sama dengan tandingan. Terbaru dan masih hangat Raja Surakarta, yang masih saja belum ada titik temu di antara kedua pihak yang mengklaim diri raja yang sah.
DIY selaku provinsi bagian Indonesia, memiliki kedudukan khusus karena gubernur adalah sekaligus pasti Raja atau Hamengkubuwana pasti gubernur dengan wakilnya ialah raja Pakualaman. Persoalan muncul ketika Raja tidak memiliki putera mahkota, karena keturunannya puteri. Raja Ngayogjahadiningrat mengeluarkan Sabda Pandhita Ratu, yang secara garis besar menyatakan siapapun pemimpinnya tergantung keraton, bukan pihak lain. Siapapun itu, bukan pihak lain yang menetapkan, termasuk UU dari negara. Bisa dimaknai sebagai baik laki-laki ataupun perempuan tergantung raja dan keraton, bukan hukum pemerintahan, dalam hal ini DPRD. Pernyataan yang tiba-tiba ini mendapat tanggapan tidak lama kemudian dengan adanya pengesahan Perdais, yang salah satu isinya bahwa gubernur harus laki-laki.
Menariknya, raja dalam hal ini sekaligus Raja Sultan HB X menyatakan tetap pada pendiriannya bahwa tidak harus laki-laki sebagai pemimpin keraton sekaligus gubernur mendatang. Tanggapan dari putera-putera HB IX tidak kalah dengan menyatakan paugeran tidak boleh dilanggar bahwa raja haruslah laki-laki. Sejarah tidak boleh dilupakan dan ketetapan leluhur harus dipelihara dengan baik.
Kedua-duanya memberikan klaim mengenai paugeran, dan leluhur serta kepemimpinan versi masing-masing. Satu pihak yang memiliki otonomi selaku raja menyatakan siapapun boleh, berhadapan dengana UU negara yang menyatakan harus laki-laki dengan dukungan adik-adik raja sendiri.
Persoalan keraton, milik keraton, dan pihak lain tidak bisa bahkan tidak boleh ikut campur. Sungguh menarik, di Yogya memberikan gambaran progresif saat suksesi ketua RW memilih dan menetapkan seorang gadis, mahasiswi, dan jelas sangat muda untuk menjadi RW. Memang sangat tidak level membandingkan gubernur yang raja dan ketua RW. Apa yang terjadi di sana ialah gadis, muda, dan modern maju sebagai salah satu kandidat ketua RW di mana rivalnya adalah bapak-bapak, yang tentunya senior, seusia bapak anak ini. Warga ternyata memilih dia menjadi ketua dan pimpinan mereka. Gambaran ketua RW yang lazim ialah bapak-bapak, sering sudah pensiun, atau PNS yang hendak mencari kredit point untuk kerja mereka.
Entah ada apa di balik warga memilih perempuan dan muda untuk menjadi RW, apakah berkaitan dengan suskesi keraton yang sedang panas-panasnya, ataukah memang pemahaman saat ini, perempuan dan laki-laki bisa menjadi pemimpin, asal dipercaya oleh warga. Pemilihan mahasiswi di antara tiga bapak-bapak, dan dia menang dengan angka yang cukup signifikan.
Selamat bagi warga yang telah melihat kepemimpinan bukan semata jenis kelamin. Yogyakarta memang istimewa.
Salam Damai....
Sumber Bacaan:
Kompas.com
Detik.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H