Singapura berduka, kita sebagai tetangga layak pula merasa kehilangan tokoh besar negara jiran tersebut. Pada tahun 60-an, Singapura tidak jauh beda dengan jakarta, semprawut, kotor, jorok, dan lebih memedihkan miskin secara sumber daya alam.  Almarhum  Lee yang mengubah semuanya. Inspirasi besar dari sosok satu ini,
Pemimpin lama
Bangsa Indonesia trauma dengan kepemimpinan yang lama, Presiden Soekarno, lebih dari 20 tahun, presiden Soeharto lebih dari 30 tahun, dan Mr. Lee juga 30 tahun lebih. Sampai meninggal tidak ada gugatan dan persoalan yang mengaitkannya dengan lamanya kekuasaan. Kesalahan pada pribadinya bukan lamanya kekuasaan. Karakter kuat dari pemimpin itu yang membuat pembeda. Pembatasan masa jabatan nyatanya tidak membawa perbaikan ketika jatah habis mengajukan anak, istri, ipar, adik, atau apalah, yang penting tetap berkuasa. Kalau kompeten dan baik tidak soal, kalau hanya asal kuasa dan ambil untung dari uang negara? Pemberian diri total hingga usia senja yang memberikan Singapura dari kota miskin ke negara maju di dunia.
Karakter Luar Biasa
Tahun itu konon Singapura merupakan kota merana, jorok, seolah tidak ada harapan. Membuang sampah sembarangan, meludah biasa saja, semrawut, mungkin seperti Jakarta kini. Besar Singapura hampir setara dengan JOBOTABEK, ya tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan Indonesia, bahkan dengan Jawa Barat. Bisa disamakan dengan Jakarta. Tidak memiliki apa-apa, selain daya juang dan rakyat yang masih begitu-begitu saja. Karakter yang menentukan. Mr. Lee memilih mengembangkan Singapura sebagai negara pedagang. Bagaimana mereka tidak memiliki apa-apa seperti Indonesia, yang berimpah dari emas hingga aspal, dari katet hingga bouksit, dari kayu hingga pasir. Semua ada. Mengejar budaya barat yang disiplin dna kerja keras sebagai cara memperoleh rezeki bukan menggunakan rezeki sebagaimana Indonesia. Dan kini kota tetangga itu bak langit dan bumi.
Mr Lee Vs Ahok
Tokoh berkarakter dan mememiliki kemampuan mengelola dengan baik. Sama-sama tegas dan keras, menghadapi penduduk yang relatif sama, seenaknya, malas, tidak disiplin, dan tentu birokrasi dan legeslasi yang tidak kalah semrawutnya. Lahir dengan jarak yang sangat jauh, lebih dari setengah abad, demikian juga keadaannya.
Ahok hingga kini hanya dicari-cari salah dan upaya penjatuhannya, tanpa pernah ada apresiasi dan dukungan, baik pejabat, media, ataupun kolega. Upaya pembatasan motor di jalan protokol, tidak pernah diberitakan dengan berimbang selain keberatan demi keberatan. Penataan kawasan yang ada kemajuan juga seolah tidak dianggap.
Etika Versus Kriminal
Aok selalu saja dikatakan sebagai pelanggar etika, bahkan ada kelompok yang menuduhnya SARA, sedang mereka sendiri menyatakan kekritenan dan Kechinaan Ahok, hanya karena hendak menertibkan penyembelihan hewan korban bukan di sembarang tempat. Cara berbicara yang kasar dan jorok dikedepankan, sedangkan penggelembungan dana serta anggaran selama ini yang abal-abal sama sekali tidak dibicarakan. Parah mana etis atau kriminal. Etis bisa berubah sesuai dengan konteks dan budaya sesaat, sedang kriminal tidak akan bisa berubah, karena berkaitan dengan merugikan secara materi dan imateri bagi pihak lain. Gubernur sudah kerja keras, lihat saja betapa banyaknya karyanya, kekurangan dan kesalahan masih bisa diterima dibandingkan kerjanya yang jauh lebih kelihatan. DPRD? Mana kerjanya? Selain mencari-cari salahnya Ahok saja, jangan-jangan mereka mau menambah satu hak lagi, hak menjatuhkan Ahok tanpa syarat.
Jakarta tidak akan bisa mengejar apalagi sejajar Singapura kalau model kepempimpinan yang dirindukan justru yang lemah dan buruk.
Salam Damai....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H