Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tanu, Akankah Mengikuti Ical?

6 Maret 2015   01:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:06 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aburisal sudah ada di ambang habis karir politiknya. Segala daya upaya malah makin membuatnya tersudut. Main kayunya selama ini menyelamatkan, tidak kali ini. Mahkamah Partai layak meradang dengan jalan bandingnya ke Mahkamah Agung, meskipun dia menyanggah, bahwa itu bukan perintahnya. Agung yang tidak ke Mahkamah Agung, sedikit sabar memperoleh durian runtuh yang ambrol karena hakim Mahkamah Partai yang tersinggung.

Karir panjang, pengusaha sekaligus politikus kawakan telah sukses dia jalani. Simbiosis antara pengusaha dan politikus sekian lama ada di rembang senja. Pengusaha dengan berbagai usahanya yang kolaps semasa kampanye pileg dan pilpres lalu makin sulit bangkit dengan kesuraman karis politiknya. Menteri dan ketua umum partai yang moncer, apalagi bisa mengendalikan presiden periode lalu, kehabisan amunisi ketika hendak maju sebagai capres.

Cawapres pun tidak ada yang memilih, padahal dua besar. Ternyata suara pemilih partainya tidak berbanding lurus dengan ketua umumnya. Pendekatan ke ketua-ketua partai besar tidak membawa hasil, selain tetap hanya mendukung salah satu calon, yaitu Pak Prabowo. Tingkah polahnya yang tidak populer dengan menjagokan jargon Eyang Harto, enak zamanku to????, merupakan bumerang pertama. Kedua terlibat meskipun secara tidak langsung dalam kampanye hitam pilpres lalu. Ketiga bersikukuh untuk pilkadasung yang sangat fatal kemudian dia pakai sebagai senjata untuk maju dalam perebutan kursi ketua umum sebagai blunder keempat. Perpecahan makin jelas ketika kekerasan demi kekerasan secara vulgar dipertontonkan kubunya dalam memaksakan jabatan ketua umum kembali. Padahal ada pihak lain yang menawarkan opsi lebih jantan dan cerdas. Semua blunder itu tidak mampu lagi dia kendalikan.

Media dan Keterpihakan yang Menyesatkan

Anteve dan TV One, menampilkan wajah ARB selama paling tidak lima tahun. Survey-survey sesuai kepentingan. Pemilihan berita yang menguntungkan dan memberitan kekurangan pihak lain. Itu gencar dilakukan. Pemirsa disuguhi sajian yang tidak sebenarnya. Apa yang terjadi adalah terlemparnya ARB dari percaturan capres, padahal semasa awal selalu masuk sepuluh besar dan menduduki tiga besar, yang ternyata survey yang tidak bisa diandalkan validitasnya.

Metode yang sama dipakai untuk mengawal Pak Prabowo selama kampanye dan pilihan presiden. Hasilnya tidak jauh beda. Pemberitaan mengenai cara-cara aneh dan menjelek-jelekan pihak lain menghasilkan sama dengan ARB yang tidak memperoleh hasil positif dalam pilpres. Usaha penggalanangan opini berbagai kecurangan dan tuntutan ke mana-mana dengan menghadirkan pengamat-pengamat yang pro, tidak makin membantu.

Tanu dan RCTI

Tanu memang smart dalam menjalankan usaha. Bisa dikatakan pengusaha sukses. Perutungan di politik sangat jauh berbeda. Mulai dari ormas Nasdem ke Partai Nasdem, bergerak ke bacawapres Hanura, dan tergerus yang akhirnya membuat ormas Perindo dan mendukung Pak Prabowo. Pesta usai, dan lima tahun masih lama, ormas Perindo berkembang menjadi Partai Perindo.

RCTI, semasa pileg menggelontorkan dana yang luar biasa dengan adanya kuis kebangsaan, memoles bacawapres dan bacapres dengan berbagai cara, main sinetron, membuat aksi sosial, namun tidak menghasilkan keterpilihan Partai Hanura secara signifikan.

Ormas Perindo bergerak menjadi Partai Politik, sikap pemberitaan RCTI kelihatannya akan memberikan porsi dan cara penyajiannya yang identik dengan model ARB dan Viva grup. Paling tidak ada dua kali pemberitaan yang tendensius akhir-akhir ini. Pertama permasalahan harga beras naik, pemilihan RCTI adalah beras yang naik hingga 50% tanpa ada perimbangan dari daerah lain. Kedua jelas-jelas menohok pemerintah, saat menyajikan profil nenek-nenek miskin yang oleh reporter ditanya mengenai kehidupannya, dan pada penutup wawancara, ditanyai siapa presiden sekarang dan ada tidak perbedaan dengan presiden yang dulu.

Tidak ada namanya obyektif mutlak dan tidak memiliki kepentingan sama sekali dalam kehidupan di dunia. Paling tidak ada batasan-batasan normatif agar lebih berimbang dan mendekati obyektifitas. Apakah kesalahan demi kesalahan ARB juga akan diikuti Tanu?

Salam Damai....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun