Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Belajar Berpikir Positif dari Joko Widodo

14 Oktober 2014   14:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:05 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pierre Franckh dalam bukunya Law of Resonance, menyatakan bahwa lima orang untuk setiap kota yang berpikir positif, mengedepankan harapan, dan memiliki semangat untuk bergerak maju, cukup mengubah keadaan kota. Lima orang perkota, bisa dibayangkan betapa besarnya pengaruh berpikir positif.

Ini bukan berkaitan dengan politik, bukan persoalan siapa dia, namun mencoba belajar dari sikap, pilihan hati, dan kebiasaannya. Sikap positif yang hendak dibangun dan diajarkan.

Beberapa waktu yang lalu, hiruk-pikuk kampanye hadir, bahkan cenderung kelewatan, bahkan menjurus pembunuhan karakter. Jokowi hanya mengatakan, “Aku ra popo,” aku tidak apa-apa, hendak mengatakan bahwa hal itu tidak berpengaruh ke dalam kepribadiannya. Kepribadian itu ada di dalam, dan pihak luar terserah hendak mengatakan apapun itu dan sama sekali tidak ada pengaruhnya ke dalam kualitas seseorang. Bisa dibayangkan apa jadinya kalau serangan itu dibalas. Bukti nyata yang ada adalah  perang opini di media sosial dari kedua belah pihak.

Kemenangan diumumkan, dan media melalui wartawannya mencoba untuk mengorek melalui sisi lain pemberitaan dengan menyatakan “perseteruan” dan apakah perlu ada rekonsiliasi antara Jokowi dan JK dengan Prabowo, dengan enteng dijawab, kami bersahabat dan setiap hari berkomunikasi. Nilai positif dalam suasana persaudaraan yang dikedepankan. Kebenarannya masih disangsikan, namun suasana yang tercipta sudah mengubah pembicaraan, wartawan sudah tidak berlanjut dengan persoalan tersebut. Bagaimana kalau jawaban tersebut iya kami bertikai, pasti akan lahir pertanyaan baru dan berkelanjutan. Paling tidak akan ditanyakan lagi bagaimana sikapnya nanti ketika masa pemerintahan, apakah hendak berekonsiliasi, bagaimana cara, dan siapa yang bisa membantu, dan banyak lagi.

Perhitungan matematis, pendapat pengamat, dan siapapun menyatakan partai di parlemen yang menguasai bertolak belakang dengan partai pengusung eksekutif, akan menghambat, menjadi batu sandungan, dan bisa “sabotase” program negara. Jawaban yang dikemukakan sangat singkat dan bernuansa positif. “Lihat di DKI, kami hanya berapa persen? Dan semua berjalan, terlambat namun tidak lambat.” Pemikiran positif, melihat peluang dan memperbesarnya, bukan melihat penghalang yang akan menjadi perintang. Kenyataan faktual memang tidak akan dengan serta merta diubah, namun peluang seberapapun perlu diusahakan sehingga bisa menjadi peluang dan membalik keadaan. Peluang selalu ada, demikian pun penghalang akan selalu eksis. Pilihan melihat dan memaknai akan membuat itu sebagai yang aktual. Kalau memilih potensi kegagalan yang datang juga kegagalan.

Salam Damai....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun