Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Harga BBM Naik Memang Ulah Mafia

10 November 2014   13:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:11 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebentar lagi harga BBM akan mengalami perubahan harga, pro dan kontra selalu mengikuti isu satu ini. Waktu berjalan, pemimpin berganti, namun isu mengenai kenaikan BBM selalu saja hangat dan banyak pro kontra, demo tidak ada henti-hentinya.

Alasan dikemukakan, dan ada yang setuju ada yang curiga, ada yang mengerti ada yang tidak habis pikir, ada yang mengatakan naikan saja, ada yang menyatakan akan membebani rakyat. Berbagai program diajukan. Aneka solusi ditawarkan. Harga-harga lain ikut membumbung, padahal sama seklai tidak ada kaitannya dengan BBM.

Ulah Mafia

Benarkah demikian? Benar dan seratus persen benar. Bahkan juga konspirasi dan bahan dari pencitraan pihak-pihak tertentu. Lalu mafia yang mana?

Mafia yang menjangkiti sifat dan karakter masyarakat yang hanya mencari enaknya sendiri, karena dininabobokan oleh keadaan. Bertahun orang disuguhi BBM murah karena subsidi. Semua orang dari presiden hingga petani di pucuk gunung yang tidak menggunakan BBM pun mendapatkan hak yang sama. Sekian puluh tahun berjalan, dan semua sudah nyaman dengan keadaan itu.

Sekarang, ketika bahan bakar berbasis fosil makin menipis, semua berteriak karena adanya mafia migas, APBN jebol, mau tidak mau harga BBM dinaikan untuk mengurangi subsidi BBM.

Masyarakat makin hari maiin manja, berjalan 100 meter saja sudah jarang dilakukan. Memang akan menghemat waktu, namun waktu yang ada benar digunakan untuk hal yang produktif atau tidak? Banyak yang hanya untuk memelototi TV dan HP. Ke masjid yang hanya 200 meter, menggunakan kendaraan bermotor, hanya alasan tidak mau capek, bukan masalah hemat waktu untuk kegiatan produktif.

Ibu-ibu di pelosok kampung saja, untuk memarut kelapa sudah tidak mau, dan membeli kelapa parut dan atau santan instan. Sepele sekali kelihatannya, namun berapa banyak energi baik listrik atau BBM yang digunakan, sedangkan energi manusia yang ada terbunag percuma, karena waktu yang bisa dihemat oleh kegiatan tersebut juga tidak lebih produktif.

Angkutan umum sekarang lebih banyak dihuni oleh sopir, asisten, dan kondektur saja, dan penumpang lebih memilih motor atau angkutan pribadi. Berapa keborosan BBM yang terbuang oleh bus, angkuta, mikrobis yang hanya hilir mudik tanpa membawa penumpang? Jalan macet, BBM terbuang, dan inefisiensi lainnya. Bus AC dan mobil ribadi ber-AC tentu lebih boros BBM, dan itu semua dijejer di jalanan setiap hari.

Pohon besar sudah jarang, dan digantikan dengan beton besar di mana-mana. Kesegaran dari hijau daun terkikis oleh beton dan tembok, untuk mengatasi digunakalah kipas angon dan bahkan AC, itu semua BBM dan listrik juga.

Anak sekolah lebih memilih photo copy dibanding mencatat. Dua hal pemborosan, yaitu kertas dan listrik. Kertas berkaitan dengan kayu. Listrik berhubungan dengan BBM. Hal yang tidak sehat bagi alam dan lingkungan.

Hemat waktu, hemat tenaga, dan efisiensi memang baik. Semua baik itu teknologi, BBM, atau kemajuan apapun disediakan Tuhan untuk membantu kerja manusia agar lebih mudah. Namun waktu yang sisa dari efisiensi tersebut benar untuk yang lebih bermanfaat atau tidak?

Apa yang bisa dilakukan?

Sikap masa bodoh, dalam artian hal yang kecil tidak berkaitan secara nasional dan global. Semua berkaitan, coba kalau satu orang saja berpikir untuk hemat energi untuk menggunakan kaki, angkutan umum selama itu masih terjangkau.

Sama sekali belum ada yang menyatakan mengurangi jumlah mengemplang dalam proyek negara, yang isunya lebih dari 30% bocor. Coba berapa banyak yang bisa dialihkan kepada proyek massal dan berdaya guna.

Ketika rakyat kecil memperoleh insentif tidak sampai satu juta saja sudah ribut alang kepalang, sedang mereka mendapat jutaan dalam hitungan bulan bahkan tahun, tanpa melakukan apapun untuk negara, namun mereka tidak malu, untuk  iri. Coba mereka memotong sepersepulh saja gai atau tunjangan mereka. Kalau gajinya kurang mengapa mereka bisa mengenakan jam 5 milyard, mobil bermilyard dan bukan hanya satu, padahal pejabat negara.

Mengurangi kenikmatan menyaksikan sinetron, dan main hp, berapa saja nilai energi yang bisa dihemat kalau itu untuk seluruh bangsa. Tindakan sepele yang berguna secara massal tentunya.

Salam Damai.....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun