Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bencana = Tontonan?

29 Desember 2014   14:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:15 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam sehari kita sebagai bangsa Indonesia, disuguhi berita duka, dengan kebakaran pasar Klewer di Solo, dan disusul kehilangan kontak dari Air Asia. Duka cita mendalam, baik untuk kedua kejadian, meskipun Air Asia belum jelas, namun tentu keluarga penumpang dan awak pesawat pasti perlu dukungan dan doa, selayaknya kita semua berdoa.

Ada hal aneh dan naif sebenarnya ketika ada bencana, baik itu alam ataupun bencana karena perbuatan manusia. Merapi, Sinabung, ataupun tsunami, sepuluh tahun lalu, yang sepenuh-penuhnya bencana alam, tanpa manusia terlibat, atau kebakaran karena keteledoran manusia yang menyambung-nyambung cocolokan listrik dengan bertumpuk, kabel tua, dan banyak lagi akibtan perbuatan manusia, dalam hal ini termasuk banjir, yang intervensi manusia memaksakan kehendak atas aliran sungai. Sungai yang lebar dan dalam karena manusia serakah disempitkan saat membangun rumah, gudang, atau apapun bangunan. Kedalaman menjadi dangkal karena banyaknya sampah yang dibuang ke sungai. Pesawat jatuh, kereta menabrak kendaraan, orang tersambar bus, atau kereta, ada keterlibatan manusia di dalamnya. Naif dan aneh ketika orang beramai-ramai menonton, merekam, dan malah “bergembira” di tengah evakuasi oleh tim penolong.

Mengapa terjadi?

Ada kesempatan jurnalis warga, baik seperti Kompasiana, WideShot MetroTV, dan media sosial. Tercepat tentu akan memberikan pencerahan yang baik dan positif. Namun ketika tidak dibarengi dengan etika dan moral yang baik justru memilukan. Putra Nababan, sebagai petinggi MetroTV pernah menyatakan dalam salah satu eposide Sintilan-Sintulun saat ulang tahun Metro TV beberapa waktu lalu, alangkah baik dan mulianya, ketika jurnalis dan pewarta itu meletakkan mikrophone dan kameranya untuk sejenak duduk bersama korban, mengerti dengan hati bukan sebagai sarana membangun berita, kalau mungkin mengulurkan bantuan air minum, memberikan penghiburan, peneguhan. Apa yang kita saksikan dalam media alternatif apalagi, yang memiliki beragam latar belakang, karena media-media mainstream saja masih berkutat demi terdepan, terdahulu dibandingkan “pesaingnya” Ada orang sedang berduka, disodori mikrophone  dan  kamera close-up lagi. Lebih menyedihkan menanyakan apa perasaannya, jelas dan tentunya sedih. Uraian air mata apakah suka cita? Kan jelas tidak mungkin.

Orang menonton, lihat saja di sekitar kita apapun bisa menjadi tontonan, apalagi banjir, gunung meletus dan banyak lagi. Lucu kejadian di sekitar Pasar Klewer, ada kawasan yang disediakan untuk lahan parkir yang akan menonton kebakaran, memang menghasilkan rupiah bagi yang kreatif itu, namun betapa sulitnya pemadam kebakaran mencapai sasaran, belum lagi pemilik yang hendak menyelamatakan beberapa barang yang masih sempat diamankan. Penonton ini sering menimbulkan persoalan, bisa saja TKP rusak, kalau itu berkaitan dengan tindak kriminal, bisa pembunuhan, perampokan, dan lainnya. Kejadian yang tidak diinginkan seperti tertembak, saat penggrebekan Densus 88 beberapa waktu lalu.

Merepotkan pihak berwenang. Waktu Gunung Sinabung meletus beberapa bulan yang lalu, malah ada yang mendaki untuk berphoto-photo, ini korban bukan penduduk malah penonton. Bukan meringankan malah merepotkan.

Merapi yang sangat kental dengan Jawa, banyak  berkaitan dengan simbol dan  pantangan. Ketika ada lahar merah melaju, tidak boleh menunjuk atau menyatakan hal-hal yang “memperkeruh suasana” seperti, wah ngamuk, atau kudanya lepas, dan yang sejenis. Anggapan dan kepercayaan masyarakat sekitar dengan perilaku itu membuat lebih besar “kemarahan Mbah Merapi. Penonton dari luar sama sekali tidak akan tahu dan memperhatikan hal tersebut. Malah menunjuk dna menuju Merapi yang merupakan pantangan. (ini hanya kepercayaan setempat)

Haus hiburan dan hiburan mahal. Maka bencana hiburan gratis. Ironis dan memedihkan tentunya dengan keadaan demikian.

Perasaan empati dan simpati yang tumpul. Orang yang memiliki empati dan simpati, tentu akan menerapkan itu pada diri sendiri, Bagaimana kalau itu terjadi padaku, bagaimana kalau peristiwa itu menimpa anggota keluargaku. Dengan refleksi dan perasaan demikian tentu lebih mengulurkan tangan untuk membantu daripada menonton. Selain penontin juga pembuat berita-berita yang asal-asalan, terutama di media sosial, hanya karena ingin menjadi perbincangan, menjadi yang terdepan, melupakan perasaan pihak lain.

Menonton bahkan menjadi wisata boleh dan sah-sah saja, seperti wisata bencana Merapi saat ini dengan demikian manusia diingatkan betapa besar kuasa Tuhan dalam kehidupan manusia. Batu yang sekian puluh ton bisa dengan mudah meluncur. Atau kehancuran yang begitu parah lebih baik, kawasan itu menjadi kawasan hutan dan bukan menjadi hunian, meskipun menjanjikan secara ekonomi. Memtik hasil dan refleksi akan bijaksana setelah peristiwa bukan pas peritiwa terjadi.

Salam Duka bagi keluarga baik Pasar Klewer dan Air Asia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun