Presiden ketiga ini memang hanya singkat sekali memimpin negeri yang membanggakan bersama. Sinkat namun memberikan arti yang banyak, dengan keberanian mengadakan pemilu dengan waktu yang berdekatan, bukan mempertahankan kursi yang diperolehnya. Pemilu yang wajar hasilnya di masa transisi yang begitu penuh euforia dan menghasilkan sikap emosional berlebihan dibandingkan rasionalitas berbangsa.
Sikap-sikapnya dalam bernegara selanjutnya patut memperoleh apresiasi yang tinggi. Relasional personal dan kenegaraan yang paling baik dibandingkan presiden-presiden terdahulu dan hingga kini. Suksesi yang hampir semuanya dengan sakit hati dan dendam berkepanjangan. Semua tentu paham dan ingat apa yang terjadi dengan Pak Karno pada waktu pergantian, bahkan hingga tahanan rumah, bahkan pemikirannya saja seolah-olah terlarang dan tidak bisa diakses dengan leluasa. Penguasa pengganti menerapkan sapu bersih yang berbau dengan kepemimpinan sebelumnya. Pak Harto mendiamkan dan selalu menolak Pak Habibie ketika menjadi presiden. Hubungan buruk sekian lama, kalau tidak salah ingat sampai mendiang berpulang belum sempat bersua sebagaimana mestinya, sebagai seorang anak dan bapak seperti dijalin sebelum adanya reformasi. BJ. Habibie tidak ada masalah dengan pendahulunya, maupun setelahnya, Gus Dur dan seterusnya-seterusnya.
Reformasi membawa perubahan besar-besaran. Presiden pertama reformasi Gus Dur ditelikung oleh banyak persoalan dan berganti kepada Ibu Mega. Hubungan memburuk, adik kakak yang mesra itu sempat renggang bahkan terputus. Presiden Mega dengan penggantinya Presiden SBY, semua tentu masih ingat mengenai kekakuan dan kedinginan suasan di antara mereka berdua kalau bersua, paling salaman kaku, dingin, dan tanpa ekspresi.
Pak Beye ke Jokowi memang kelanjutan kepemimpinan yang paling bagus dan seremoni paling bagus hingga pemerintahan hari ini. Di atas panggung dan di depan massa dalam arti sebatas artifisial itu. Mengapa demikian? Sepanjang pemerintahan berjalan komunikasi kedua presiden ini sama sekali tidak bagus dan ada yang buntu entah apa itu. Berkunjung ke istana, saat terdesak ada persoalan di presiden sebelumnya, dan sering di media sosial mengeluarkan pendapat yang tidak pas bagi keberlangsungan negara yang besar, dan sedang dalam situasi yang memburuk. Komentar, dan kegundahan, bukan sebuah solusi, dan berdasar isu atau gosip semata, langsung bereaksi seperti itu.
BJ. Habibie, selalu hadir dalam acara-acara kenegaraan yang memang seharusnya dihadiri para presiden dan wakil presiden sepanjang sehat dan bagus kondisinya. Upacara benderaan 17 Agustus di istana adalah waktu yang paling tepat menunjukkan kesatuan para presiden, dan itu hanya Profesor BJ Habibie yang selalu hadir. Pelantikan presiden dan wakil presiden bijaksana ketika para pendahulu datang dan hadir untuk memberikan dukung dan restu, ingat bangsa ini bangsa religius yang masih mengenai restu senior. Namun sekali lagi itu hanya BJ Habibie yag rajin hadir.
Tidak pernah mengatan zaman saya, kog zaman ini begini, atau menyatakan ikuti gaya saya. PT DI sebagai kebanggaan dan impian beliau hingga saat ini hidup segan matipun tidak mau, tidak beliau paksakan dan berisik kepada siapapun presidennya, padahal anggaran yang pernah digunakan dahulu, sangat sayang kalau ditinggalkan begitu saja.
Datang dan memberikan dukungan ketika presiden menghadapi masalah. Persoalan Polri-KPK sangat menguras energi presiden, beliau datang dan memberikan masukan secara personal dan tertutup. Pembicaraan seorang negarawan, melalui saluran dan jalur sangat-sangat elegan dan kepantasan yang layak dihargai.
Negarawan bukan berpikir aku dan kelompokku, dan ketika usai menjabat selesai, dan itu bisa dilakukan dan dijalankan dengan baik oleh BJ Habibie. Keprihatinan presiden dan rakyat juga keprihatinan beliau, bukan usai masa jabatan selesai juga tanggung jawabnya.
Salam Damai....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H