Sosok pemimpin ideal memang banyak ragamnya, bisa Mr. Obama yang terkesan muda dan sporti dengan cara berlari saat naik ke podium, namun tentu aneh kalau di lakukan Pak SBY. Bisa berapi-api seperti Bapak Habibie yang sulit dilakukan oleh Pak Boed yang tenang dan kalem.
Yudistira memiliki banyak sisi positif untuk menjadi bahan referensi sosok pemimpin:
Menjalin komunikasi, relasi, dan diplomasi dengan baik. Dia tahu dengan persis kalau dia tidak bisa bermain dadu sebaik saudara sepupunya Duryudana, selain piawai juga terkenal akan kelicikannya. Dadu tanpa kelicikan tidak akan mungkin terlaksana, bandar pasti kalah tentunya. Dia tahu persis apa yang akan terjadi, demi relasi dan tentunya diplomasi dia ikuti tantangan itu. Sangat tidak pantas menolak tawaran, meskipun itu adalah muslihat.
Teguh janji. Ketika kalah, semua perjanjian dituruti, bahkan istrinya yang sedang dipermalukan, dia hanya mampu diam saja, tidak mau mencabut atau mengotori janji ksatrianya. Lihat berbeda sekalli dengan saat ini, jelas-jelas kalah saja masih mencari pembenar. Sudah jelas memiliki penolakan yang besar masih bersikukuh untuk melaju.
Ksatria. Menepati janji denga pergi dan setia akan hukuman sesuai dengan deal yang telah dilakukan. Semua dijalani dengan setia dan tekun. Bukan mencari pembenar dan membangun opini akan pihak lain sebagai pelaku kecurangan.
Tanggung jawab, bukan mendelegasikan kepada pihak lain. Soal opini aswatama mati, dia katakan aku pemimpin dan biar kan aku yang menangung kedosaan ini, dan seketika keretanya menginjak bumi tidak lagi melayang-layang. Pemimpin berani menangung risiko dan bukan cari selamatnya sendiri.
Berfikir akan yang lain. Saat hendak masuk nirvana, dia masih ingat semua saudara dan bahkan “anjing”nya. Pemimpin bukan berorientasi pada dirinya sendiri namun pada orang/pihak lain. Dia rela tidak masuk nirvana karena “anjing”nya ditolak masuk, yang ternyata itu adalah ujian bagi hatinya yang memang layak sebagai seorang pemimpin.
Pemimpin bukan hanya karena banyak pengikut dan bisa membentuk opini dengan berbagai cara. Cara yang paling mudah membentuk citra dan opini publik dengan menggunakan media sosial. Orang yang sebenarnya biasa-biasa saja, karena memiliki uang bisa membeli dan membayar orang yang mau membuatkan karya untuknya.
Menggiring orang untuk berpikir bahwa dia orang yang tepat dan benar untuk menjadi pemimpin, namun lupa kalau dia hanya besar oleh kata orang yang ingin ikut mendompleng kebesarannya yang masih belum terbukti. Tipikal pemimpin model ini biasanya akan mudah marah dan patah semangat kalau menghadapi kritik atau penolakan.
Ketika dia cepat dan reaktif saat berkaitan dengan diri dan keluarganya, tentu bukan pemimpin yang baik. Pemimpin ideal akan menggunakan kemampuan bukan untuk diri dan kelompok, namun untuk masyarakat secara luas.
Dunia memang tidak ada yang ideal, namun paling tidak mendekati ideal. Semua ada kekurangan, namun yang paling sedikit kekurangannya yang pantas untuk memimpin. Mencari kesempurnaan dan tanpa cela, sampai kapanpun tidak akan terjadi.
Salam Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H