Dewasa ini keyakinan tidak ada makanan yang gratis memang demikian adanya. Semua berpamrih, wajar, normal, dan biasa sekali. Kelucuan dan kenaifan Australia saat membantu bencana terutama tsunami Aceh dikaitkan dengan pembebasan hukuman mati pelaku kriminal dan tepatnya penghancuran kemanusiaan, yang sangat bertolakbelakang dengan bantuan kemanusiaan. Penghancur kemanusiaan dengan bantuan kemanusiaan, sungguh tidak sebanding.
Sepakat bahwa kehidupan dan kemanusiaan harus dibela. Apakah layak negara dan pemerintahan Australia berlaku demikian, jelas dan wajar. Tidak wajar ketika sudah sangat berlebihan dan menggunakan segala cara, dan akhirnya lucu dan naif.
Pertama dengan permohonan dan berbagai cara halus. Sama sekali tidak mempan, dan mereka tidak berpikir bagaimana pemerintah Indonesia berhadapan dengan Brasil, Belanda, Vietnam, dan rakyatnya sendiri yang telah dihukum mati pada waktu yang lalu.
Mengancam dengan pernyataan tidak akan mengizinkan rakyatnya ke Bali dan Indonesia sebagai tujuan wisatanya. Memangnya dengan mudah dilakukan, sangat tidak mudah di era modern seperti ini. Kalau datang hanya untuk menjual narkoba dan membuat kerusuhan juga sudah sepantasnya kalau mereka melarang rakyatnya membuat onar di negara lain.
Mengaet Sekjen PBB untuk mendukung mereka. Aksi sangat aneh, ketika rakyat Indonesia sering mati di negara lain tanpa peradilan dan komentar, ketika untuk terpidana narkoba jelas-jelas kriminal, Sekjen PBB mempertaruhkan kemaluannya karena rengekan negara Australia. Bisa dimaklumi kalau penduduk Australia sebanyak TKI Indonesia di Malaysia dan Timur Tengah mengalami kejadian demikian, PBB turun tangan, namun pernahkah hal itu terjadi? Terpindana ini sudah menjalani  peradilan yang panjang dan segala upaya telah dilakukan dan memang bersalah dan membahayakan bangsa manusia bukan hanya manusia Indonesia saja.
Katanya berubah, ketika perubahan itu tidak terima, mengaku sebagai gila. Aneh bin ajaib ketika orang gila bisa berdagang dan tahu itu penghasil uang. Hanya Australia yang warga negaranya gila bisa berubah menjadi baik demi kebebasannya.
Paling aneh di dunia internasional ketika bantuan kemanusiaan dikaitkan dengan pelaku kriminal. Bisa saja mereka marah-marah ketika ada kebakaran hutan sekian lamanya, dan meminta bantuan Indonesia dan ditolak. Atau pesawat mereka jatuh di perairan Indonesia dan Indonesia tidak peduli atau melarang mereka melakukan pencarian. Bagaimana sikap mereka terhadap nelayan yang karena keterbatasan alat komunikasi dan teknologi masuk perairan mereka. Atau juga perilaku mereka berkaitan dengan pencari suaka dari Timteng? Mereka bukan pelaku kriminal, karena kemiskinan dan mencari penghidupan, mereka tegas dan bahkan kejam.
Mereka lupa ketika sudah sangat memalukan menyadap Presiden dan Ibu Negara? Sekarang merengek-rengek seolah tetanggan baik hati yang diperlakukan secara semena-mena oleh tetangga yang telah dibantunya. Intelijen di mana-mana memang ada, tapi kalau hingga istri presiden sudah keterlaluan.
Terpidana mati yang dijadikan komoditi politik. Perdana menteri sedang lepas dari lubang jarum untuk kembali berkuasa. Menyelamatkan dua orang ini tentu sebagai amunisi yang baik bagi dia pribadi di mata masyarakatnya.
Indonesia yang kuat, akan mengganggu perdagangan mereka, juga tempat sampah potensial bagi mereka akan hilang. Sapi dan daging Indonesia merupakan pangsa yang besar bagi mereka. Indonesia yang stabil dan ada kepastian hukum akan menjadikan Indonesia mampu mandiri, tentu kehilangan besar bagi mereka.
Australia, berhentilah merengek dan berperilaku secara dewasa dalam menghadapi persoalan. Pelaku kriminal kemanusiaan sangat tidak sebanding dengan bantuan kemanusiaan.
Salam Damai...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H