Mohon tunggu...
Paulina Sihaloho
Paulina Sihaloho Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Aku pelajar SMA Bintang Timur, Pematang Siantar. Aku menulis untuk mengasah dan mempertajam pikiran, serta menjadikan hidupku lebih baik dari hari ke hari.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Seragamisasi di Sekolah, Apakah itu Manusiawi?

30 Oktober 2024   08:56 Diperbarui: 30 Oktober 2024   09:15 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Quality education)

Kenapa Anak SD Lebih Antusias Dibanding Anak SMA?

Harusnya kan, semakin lama seseorang itu berada di sekolah, belajar, harusnya kan apa yang dia inginkan, profesi apa yang akan dia geluti atau jalani dalam hidupnya, semakin jelas. Kenapa, yang terjadi bisa sebaliknya?

Kenapa anak-anak SD itu lebih antusias membicarakan atau memberitahukan mereka mau jadi apa? Mau jadi guru, dokter, tentara, polisi, pilot, dst itu, jika dibandingkan dengan anak-anak SMA?

Mengapa semakin lama seorang anak berada di sekolah, justru ketajaman dan fokus menjadi mengabur? Apakah itu terutama hanya berkaitan dengan bertambahnya informasi yang diketahui seiring berjalannya waktu?

Misal, bagi anak SD mungkin, menjadi dokter atau pilot itu adalah hal yang hebat tanpa mereka mengetahui berbagai macam tantangan yang harus dilalui untuk bisa menjadi seorang dokter atau pilot. Mereka nampaknya masih lebih cenderung terpesona dengan profesi itu karena nampak keren: bisa mengobati orang lain, atau bisa membawa pesawat terbang.

Bisa jadi, semakin bertambahnya usia dan waktu yang dilalui di sekolah, ketika sudah SMA, orang cenderung menjadi lebih pesimis, bahkan tidak lagi punya fokus atau keinginan yang bulat akan menjadi apa dalam hidupnya. Lagipula kan, kalau seseorang mempunyai cita-cita menjadi seorang dokter, toh dia juga bisa ragu karena untuk bisa masuk di jurusan itu, apalagi di universitas-universitas negeri, sekalipun dia yang paling pintar di sekolah saat SMA, bisa saja tidak bisa lolos karena prosedur yang harus dilalui, seperti tes masuk perguruan tinggi. Walaupun dia pintar dan orang tuanya kaya dari segi perekonomian, belum tentu atau tidak ada jaminan bahwa dia bisa melenggang masuk di jurusan itu.

Nampaknya, itulah mungkin salah satu penyebab mengapa ketika sudah berada di bangku SMA, antusiasme terhadap cita-cita mau menjalani profesi apa dalam hidup semakin kabur. Yang terjadi nampaknya lebih cenderung: Ya sudahlah, lihat nantilah itu. Nantilah saya putuskan, yang penting masuk dulu di universitas, mudah-mudahan bisa masuk di jurusan yang saya sukai. Kalaupun tidak bisa, nantilah itu dipikirkan. Bisa jadi, ini yang berlangsung pada banyak orang?

Sayang Betul Ya?

Alangkah menyedihkan. Jujur! Iya kan? Bagaimana mungkin, seorang anak yang bercita-cita jadi pilot, dokter, guru, tentara, atau apa saja itu, dalam perjalanannya di sekolah, semakin lama semakin dia ragu akan cita-cita itu?

Bukankah sistem pendidikan itu justru yang membuat bahkan memaksa anak-anak yang tadinya antusias, penuh energi, dan polos itu menjadi ragu dengan diri mereka?

Selama 12 tahun sekolah, sebelum mereka masuk universitas, kalau mereka misalnya mau menjadi dokter, perjalanan yang panjang itu, potensial membuat mereka tidak mampu bertahan dan semakin ragu. Belum tentu mereka bisa mencapai nilai tinggi selama tahun-tahun sekolah itu. Belum tentu mereka bisa berada di ranking 1 sampai 5. Kalau hanya yang berada di top 5 saja yang punya peluang masuk di fakultas yang dianggap bergengsi macam itu, peluang akan semakin kecil, sebab, bisa saja kebanyakan yang nilainya tinggi itu malah tidak punya bakat atau niat menjadi dokter.

Penyeragaman di sekolah itu bisa melelahkan dan membosankan. Kenapa harus begitu ya? Dalam satu kelas, misalnya ada 40 orang murid. Atas dasar apa bahwa semua dari yang 40 orang ini harus mempelajari hal-hal yang sama?

Itu baru satu kelas, belum lagi kelas-kelas paralel di satu sekolah, di satu provinsi, dan di satu negara. Apa nggak ngeri, setiap pelajar yang seusia denganku sekarang, kelas III SMA, harus mempelajari hal-hal yang hampir sama, mungkin hanya sedikit variasi yang membedakan.

Semua serba seragam: baju seragam, sepatu seragam, dasi seragam, mata pelajaran juga hampir semuanya seragam (sedikit perbedaan saja antara yang swasta dan negeri, sekolah biasa dan sekolah bonafit). Dan, yang paling seram adalah: pikiran juga diseragamkan, sengaja atau tidak sengaja. Itu kan yang terjadi?

Jadi, apakah tidak mungkin bahwa sekolah atau pendidikan formal yang berlangsung selama ini bisa jadi tak ubahnya seperti pabrik yang mengeluarkan jenis barang yang sama; sekolah adalah cetakannya?***

Silahkan berkunjung ke Channel YouTube saya di: https://www.youtube.com/@paulinasihaloho2899, di mana saya berbagi cerita tentang berbagai macam hal terutama dengan hal-hal mengenai pendidikan berdasarkan pola pandang saya sebagai murid. Terima kasih untuk dukungan Anda, men-subscribe, like dan share.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun