Prolog:
Kadang, keadilan Tuhan tampak samar di mata manusia. Namun, di balik setiap pertanyaan dan kegelisahan, ada kebijaksanaan yang bekerja dalam cara yang tak selalu kita pahami.Â
Awal Februari, seharusnya hujan turun lebih sering. Namun Kota Yogyakarta tetap setia datang dengan panasnya, dan hujan tak turun hari ini. Seorang teman menelponku dan bercerita tentang hari-harinya yang dipenuhi kesulitan dan mulai mempertanyakan keadilan Tuhan. Entah kenapa dia memulai kisahnya dengan bagaimana seriusnya dia mengusahakan semua tugas dan kewajiban di kantornya tapi rasanya semua tidak berjalan seperti yang diharapkan sementara ada yang begitu bermalasan tapi mendapatkan kenaikan jabatan begitu mudah. Ia bahkan mulai mengisahkan tentang beberapa gelandangan yang ditemuinya berjalan bersama anaknya sembari memungut botol bekas. Dengan kesal temanku itu berujar : "Adilkah Tuhan membiarkan anak itu akan terus menjadi pemulung dengan kemiskinan yang diwariskan ayahnya? Awal Februari telah dimulai dengan pertanyaan yang begitu berat, tentang keadilan Tuhan.
Percakapan kami terhenti ketika suara azan terdengar dari masjid di belakang rumahku. Aku bilang padanya, aku berdoa dulu dan berjanji akan menelpon kembali. Biasanya jam 3 siang adalah jam kerahiman bagi umat Katolik. Jam ketika Yesus wafat di salib, dan biasanya didaraskan doa kerahiman atau koronka untuk mendoakan keselamatan jiwa-jiwa dan dunia. Tapi entah mengapa aku tidak berdoa di tengah hari itu. Hanya terpekur menatap salib dan Yesus yang tergantung di sana; lalu memikirkan tentang keadilan Tuhan.Â
Jam tiga, Yogyakarta terasa sumuk dan memikirkan keadilan Tuhan membawaku mengingat sekelebat memori seorang pemulung paruh baya dan dua orang anaknya yang berteduh di bawah pohon kepok dekat sawah kompleks rumahku sedang menikmati nasi bungkusnya masing-masing. Mereka makan sambil tertawa riang dan menikmati pemandangan hijau di depannya. Baju mereka usang, dengan alas kaki apa adanya, tawa mereka tak jauh beda dengan keceriaan tawa anakku yang duduk di kursi belakang mobil ber-AC yang kukendarai. Ah, aku terkaget dalam lamunanku. Salib Yesus masih ada di depanku, dan monolog itu terjadin begitu saja.
Aku yang pertama :Â
Mengertikah engkau, bahwa selubung ragawi dan pakaian duniamu tak menentukan kedalaman sukacita yang ada di jiwa pemakainya. Cobalah melihat keadilan dengan ukuran spiritual, yang menyentuh kedalaman rohani dan bukan ukuran duniawi.
Aku yang kedua :Â
Ah, ternyata demikian. Betapa bodohnya aku selama ini. Berarti frasa "mereka yang kurang beruntung" tidak tepat digunakan untuk siapa-pun, karena jika berpegang pada prinsip bahwa Tuhan itu adil, tak ada orang yang lebih beruntung atau kurang beruntung satu dari lainnya.
Aku yang pertama :Â
Benar. Keadilan Tuhan sering kali disalahartikan sebagai kesetaraan dalam hal materi, kesehatan, atau keberuntungan duniawi. Banyak orang bertanya-tanya mengapa mereka yang berlaku jahat: memfitnah, menipu, atau menindas sesamanya; tampak hidup nyaman dan bahagia, sementara orang yang jujur dan baik hati justru mengalami penderitaan. Jika keadilan Tuhan hanya diukur dari keberhasilan duniawi, maka tampaknya dunia ini tidak adil. Namun, keadilan Tuhan tidak beroperasi dalam skema manusia yang terbatas, melainkan dalam dimensi spiritual yang jauh lebih dalam dan abadi.
Aku yang kedua:
Tapi bukankah ada yang berkata usaha baik akan selalu membawa hasil yang baik. Kaya karena usaha dan ketekunan. Bagaimana engkau menjelaskan perkara ini ?
Aku yang pertama:
Dalam hal ini engkau tidak salah. Tetapi soal keadilan Tuhan dan bagaimana cara Tuhan bekerja pada setiap jiwa adalah suatu misteri. Dalam kehidupan rohani, keadilan Tuhan bukanlah soal siapa yang memiliki lebih banyak harta atau siapa yang hidup tanpa masalah. Tuhan melihat jauh ke dalam hati manusia, bukan hanya tindakan luar yang bisa disalahartikan. Mereka yang berbuat jahat, meskipun tampak sukses dan bahagia, sebenarnya membawa beban jiwa yang berat. Kehidupan mereka mungkin tampak lancar, tetapi di dalam batin mereka ada kegelisahan, ketakutan, dan kehampaan yang tidak bisa diisi oleh kesenangan duniawi. Sebaliknya, orang baik yang menderita sering kali justru mengalami penyucian jiwa, pertumbuhan spiritual, dan semakin dekat dengan Tuhan. Sehingga, seseorang yang tampak tidak kaya secara duniawi meski sudah bekerja keras, bukan berarti ia adalah pribadi yang tidak baik, karena apa yang diperolehnya, sukacita dalam jiwanya adalah berkat Tuhan yang tidak dapat ditimbang mata manusia.
Penderitaan dalam kehidupan ini bukan tanda bahwa Tuhan tidak adil, melainkan sebuah panggilan untuk naik ke tingkat kesempurnaan rohani yang lebih tinggi. Orang jujur yang mengalami kesulitan dan sakit menderita bukan karena Tuhan mengabaikan mereka, tetapi karena mereka dipilih untuk sesuatu yang lebih besar. Banyak orang suci dalam sejara; seperti para nabi, para rasul, dan orang-orang kudus, mengalami penderitaan yang luar biasa. Namun, justru dalam penderitaan itulah mereka menemukan kasih dan kedekatan Tuhan yang sejati.
Aku yang kedua:
Tunggu dulu, bagaimana dengan mereka yang berbuat jahat, menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan tidak teraturnya dan tampak baik-baik saja kehidupannya. Dimana keadilan Tuhan dalam perkara ini ?
Aku yang pertama:
Nah, ini yang ingin aku katakan bahwa mereka yang hidup dalam kejahatan tanpa mengalami kesulitan sering kali justru berada dalam keadaan yang lebih berbahaya secara rohani. Mereka mungkin menikmati dunia, tetapi jiwa mereka perlahan-lahan menjadi mati rasa terhadap kebenaran dan kasih Tuhan. Hidup yang tampak baik di luar, tanpa masalah dan penuh kesenangan, bisa menjadi jebakan yang membuat mereka semakin jauh dari keselamatan. Tuhan tidak serta-merta menghukum mereka di dunia ini, karena keadilan-Nya melampaui waktu dan akan disempurnakan di kehidupan yang kekal.
Dalam perspektif iman, keadilan Tuhan adalah tentang kebenaran yang akan terungkap pada waktunya. Seorang yang jahat mungkin bisa menipu dunia, tetapi ia tidak bisa menipu Tuhan. Tidak ada kebohongan yang bertahan selamanya, dan setiap perbuatan akan mendapat balasannya. Tuhan memberi waktu bagi orang berdosa untuk bertobat, tetapi jika mereka tetap keras hati, maka hukuman rohani yang jauh lebih berat menanti mereka di kehidupan setelah kematian.
Sebaliknya, penderitaan orang baik bukanlah tanpa makna. Penderitaan itu bisa menjadi sarana penyucian, bisa menjadi bagian dari rencana Tuhan yang lebih besar, atau bahkan menjadi cara bagi mereka untuk mengambil bagian dalam penderitaan Kristus. Orang baik yang menderita mungkin tampak kalah di dunia, tetapi di mata Tuhan mereka sedang menang, karena mereka sedang meniti jalan menuju kehidupan kekal yang penuh sukacita.
Aku yang kedua:
Ah, aku mengerti. Berarti meski tanpa baik-baik saja mereka yang jahat justru berada dalam kerentanan yang sungguh berbahaya bagi jiwa mereka. Mungkinkah Tuhan juga memberikan ruang bagi mereka untuk memperbaiki diri?
Aku yang pertama:
Bisa jadi demikian, semua adalah misteri ilahi. Jalan-jalan Tuhan kadang sulit dipahami. Namun dalam perkara-perkara kejahatan tertentu yang berat seperti menolak Tuhan, musyrik atau dosa terhadap Roh Kudus adalah kejahatan tak termaafkan.
Aku yang kedua:
Jadi, penderitaan dan kesusahan di dunia ini tak selamanya buruk bukan? Kadang itu adalah kesempatan Tuhan untuk memperbaiki diri, lebih dekat padanya dan tentu suatu jalan pemurnian. Begitu kan?
Aku yang pertama:
Tepat sekali. Jadi terlepas dari apapun seragam duniawimu, kaya, miskin, pintar, bodoh, apapun ukuran manusia, setiap jiwa dianugerahi berkat yang sama dari Tuhan. Sukacita yang sama, tergantung bagaimana jiwa itu menyikapi keadaannya. Masih ingat tawa yang sama dari pemulung paruh baya dan kedua anaknya tadi? Sukacita yang sama, tawa lepas yang sama dari jiwa yang bersyukur akan apapun kondisi duniawinya. Itulah keadilan Tuhan.
Aku yang kedua:
Aku mengerti, aku mengerti. Sungguh indah boleh memahaminya. Lalu apa yang harus kukatakan pada sahabatku itu tentang semua ini?
Aku yang pertama:
Cobalah katakan padanya bahwa keadilan Tuhan sering kali baru bisa dipahami sepenuhnya dalam perspektif kekekalan. Apa yang tampak sebagai penderitaan di dunia ini bisa jadi adalah jalan menuju kemuliaan yang lebih besar. Sebaliknya, apa yang tampak sebagai keberhasilan duniawi bisa jadi adalah kehancuran rohani yang tak terlihat. Inilah sebabnya mengapa iman dan kepercayaan kepada Tuhan sangat penting, karena tanpa itu, manusia akan selalu tergoda untuk mengukur keadilan Tuhan dengan standar duniawi yang dangkal.
Akhirnya, keadilan Tuhan bukanlah tentang memberikan kenyamanan instan atau hukuman segera, tetapi tentang memastikan bahwa setiap jiwa menerima balasan yang sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya. Tuhan tidak membiarkan satu pun ketidakadilan terjadi tanpa tujuan, dan setiap penderitaan yang diterima dengan iman akan berbuah kemuliaan. Oleh karena itu, mereka yang percaya kepada-Nya harus tetap teguh, karena dalam kebijaksanaan-Nya yang sempurna, Tuhan sedang mengatur segala sesuatu dengan cara yang jauh lebih adil daripada yang bisa kita pahami saat ini.
Aku yang kedua:
Tuhan memang sungguh adil. Maha adil, teramat adil.
Hening, dan aku tersadar sambil memandang salib. Senja mulai merapat dan aku tersenyum. Aku bangkit dari tempat doaku setelah mengucap syukur akan pemahaman ini dan bergegas meraih telepon selularku. Sore tadi, aku menghabiskan satu jam penuh berkisah tentang monolog keadilan Tuhan pada sahabatku yang gundah itu. Hujan turun deras setelahnya.
Epilog
Pada akhirnya, bukan kenyamanan dunia yang menentukan keadilan Tuhan, melainkan bagaimana setiap jiwa menemukan makna dalam rencana-Nya yang lebih besar.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!