Prolog
Jiwa yang ingin meraih unifikasi dengan Allah
Harus lepas dari dunia, daging dan roh jahat atas semua keinginan tak teratur
Tidak ada ruang bagi apapun selain-Nya
Dalam keheningan, jiwa dipanggil untuk melangkah
Teman pendakianku, rasanya percakapan kita semalam belum tuntas. Aku masih merenungkan pertanyaan dan keraguanmu tentang apa yang telah kita lewati pada sepuluh pos pendakian sebelumnya.Â
Apakah untuk mencapai kesempurnaan ini, kita perlu mematikan semua keinginan, baik yang besar maupun kecil, atau cukup mematikan beberapa dan membiarkan yang lainnya, terutama yang tampaknya tidak terlalu penting?Â
Aku teringat dengan gusar engkau mengungkapkan bahwa tampaknya sulit bagi jiwa untuk mencapai kemurnian dan keterlepasan total sehingga tidak memiliki kehendak atau afeksi terhadap apapun selain hanya pada Allah. Itu seperti sesuatu yang mustahil. Kita bukan malaikat, begitu katamu. Aku ingin menjelaskan apa yang kupahami tapi sebaiknya biarlah pendakian kali ini akan menjelaskan dengan sendirinya akan jawaban yang dicari. Siulan angin di sela ranting cemara sudah menandakan harus dimulainya perjalanan pendakian kita hari ini.
Menanggalkan Setiap Keinginan demi Kesempurnaan Rohani
Persatuan Ilahi yang sejati menuntut kebebasan jiwa dari segala bentuk keinginan, betapapun kecilnya. Santo Yohanes dari Salib menegaskan bahwa untuk mencapai kesempurnaan rohani, seseorang harus mengalami pematian total terhadap semua keinginan, baik yang besar maupun yang kecil. Tidak cukup hanya mematikan sebagian dan membiarkan yang lain, karena setiap keinginan yang tersisa, sekecil apa pun, tetap menjadi penghalang bagi transformasi total dalam kehendak Allah. Ia menjelaskan bahwa meskipun keinginan alami tidak selalu menghambat perjalanan rohani jika tidak disetujui oleh kehendak rasional, keinginan yang disengaja, baik dari dosa berat, yang paling serius, dosa ringan, yang kurang serius, maupun hanya dari ketidaksempurnaan, yang paling ringan dari semuanya, tetap harus disingkirkan. Jika jiwa ingin mencapai persatuan yang sempurna dengan Allah, maka ia harus terbebas dari semua keinginan ini, betapapun ringannya.
Dalam perjalanan menuju persatuan dengan Allah, jiwa harus membiarkan dirinya sepenuhnya dibentuk oleh kehendak-Nya, tanpa ada satu pun keinginan pribadi yang bertentangan dengan rencana-Nya. Santo Yohanes dari Salib mengingatkan bahwa keadaan ini adalah transformasi total, di mana segala gerakan jiwa menjadi semata-mata gerakan kehendak Allah. Bahkan ketidaksempurnaan yang tampaknya sepele pun dapat menjadi rantai yang mengikat jiwa dan mencegahnya mencapai kebebasan spiritual yang sejati. Oleh karena itu, dosa berat yang paling serius, dosa ringan yang tampaknya tidak terlalu menghambat, maupun ketidaksempurnaan kecil yang terlihat remeh, semuanya harus dihilangkan agar tidak menjadi penghalang dalam perjalanan rohani. Pengorbanan ini memang berat, tetapi hanya dengan jalan ini jiwa dapat mencapai persatuan sempurna dengan Allah, di mana kehendak manusia sepenuhnya dilebur dalam kasih-Nya.
Santo Yohanes dari Salib menjelaskan bahwa untuk mencapai persatuan sempurna dengan Allah, kehendak jiwa harus sepenuhnya bersatu dengan kehendak-Nya. Ini berarti bahwa jiwa harus bebas dari segala keinginan, betapapun kecilnya, yang bertentangan dengan kehendak Allah. Ia menegaskan bahwa jika jiwa menginginkan sesuatu yang tidak dikehendaki Allah, maka tidak akan ada kesatuan dalam kehendak Allah, karena kehendak jiwa akan bertentangan dengan kehendak-Nya. Oleh karena itu, jiwa harus memiliki kekuatan dan kebebasan untuk tidak secara sengaja memberikan persetujuan terhadap ketidaksempurnaan, dan harus menjaga kebebasan untuk menolak keinginan-keinginan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Keinginan-keinginan yang tidak disengaja atau tidak disadari tidak menghalangi persatuan dengan Allah, meskipun dapat menyebabkan dosa ringan, tetapi yang lebih berbahaya adalah keinginan-keinginan yang disengaja, bahkan yang tampaknya kecil, karena itu dapat menghalangi kemajuan jiwa menuju persatuan Ilahi yang sempurna.
Lebih lanjut, Santo Yohanes dari Salib mengingatkan bahwa kebiasaan keinginan yang disengaja, meskipun hanya untuk hal-hal kecil, dapat menjadi penghalang besar bagi jiwa yang ingin mencapai kesatuan dengan Allah. Bahkan jika kebiasaan tersebut tampaknya tidak terlalu kuat, namun jika tidak dimatikan, keinginan-keinginan ini akan tetap menghalangi persatuan Ilahi. Jiwa yang terikat oleh kebiasaan ketidaksempurnaan ini tidak akan dapat mencapai kesempurnaan rohani atau kemajuan menuju Tuhan. Meskipun jiwa mungkin dapat melawan keinginan-keinginan ini pada tingkat tertentu, tetap saja, selama kebiasaan tersebut tidak dimatikan, jiwa akan kesulitan untuk mencapai transformasi total dalam kehendak Allah. Oleh karena itu, setiap keinginan, baik yang besar maupun kecil, yang tidak sesuai dengan kehendak Allah harus disingkirkan, agar jiwa dapat mencapai kebebasan sejati dalam persatuan Ilahi.
Santo Yohanes dari Salib menjelaskan bahwa ketidaksempurnaan yang menjadi kebiasaan, meskipun tampak kecil, dapat sangat menghambat kemajuan jiwa dalam kebajikan. Ketidaksempurnaan ini bisa berupa kebiasaan berbicara terlalu banyak, keterikatan pada seseorang atau benda tertentu, atau keinginan untuk terlibat dalam gosip atau hal-hal duniawi lainnya. Meskipun keterikatan ini terlihat tidak signifikan, jika jiwa telah terbiasa dengan mereka, hal itu dapat merugikan pertumbuhan rohaninya sama besar dengan jatuhnya jiwa ke dalam banyak dosa ringan lainnya. Bahkan ketidaksempurnaan kecil ini, jika tidak disingkirkan, akan tetap menghalangi jiwa untuk maju dalam kesempurnaan, karena selama jiwa terikat pada sesuatu, ia tidak akan dapat mencapai kebebasan dan persatuan dengan Allah.
Santo Yohanes dari Salib menggambarkan bagaimana keterikatan terhadap sesuatu, betapapun kecilnya, bisa menghalangi jiwa untuk mencapai persatuan Ilahi. Ia menyamakan jiwa yang terikat oleh keinginan dan keterikatan dengan seekor burung yang terikat oleh seutas benang tipis. Meskipun benang itu mudah diputus, burung itu tetap terhambat selama ia tidak memutuskan ikatan tersebut. Begitu juga dengan jiwa yang terikat pada keinginan-keinginan kecil, meskipun penuh dengan kebajikan dan rahmat Allah, tetap akan terhambat dalam pencapaian kesempurnaan rohani. Jiwa hanya membutuhkan satu langkah besar untuk memutuskan ikatan keinginan tersebut dan mencapai kebebasan sejati dalam persatuan Ilahi.
Mengatasi Ketidaksempurnaan Kecil
Santo Yohanes dari Salib menyampaikan bahwa meskipun Allah telah memberikan kekuatan kepada jiwa untuk melepaskan diri dari keterikatan yang lebih besar, seperti dosa dan kesia-siaan, banyak jiwa yang gagal untuk mencapai berkat-Nya hanya karena tidak dapat melepaskan diri dari keterikatan terhadap hal-hal sepele yang sebenarnya tidak lebih dari benang atau rambut. Hal ini sangat disayangkan, karena ketidakmampuan untuk memutuskan ikatan-ikatan kecil ini menyebabkan jiwa bukan hanya tidak berkembang, tetapi malah mundur, kehilangan apa yang telah dicapai, dan kembali ke jalan yang telah ditempuh dengan susah payah. Santo Yohanes mengingatkan bahwa dalam perjalanan rohani, tidak maju berarti mundur, dan tidak memperoleh berarti kehilangan. Seperti yang diajarkan oleh Tuhan dalam Matius 12:30, "Barangsiapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku," yang menegaskan pentingnya kesatuan dan komitmen total kepada Allah.
Lebih lanjut, Santo Yohanes dari Salib menekankan bahwa satu ketidaksempurnaan yang tidak diselesaikan dapat menyebabkan ketidaksempurnaan lainnya muncul, dan ini akan terus berlanjut hingga jiwa semakin jauh dari tujuan rohaninya. Dia memberikan contoh bahwa jiwa yang gagal menaklukkan satu keinginan akan terus mengalami banyak keinginan lain yang berasal dari kelemahan yang sama. Sebagai ilustrasi, banyak jiwa yang telah diberi rahmat untuk mencapai kebebasan rohani yang besar, tetapi karena mulai memanjakan keterikatan kecil, seperti keinginan akan percakapan atau persahabatan, mereka akhirnya kehilangan kehidupan rohani mereka dan kerinduan mereka akan Allah. Jiwa-jiwa ini jatuh dari sukacita dan pengabdian sepenuh hati dalam latihan rohani mereka, dan mereka terus jatuh hingga kehilangan segalanya. Semua ini terjadi karena mereka tidak memutuskan keterikatan awal terhadap kenikmatan duniawi dan tidak menjaga diri dalam kesunyian demi Allah.
Dalam perjalanan rohani menuju persatuan Ilahi, Santo Yohanes dari Salib mengajarkan bahwa kita harus senantiasa mematikan keinginan-keinginan kita, bahkan yang tampak kecil sekalipun, agar dapat mencapai tujuan tersebut secara penuh. Jika ada satu keinginan yang tidak sepenuhnya dimatikan, maka jiwa tidak akan mengalami transformasi Ilahi. Hal ini ibarat sebuah kayu yang gagal berubah menjadi api hanya karena kurang satu derajat panas. Begitu juga jiwa, meskipun bebas dari keinginan yang disengaja, tidak akan diubah dalam Allah jika masih ada ketidaksempurnaan yang menghalangi. Karena jiwa hanya memiliki satu kehendak, dan apabila kehendak tersebut terikat oleh sesuatu, maka kehendak itu tidak bebas, tidak murni, dan tidak dapat bersatu sepenuhnya dengan kehendak Allah.
Santo Yohanes dari Salib menggambarkan hal ini dengan contoh dari Kitab Hakim-hakim, di mana bangsa Israel yang tidak membinasakan musuh-musuh mereka dan justru bersekutu dengan mereka, akhirnya harus menghadapi musuh yang menjadi batu sandungan bagi mereka. Demikian pula, meskipun Allah telah menyelamatkan jiwa-jiwa tertentu dari dosa-dosa dan godaan dunia, mereka tetap mempertahankan keterikatan terhadap ketidaksempurnaan kecil yang tidak mereka matikan sepenuhnya. Tuhan, yang murka atas hal ini, membiarkan mereka jatuh kembali ke dalam keinginan-keinginan mereka dan semakin jauh dari tujuan rohaninya. Dengan demikian, untuk mencapai persatuan Ilahi yang sempurna, jiwa harus sepenuhnya melepaskan diri dari segala keterikatan, sekecil apapun itu.
Keterlepasan Total memang Jalan untuk Unifikasi Ilahi
Dalam Kitab Yosua, kita menemukan gambaran penting mengenai bagaimana jiwa harus mempersiapkan dirinya untuk memasuki persatuan Ilahi. Allah memerintahkan Yosua untuk membinasakan segala sesuatu di kota Yerikho tanpa ada yang dibiarkan hidup, termasuk manusia dan hewan, serta untuk tidak mengambil apapun dari jarahan itu (Yosua 6:21). Ini menggambarkan bagaimana setiap keinginan dalam jiwa, baik yang besar maupun kecil, harus mati jika seseorang ingin mencapai persatuan yang sempurna dengan Allah. Jiwa harus sepenuhnya melepaskan diri dari keterikatan terhadap segala sesuatu, bahkan terhadap keinginan-keinginan kecil, seakan-akan hal-hal tersebut tidak ada lagi bagi jiwa, dan jiwa pun tidak ada bagi mereka. Dalam hal ini, jiwa hanya dapat memasuki Tanah Perjanjian yang merupakan simbol dari persatuan Ilahi, jika ia bebas dari segala keinginan duniawi.
Santo Paulus juga mengajarkan hal yang serupa dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, dengan berkata bahwa waktu telah singkat dan jiwa harus sepenuhnya terlepas dari segala keterikatan duniawi. Ia berkata, "Hendaklah mereka yang mempunyai istri hidup seperti mereka yang tidak mempunyai istri; mereka yang menangis karena perkara duniawi, seperti mereka yang tidak menangis; mereka yang bersukacita, seperti mereka yang tidak bersukacita; mereka yang membeli, seperti mereka yang tidak memiliki" (1 Korintus 7:29-31). Kata-kata ini menegaskan bahwa agar jiwa dapat berjalan menuju Allah, ia harus mencapai keterlepasan yang sempurna dari segala sesuatu, tanpa meninggalkan ruang untuk keinginan atau keterikatan pada hal-hal duniawi. Dengan demikian, hanya melalui keterlepasan sepenuhnya jiwa dapat mengalami persatuan Ilahi yang sempurna.
Dengan demikian, teman pendakianku, hidup memang adalah panggilan dan pertarungan menuju kesempurnaan untuk persatuan dengan Allah Sang Maha Sempurna. Manusia memang tidak sempurna, namun ketidaksempurnaan itu justru menjadikannya kuat dengan menyediakan ruang kerendahan hati akan penyempurnaan dari Yang Maha Sempurna. Dengan senantiasa bergantung dan memfokuskan semua fakultas jiwa pada Allah dalam ketidaksempurnaan maka kita akan selalu disempurnakan oleh Allah. Perjuangan hari ini telah selesai, perjuangan besok dan esoknya lagi akan terus ada. Hingga titik akhir, kita dengan sukacita berseru, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. "
Epilog
Keterlepasan adalah jalan menuju Ilahi
Satu-satunya cara untuk mencapai kesatuan sejati
Dalam kesunyian dan ketenangan, jiwa menemukan-Nya
Melepaskan diri dari segala yang bukan Tuhan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI