Mohon tunggu...
Paulina Aliandu
Paulina Aliandu Mohon Tunggu... Dosen - sebuah jiwa, seorang peziarah

Sebagai pencinta spiritualitas, saya juga tertarik pada sejarah, filsafat dan politik. Berkecimpung dalam bit-bit digital untuk pembelajaran mesin dalam perjalanan panjang mencapai kebijaksanaan digital.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Dunia Sempit dalam Genggaman yang Kita Bentuk dengan Algoritma

17 Januari 2025   10:21 Diperbarui: 17 Januari 2025   13:18 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dunia digital dan anak  (credit : Ron Lach from pexels)

The world is too big to stay in one place and life is too short to do just one thing.
– Unknown

Sistem Temu Balik Informasi yang Berevolusi

Hampir dua dekade lalu, ketika saya mulai menekuni apa yang dalam dunia komputer sebut sebagai sistem temu balik informasi (information retrieval). Bersamaan setelahnya mesin pencari menjadi booming. Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia ini, saya memahami filosofi yang mendasari kerja para mesin pencari. Dalam perkembangannya, teknologi dan pendekatan para mesin pencari berevolusi namun ada satu yang selalu menjadi dasar dari semua perubahan itu, selalu tentang similaritas atau keserupaan. Misal ketika seseorang mengetikkan kata bunga pada mesin mencari maka akan menghasilkan berbagai artikel dan gambar bunga, tapi kok muncul juga artis Bunga Citra Lestari. Karena hal semacam ini lalu lahirlah konteks dalam pencarian kemiripan itu. Jadi kemiripan selalu menjadi landasan dalam hal ini.

Namun sekarang, saya menyadari bahwa ide dasar tentang sistem temu balik informasi, yang awalnya digunakan untuk pencarian cepat berdasarkan query atau permintaan dari suatu kubangan data ternyata telah berevolusi jauh. Pengalaman setiap orang yang menggunakan berbagai platform di dunia maya pasti sering bertemu dengan saran terhadap artikel atau item belanja yang serupa. Nah, sekali lagi ini soal keserupaan yang saya katakan di awal. Atau tanpa perlu dikatakan mendadak YouTube menampilkan video dalam konteks yang sama yang baru saja kita tonton. Atau besok dan besoknya lagi ada saran yang sama ketika kita ingin checkout dari marketplace. Demikian pun dengan berita, jika kita menyukai politik, maka itulah yang muncul di keesokan hari terlepas ada kerja Search Engine Optimizer atau pun pagerank dan lainnya. Tapi benang merahnya selalu soal kemiripan dan keserupaan. Sehingga konsep dasar kemiripan ini telah melangkah jauh hingga memperkuat penawaran atau memperluas tawaran atas preferensi pengguna. Dapat dikatakan bahwa sistem temu balik informasi telah berevolusi dan memasuki suatu ruang bukan hanya karena query atau permintaan pengguna tapi selangkah ke depan dimana respon atas pencarian ini memberi lebih tanpa melakukan query itu sendiri. Lalu pertanyaannya adalah, apa yang terjadi setelah evolusi itu? Bukankah itu membantu?

Sebagai orang yang berkecimpung di bidang ini maka dengan tegas saya dapat mengatakan tentu evolusi sistem temu balik informasi telah sangat membantu. Namun dalam artikel ini saya tidak ingin membahas tentang bagaimana vector space model diganti algoritma pagerank, ataukah kemampuan semantik dalam pencarian, ataupun transformasi menggunakan algoritma kecerdasan buatan dengan pembelajaran mesin dan pemrosesan bahasa alami. Artikel ini juga tidak membahas evolusi large language model yang memahami konteks lebih dalam dengan berbagai multimodal data. Namun konteks evolusi yang saya maksud adalah terjadinya personalisasi dan kontekstual. Dimana sistem memberikan rekomendasi berbasis perilaku pengguna dan bagaimana sistem ini memanfaatkan berbagai data seperti lokasi dan preferensi untuk hasil yang relevan dari pencarian. Ini yang terjadi pada Netflix, berbagai marketplace dan platform video dan musik seperti Spotify dan YouTube. 

Evolusi yang Jika Tidak Bijak Digunakan akan Mampu Menyempitkan Dunia

Evolusi ini memudahkan jauh dari perkiraan dan gambaran saya belasan tahun lalu. Namun pertemuan saya dengan seorang sahabat lama di sebuah kafe beberapa waktu lalu memberikan saya sisi lain yang menarik. Sahabat saya ini sedang menempuh studi doktoral bidang psikologi jadi pembahasan kami setelah sekian lama tidak bertemu adalah tentang studinya. Sebagai seorang yang awam akan bidang tersebut saya tergelitik menanyakan soal generasi strawbery, generasi anak-anak kami dan kaum milenial dan tingginya angka bunuh diri yang ada. Dan saya begitu terkejut bahwa apa yang dijelaskannya begitu terkait dengan bidang yang saya pahami, dunia komputer dan algoritmanya.

Ia menjelaskan bahwa apa yang terjadi pada generasi milenial dan alpha adalah pembentukan dunia karena keterkukungan yang mereka bentuk dalam genggamannya. Ya, kita sedang bicara tentang komputer dan telepon genggam. Menurutnya, ketika anak menyukai preferensi tertentu, entah video di YouTube dan Tik Tok atau artikel di mesin pencari, maka semua platform ini mengembalikan permintaanya secara berlimpah. Tanpa sadar anak akan terus dan terus mengeksplor topik yang sama dan terhubung sangat dalam dengan topik itu. Dan semakin menyempitlah dunianya dengan topik dan preferensi yang dia inginkan. Baginya dunia sesempit preferensi pilihannya. Ini menjadikan anak merasa dunia hanya berputar di seputar itu. Sehingga ketika dunianya runtuh maka ia merasa bahwa segalanya juga runtuh karena sempitnya dunia yang dibentuknya. Dalam banyak kasus, hal ini lah yang membuat mereka mudah merasa stress dan putus asa.

Saya dengan antusias menanyakan mengapa angkatan kita yang sekarang berusia 40-an tidak demikian rapuh, bukankah kita juga menikmati teknologi yang sama dengan generasi milenial ini. Menurut sahabat saya tersebut, angkatan atas telah menerima luasnya pilihan preferensi melalui televisi. Bayangkan saja TVRI masa itu menayangkan beragam pilihan, kartun anak, dunia dalam berita, aneka ria safari, semuanya membentuk kita dalam alam bawah sadar akan banyak hal lain di luar preferensi kita. Dan saat itu kita tidak memiliki pilihan lain selain menontonya atau keluar bermain petak umpet atau ngebolang di kebun nenek. Sehingga dunia begitu terbuka bagi kita. Sangat berbeda dengan anak masa kini, mereka akan terus berkubang dalam preferensi yang sama karena tawaran melimpah yang ada. Ketika membuka YouTube, ia akan kembali ditawarkan preferensi zona miliknya, algoritma berita yang diberikan pun sesuai dengan riwayat pencariannya. Inilah yang menyempitkan dunia mereka sehingga ketika mereka merasa depresi, dunia pun semakin menyempit karena kurungan preferensi yang dibentuk dalam algoritma tadi. Ah, suatu pernyataan yang sungguh menohok saya.

Mengendarai Gelombang Perubahan

Obrolan kami siang itu diakhiri dengan pertanyaan saya, bagaimana mengatasi keadaan ini. Dia mengatakan bahwa kita akan sulit membendung dunia, yang dapat kita lakukan adalah mengendarai ombak dunia tadi. Ia menyarankan agar anak setidaknya memiliki lebih dari 1 circle pertemanan dengan preferensi yang berbeda. Jadi ada circle olahraga, circle online game, circle musik, yang penting lebih dari 1. Hal ini dimaksudkan agar anak dapat melihat banyak pilihan keindahan di dunia. Sehingga cakrawala anak terbuka akan segala kemungkinan yang dapat diraihnya. Dengan itu stress anak dan dunia yang menyempit dalam perangkat selular atau komputernya dapat dipatahkan. Terkait pilihan circle tadi, diupayakan bahwa circle tadi haruslah memiliki konteks yang berbeda jadi jangan ada 2 circle online game tapi sebaiknya ada yang online game ada yang olahraga. Semakin berwarna semakin membuka wawasan mereka dalam melihat dunia.

Percakapan kami pada hari itu, membawa saya menuliskan artikel ini, ketika betapa senangnya mendengar Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid hendak membatasi penggunaan perangkat selular pada anak. Semoga hal ini dapat membuka sekat personalisasi yang ekstrim pada mereka dan membuka jendela bagi mereka melihat warna warni dunia yang beragam. Ini bukan soal sistem personalisasi atau sistem rekomendasi yang salah namun soal kedewasaan serta kematangan mereka ketika berada dalam gelombang evolusi digital ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun