Mohon tunggu...
Paulina Aliandu
Paulina Aliandu Mohon Tunggu... Dosen - sebuah jiwa, seorang peziarah

Sebagai pencinta spiritualitas, saya juga tertarik pada sejarah, filsafat dan politik. Berkecimpung dalam bit-bit digital untuk pembelajaran mesin dalam perjalanan panjang mencapai kebijaksanaan digital.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Spiritualitas di atas Pinggan

14 Januari 2025   17:07 Diperbarui: 17 Januari 2025   11:26 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penjual nasi gudeg bakulan dan nasi kucing di angkringan (dokumentasi pribadi)

Ada sesuatu yang magis tentang Kota Yogyakarta. Bukan sekedar tawaran romantisme kawasan Malioboro atau wisata Kaliurang, ataupun keriuhan mahasiswa yang duduk di pojok kafe, melainkan banyak  pengalaman kecil yang terselip sederhana yang berkelip seperti permata belum terasah oleh permenungan kita. Setelah sekian lama meninggalkan kota ini, saya dan keluarga kembali untuk menjajaki keramahannya. Kami mencoba beragam wisata dan kuliner namun ada satu hal yang tak pernah bisa lepas, sederhana namun bermakna, permata tak terasah : sepiring nasi gudeg bakulan dan segelas teh hangatbeserta nasi kucing  di bawah tenda angkringan. 

Menikmati sarapan nasi gudeg di Yogyakarta adalah pengalaman tersendiri. Bayangkan ini. Di tepi jalan, ketika pagi baru mulai menyapa, sangat lumrah menemukan mbok penjual menyajikan sepiring nasi gudeg, suwiran ayam, telur dan tahu tempe bacem ditemani krecek pedas. Bagi sebagian orang, gudeg bukanlah pilihan menu karena cita rasa manis yang kadang sulit dicerna oleh sebagian orang. Namun bagi saya yang berasal dari wilayah Timur Indonesia, beberapa penjual gudeg meramu masakan ini dengan konformitas tingkat manis yang pas bagi lidah saya. Gudeg langganan saya adalah milik Bu Sri yang berjual saban hari di wilayah Sorowajan Yogyakarta, dan entah bagaimana saya sangat menyukai perpaduan bubur, krecek pedas, daun kates, suwiran ayam dan ceker ayamnya. Dan jika suatu waktu pilihan saya adalah mbok penjual gudeg di wilayah Demangan yang ketika saya meminta tambahan krecek  maka ia tanpa segan menuangkan begitu banyak krecek beserta kuahnya hingga melimpah ruah sambil berujar kalau saya ingin tambahan lagi tinggal memintanya saja. Tidak ada hitungan porsi yang ketat, tidak ada keluhan soal untung rugi, yang ada hanya senyum tulus yang mengiringi piring yang ia sodorkan. Ah, keramahan itu! Sebuah kehangatan yang tak bisa saya beli di tempat lain, yang selalu menjadi alasan bagi saya untuk kembali.

Lain lagi dengan suami saya. Lucunya meski setelah makan kenyang di rumah atau kuliner modern di rumah makan yang cukup fancy, ia selalu menyempatkan diri untuk berhenti di sebuah angkringan. Katanya, bukan soal teh hangatnya yang istimewa, tetapi soal percakapan kecil dan sambutan ramah si penjual yang menjadikan layanan yang ia rasakan terasa personal. Ia seakan menikmati kala sang penjual meracik teh atau pun susu sebelum disajikan. Baginya, berada di bawah tenda angkringan adalah momen yang membuat waktu dan dunia terasa melambat. Tiada hiruk pikuk yang memaksa, beban pekerjaan dan persoalan seakan lepas, dan yang tampak adalah kesederhanaan yang tersaji dalam gelas kaca dan pinggan.  

Filosofi yang ada di Angkringan dan Bakulan Gudeg

Di tengah dunia yang hiruk pikuk, saling sikut, keramahan para penjual tua di warung dan bakulan tradisional ini mengingatkan banyak nilai kemanusiaan yang mulai tergerus. Kita masih dapat melihat nilai-nilai yang sudah mulai langka di dunia yang semakin cepat ini. Ketekunan, kesabaran dan keramahan yang disodorkan pada semangkuk piring dan segelas teh dengan senyum tulus. Obrolan penuh tawa di bawah tenda terpal terasa hangat dan dekat. Dengan modal lima ribu atau sepuluh ribu rupiah, kita tak akan kekurangan kasih dan perhatian di sana. Di tengah persaingan dan saling sikut untuk mencapai puncak, keramahan yang sederhana justru mengajarkan lebih banyak tentang kemanusiaan. Hanya dengan segelas teh panas dan senyum sang penjual.

Jika direnungkan, keberadaan gudeg bakulan dan tenda angkringan ini seakan berjibaku dengan modernitas.  Tapi keberadaannya seakan menjadi permata yang belum terasah permenungan setiap pengunjungannya.  Mereka adalah ruang di mana nilai-nilai luhur seperti keramahan, ketekunan dan keikhlasan masih hidup. Kita mungkin hanya membawa uang sepuluh ribu rupiah, tetapi di sana kita mendapat lebih dari sekadar makanan maupun minuman.  Kita mendapatkan pengalaman, perhatian personal, dan mungkin rasa bahwa kita berarti—meskipun hanya sebagai seorang pelanggan yang mampir sebentar.

Spiritualitas dalam Kesederhanaan

Apa yang membuat pengalaman ini terasa spiritual? Angkringan dan warung tradisional seperti ini bukan sekadar tempat makan, tetapi tempat dimana spiritualitas disajikan. Membayangkan ketekunan mbok penjual gudeg mencari daun jati, mengepul api berjam untuk memasak gudeg, menyajikannya dengan tanpa priotitas untung besar, dan melihat kepuasan pelanggan dengan senyum dan ramah. Percakapan personal dan ketekunan melakukannya selama bertahun-tahun. Para penjual tua ini dapat mengingatkan kita akan pentingnya menikmati momen dan berbagi kebaikan. Makanan lebih dari sekedar memuaskan rasa lapar, tapi menjadi perwujudan nilai yang mereka yakini dan sebarkan. Ini bukan industri gastronomi, ini lebih sebagai spiritualitas yang disajikan di atas pinggan.

Keramahan para mbok dan bapak penjual di Yogyakarta mengajarkan bahwa spiritualitas tidak melulu ditemukan di tempat ibadah. Ia hadir di ruang-ruang kecil seperti ini, dalam momen sederhana di mana orang-orang sederhana menjalani hidup dengan tulus, menyambut setiap tamu dengan senyuman, dan melayani tanpa pamrih.

Ironi yang Menyentuh Hati

Namun, seiring waktu banyak yang telah berubah di Kota Yogyakarta. Nasi gudeg bakulan  yang dulunya mudah ditemukan kini semakin jarang terlihat. Warung-warung kecil dengan meja kayu dan tikar lusuh mulai tergantikan oleh restoran modern dengan desain Instagramable. Kalaupun ada, sentuhan personal percakapan penjual dan pembeli terasa hilang di sana. Kita mungkin mendapatkan sajian yang lebih mahal dan estetik, tetapi apakah kita masih mendapatkan keramahan dan percakapan  yang sama?

Warisan budaya seperti angkringan dan warung gudeg bukan hanya tentang makanan. Mereka adalah tentang cara hidup, tentang nilai-nilai ketekunan dan berbagi apa yang terbaik yang mereka bisa beri kini semakin tergerus. Namun, Yogyakarta, dengan segala daya tariknya, masih berusaha menjaga esensi itu.

Semoga Lestari

Kota ini mengajarkan saya banyak hal. Bahwa hidup yang baik tidak selalu tentang pencapaian besar entah itu dalam pekerjaan/ profesi atau pun rumah tangga dan lainnya, tetapi tentang bagaimana kita bisa menjalani keseharian dan semua hal itu dengan tulus. Keramahan yang saya temukan di piring-piring nasi gudeg bakulan dan gelas teh hangat di angkringan adalah pengingat bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam hal-hal sederhana.

Semoga keramahan ini tidak hilang ditelan zaman. Semoga kehangatan mbok-mbok penjual gudeg terus hidup, tawa renyah bapak penjual nasi kucing di angkringan terus hidup dan menjadi warisan yang lestari di tengah perubahan zaman.Karena, pada akhirnya, di atas pinggan dan gelas sederhana, kita menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar makanan. Kita menemukan kasih, kebersamaan, dan sedikit spiritualitas yang memberi arti lebih dalam pada hidup kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun