Sepak bola bukan sekadar permainan; olahraga ini adalah seni yang hidup, diwujudkan di atas kanvas rumput hijau yang luas. Di atas kanvas rumput itu, para pemain diumpakan sebagai kuas yang lincah, setiap gerakan mereka menjadi goresan bentuk dan warna, menciptakan pola yang tak hanya indah dan menghibur tetapi juga menggugah sisi emosional penonton.
Sepakbola adalah olahraga yang menggugah sisi manusiawi manusia, karena sepakbola adalah seni gerak dari strategi hasil imajinasi maestro seni. Pelatih adalah sang maestro, seorang seniman besar yang menuangkan imajinasi dengan merangkai komposisi taktik, harmoni gerak dan irama serangan. Ada keindahan dalam setiap umpan, bangunan serangan yang merobek gawang. Seni yang menggugah sisi manusia inilah yang menggerakkan semua stasiun tv, penjualan jersey, tiket bola; dan semua "kegilaan" seni di atas kanvas rumput hijau. Dan peran maestro seni lapangan hijau ini adalah milik Shin Tae-yong yang dikenal publik Indonesia sebagai STY, mantan pelatih Tim Nasional Indonesia.
Shin Tae-yong dan Algoritma yang Terhenti
Ketika Shin Tae-yong tiba di Indonesia, ia tidak hanya membawa nama besar sebagai pelatih internasional, tetapi juga sebuah visi. Layaknya seorang maestro seni, ia mulai merancang fondasi bagi sepak bola Indonesia yang carut marut, menyusun langkah demi langkah yang menyerupai algoritma komputer. Ia memulai suatu fondasi, eksekusi terstruktur dan peta penyelesaian carut marut kualitas pemain tim nasional Indonesia. Semua dilakukan dengan sabar; menanamkan disiplin, membentuk mentalitas, dan memperkenalkan pola permainan modern yang belum pernah ada sebelumnya. Bagaimana pun visi besar Shin Tae-yong memerlukan waktu eksekusi agar mencapai titik akhir.Â
Namun jelas, dalam perjalanan mencapai akhir dari visi, Shin Tae-yong telah membawa perubahan signifikan pada tim nasional Indonesia, mulai dari performa di setiap pertandingan dan turnamen hingga kepercayaan diri pemain saat menghadapi tim-tim besar. Seperti sebuah program yang dijalankan dengan cermat, setiap langkahnya memiliki tujuan yang lebih besar: membawa sepak bola Indonesia ke panggung dunia.
Prestasi Shin Tae-yong menuju visi besar lolos piala dunia bukan omong kosong. Eksekusi algoritmanya telah membuahkan hasil dalam tangga menuju visinya. Sebut saja Juara 2 AFF 2020, Juara 3 Sea Games 2021, Juara 2 AFF U23 2023 , lolos Piala Asia 2023 , lolos Piala Asia U20 2023 , lolos Piala Asia U23 2024, lolos Piala Asia 2027, 16 Besar Piala Asia 2023, dan Semifinal Piala Asia U-23 2024.Â
Pertanyaannya adalah; apakah dengan sederet prestasi ini, Shin Tae-yong menjalankan suatu algoritma dengan logika yang salah? Tentu tidak, dan rasanya dengan sederet prestasi ini, justru algoritma program untuk mencapai visi besar lolos piala dunia sedang dijalankan. Waktu eksekusinya pun belum terlalu lama. Jelas bukan timeout jika mengingat carut marut kemampuan pemain tim nasional Indonesia sebelumnya. Algoritma terbaik pun butuh waktu eksekusi.
Namun, di tengah proses yang sedang berjalan, tiba-tiba program itu dihentikan. Pemutusan ini, seperti forced termination pada eksekusi suatu program komputer, memutus jalannya visi Shin Tae-yong sebelum mencapai akhir. Penghentian eksekusi suatu algoritma biasanya dilakukan ketika terjadi deadlock, penurunan kinerja, kesalahan fatal atau logika, bug atau pun hal lainnya.
Apapun itu, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) telah membuat keputusan besar: Shin Tae-yong tidak lagi menjadi pelukis pada kanvas rumput hijau tim nasional Indonesia. Langkah ini meninggalkan jejak pertanyaan: apakah ini solusi yang tepat, atau justru cerminan dari ketidaksabaran yang menolak memahami bahwa membangun tim adalah proses panjang yang membutuhkan waktu dan konsistensi? Ataukan semua hanya soal algoritma yang harus dieksekusi dengan cepat demi tujuan akhir, lolos piala dunia?
Keputusan PSSI ini tentu sulit untuk dicerna dalam kedalamaan sisi manusia. Jika memang tujuan akhir merekrut Shin Tae-yong adalah membawa tim nasional Indonesia lolos piala dunia maka seperti program yang dihentikan secara paksa, jalannya algoritma ini diputus sebelum mencapai titik akhirnya. Logika demi logika yang telah dibangun masih setengah jalan, sementara path penting dalam struktur coding; dari pengembangan pemain muda, konsistensi performa, hingga implementasi taktik; belum sempat dijalankan sepenuhnya. Visi besar tim nasional ini dieksekusi dalam misi yang  menuntut lebih dari sekedar hasil instan. Ironisnya, ia dihentikan sebelum visinya terwujud, seolah ada upaya untuk mempercepat tujuan dengan memotong proses yang sedang berjalan.Â
Kemanusiaan dalam Sepak Bola
Sepak bola, seperti kehidupan, tidak dapat diperlakukan hanya sebagai barisan kode algoritma yang mengarah pada satu hasil akhir. Mesin dan logika bisa memandu, tapi sentuhan manusia adalah yang membuat tujuan itu bermakna. Shin Tae-yong bukan sekadar menyusun taktik; ia juga membangun mentalitas, memperbaiki kelemahan mendasar, dan menanamkan filosofi yang butuh waktu untuk berakar. Bahkan sebuah algoritma terbaik pun membutuhkan waktu eksekusi. Pemecatan ini mengingatkan kita bahwa dalam mengejar mimpi seperti Piala Dunia, kita sering lupa akan pentingnya perjalanan itu sendiri.
Jika hanya berfokus pada hasil, kita mengurangi sepak bola menjadi hitungan statistik dan kemenangan sebagai satu-satunya parameter. Namun sepak bola adalah permainan manusia, di mana emosi, kerja keras, dan proses menjadi bagian dari narasi yang tak bisa dihapus. Dalam dunia algoritma, manusia mengisi celah yang tak terjangkau oleh logika semata: memahami emosi pemain, menghadapi tekanan publik, dan meramu semangat kolektif yang tak bisa disimulasikan oleh perangkat lunak paling canggih sekalipun.
Pemecatan Shin Tae-yong menandai sebuah pelajaran penting: tujuan akhir tak boleh mengorbankan proses. Tanpa kemanusiaan, kita hanya menjadi mesin yang menjalankan instruksi, kehilangan makna dan esensi dari perjalanan itu sendiri. Sepak bola Indonesia, seperti Shin Tae-yong, perlu mengingat bahwa mimpi besar bukan sekadar soal hasil, tetapi bagaimana kita sampai di sana dengan cara yang bermartabat dan penuh nilai.
Sebagai bangsa, kita perlu bertanya: apakah Piala Dunia hanya sekadar tujuan, ataukah itu seharusnya menjadi puncak dari perjalanan panjang penuh perjuangan, nilai, dan kemanusiaan? Jika kita melupakan esensi itu, kita hanya menjadi algoritma-tanpa jiwa, tanpa rasa, tanpa arah sejati. Ataukah forced termination ini memang bukan karena melibatkan deadlock, penurunan kinerja, kesalahan fatal ataupun logika, bug tetapi intervensi manual untuk resource allocation. Entahlah, hanya PSSI yang mengetahuinya. Namun keputusan melakukan forced termination tanpa debugging (pengecekan mendalam) bukan tanpa resiko; ketidakstabilan dalam sistem akan terjadi  jika tidak dilakukan dengan benar menjadi taruhannya.Â
Pada akhirnya, kita perlu menyadari bahwa perjalanan Shin Tae-yong bersama tim nasional adalah lebih dari sekadar target Piala Dunia. Itu adalah proses, sebuah upaya kolektif untuk membentuk masa depan yang lebih baik. Pemecatan ini mengingatkan kita bahwa tujuan besar tidak cukup diraih dengan algoritma atau langkah-langkah terstruktur. Dibutuhkan sentuhan manusiawi: kesabaran, kepercayaan, dan visi jangka panjang. Tanpa itu, kita bukan hanya gagal menjalankan algoritma, tetapi juga kehilangan nilai kemanusiaan yang membuat setiap perjalanan berarti. Pertanyaan tetap menggantung: apakah ini benar-benar keputusan bijak, ataukah kita hanya menghentikan program yang sedang menuju kesempurnaan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!