Mohon tunggu...
Paulina Aliandu
Paulina Aliandu Mohon Tunggu... Dosen - sebuah jiwa, seorang peziarah

Sebagai pencinta spiritualitas, saya juga tertarik pada sejarah, filsafat dan politik. Berkecimpung dalam bit-bit digital untuk pembelajaran mesin dalam perjalanan panjang mencapai kebijaksanaan digital.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Pendakian Gunung Karmel: Jiwa yang Menggelap dan Dibutakan Hasrat (I-8)

1 Januari 2025   22:54 Diperbarui: 2 Januari 2025   11:53 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tersilaukan (credit: cottonbro studio dari pexels)

Prolog

Keinginan menyilaukan mata jiwaku, membuatku tersandung di siang hari seolah-olah dalam kegelapan. Navigasi jiwaku kacau, tak terlihat jalur eterealku menuju Kekasih-ku 

Malam tadi sungguh dingin, kabut tebal semalam seperti telah menyapu semua kehangatan. Dalam kebekuan udara, aku teringat kalian, teman pendakianku, apakah pernah kalian bersyukur atas setiap fluks cahaya mentari yang merobek kebekuan udara kala siang menyapa? 

Kehangatan sinar itu sering kali kita anggap biasa, seperti teman setia yang tak pernah alpa hadir. Padahal, di setiap pendakian, cahaya itu menjadi penyelamat kita, menyingkirkan gigil yang menjalari tubuh saat malam-malam gelap membekap. Aku masih ingat bagaimana matahari pagi pertama kali menyinari tenda kita saat kita memulai Pendakian Gunung Karmel ini. Cahaya itu tak hanya mengusir dingin tetapi juga menghidupkan semangat kita untuk melangkah lebih tinggi, lebih dekat ke puncak. Aku berharap kita tidak pernah lupa, bahwa setiap kabut, dingin, dan gelap bukanlah musuh, melainkan bagian dari perjalanan. Dan di balik setiap kabut tebal, mentari selalu menunggu, setia memancarkan sinarnya untuk menyentuh kulit kita yang dingin dan mengingatkan kita bahwa setelah gelap selalu ada terang. Ah, lihat ! Sang Fajar telah merekah, mari kita melangkah lagi !

Kabut Keinginan yang Merusak Navigasi Jiwa

Dalam Buku Pendakian Gunung Karmel, Santo Yohanes dari Salib mengingatkan kita tentang bahaya besar yang ditimbulkan oleh keinginan dan hasrat duniawi terhadap jiwa manusia. Keinginan-keinginan ini, seperti kabut tebal yang menutupi matahari atau cermin yang berkabut, menghalangi jiwa dari memandang terang Allah. Ia menulis, "Kejahatanku telah menguasai diriku, dan aku tidak memiliki kuasa untuk melihat" (Mazmur 40:12). Keinginan bukan hanya mengaburkan pemahaman, tetapi juga melumpuhkan kehendak dan mengacaukan ingatan, sehingga semua kemampuan jiwa menjadi terganggu. Seumpama angin yang membelokkan perahu, seperti awan tebal yang menghalangi cahaya rembulan dan seperti batu yang menghalangi kecambah untuk tumbuh. Seperti itulah hasrat mengaburkan pandangan jiwa.

Lebih mendalam lagi, dalam ajarannya, Santo Yohanes dari Salib mengajarkan  tentang fakultas-fakultas jiwa yaitu pemahaman, kehendak dan ingatan terkait dengan penerimaan akan sinar pencerahan ilahi. Orang kudus ini menulis bahwa daya pemahaman tidak memiliki kapasitas untuk menerima pencerahan dari kebijaksanaan Tuhan seumpama kabut gelap tidak mampu menerima cahaya matahari. Demikian pun kehendak tidak memiliki kekuatan untuk merangkul Tuhan dalam kasih murni, sebagaimana cermin yang berkabut tidak memiliki kemampuan untuk memantulkan bayangan apa pun dengan jelas. Bahkan lebih dari itu, ingatan yang diselimuti kegelapan hasrat tidak memiliki kemampuan untuk menerima dengan jelas bentuk gambar Tuhan, sebagaimana air yang keruh tidak dapat memantulkan wajah seseorang yang memandang ke dalamnya dengan jelas

Demikianlah, Santo Yohanes dari Salib menyebut bahwa jiwa yang dipandu oleh hasrat dan keinginan, adalah jiwa yang buta karena pada hakekatnya keinginan itu buta. Hasrat dan keinginan tidak memiliki pengertian dalam dirinya sendiri. Ketika jiwa dibutakan oleh keinginan, ia tidak dapat melihat terang kebenaran ilahi, sama seperti seseorang yang berdiri di bawah sinar matahari tetapi tetap meraba-raba dalam kegelapan. Dengan jelas Santo Yohanes dari Salib menulis:

Ketika jiwa menjadi gelap dalam pemahaman, kehendak juga menjadi mati rasa, dan ingatan menjadi tumpul serta tidak teratur dalam melakukan segala sesuatu. Karena kemampuan-kemampuan ini dalam tindakannya bergantung pada pemahaman, jelas bahwa ketika pemahaman terhambat, kemampuan-kemampuan lainnya menjadi tidak teratur dan terganggu.

Santo Yohanes dari Salib menggambarkan hal ini dengan indah melalui perumpamaan: "Jika orang buta memimpin orang buta, keduanya akan jatuh ke dalam lubang" (Matius 15:14). Jiwa yang dipimpin oleh keinginannya bagaikan ngengat yang terpesona oleh cahaya, hanya untuk terbakar oleh api yang menariknya. Kebodohan belaka lah jiwa yang dipandu oleh hasrat dan keinginan. Membinasakan dirinya sendiri tanpa menyadari bahwa keinginan telah membakar hawa nafsunya dan menyilaukan pemahamannya. Navigasi buta oleh keinginan ini dapat terjadi karena jiwa lebih dahulu terpapar pancaran terang keinginan, tidak melihat cahaya pemahaman yang jernih. Navigasi jiwa hanya akan terang dan jernih saat semua cahaya keinginan ditiadakan. Sesederhana itu.

Pelajaran dari Raja Salomo: Kebijaksanaan yang Terkalahkan oleh Hasrat

Sayangnya, banyak orang mengira bahwa pengorbanan lahiriah atau latihan spiritual semata cukup untuk mendekatkan diri pada Allah. Orang banyak melakukan penitensi dan melakukan latihan sukarela lainnya, berpikir bahwa praktik ini atau itu akan cukup untuk membawa mereka pada persatuan dengan Kebijaksanaan Ilahi. Namun, Santo Yohanes dari Salib memperingatkan bahwa tanpa mematikan keinginan-keinginan duniawi, semua usaha ini akan sia-sia. Gulma seumpama hasrat duniawi, harus dihilangkan dari jiwa yang seumpama tanah sebelum tanah itu digarap agar menghasilkan buah yang bernas. Ia lalu mengingatkan, 

"Tanpa mematikan keinginan ini, jiwa tidak akan mencapai kemajuan dalam jalan menuju kesempurnaan dan pengetahuan akan Tuhan, meskipun berusaha sekeras apa pun."

Refleksi ini mengajarkan kita bahwa untuk dapat melihat terang Allah, kita harus melepaskan diri dari segala sesuatu yang mengikat hati kita pada dunia ini. Keinginan-keinginan ini seperti duri yang tumbuh dan menghalangi pandangan terhadap Allah. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Mazmur 58:9, "Sebelum duri-duri kalian menjadi rimbun, Tuhan akan menelan mereka dalam murka-Nya."

Santo Yohanes dari Salib juga memberi contoh dari sosok Raja Salomo, yang meskipun diberkahi kebijaksanaan besar, jatuh ke dalam penyembahan berhala karena gagal mengekang hasratnya. Ini contoh sangat nyata, seorang manusia yang paling bijaksana di muka bumi sekali pun, tanpa mematikan keinginan duniawinya, navigasi jiwanya akan buta. Salomo sendiri mengakui, "Aku tidak menolak hatiku dari apa pun yang dimintanya" (Pengkhotbah 2:10). Ketidaksanggupannya untuk menahan keinginannya membawa kegelapan pada pemahamannya dan menjauhkan dirinya dari Allah. Keinginan dan hasrat duniawinya ini pada akhirnya berhasil memadamkan cahaya besar kebijaksanaan yang telah diberikan Allah kepadanya, dan karena itu pada masa tuanya ia meninggalkan Allah. Ah, bahkan Salomo, raja paling bijaksana itu pun, tanpa mortifikasi keinginan dan kenikmatan hatinya, hanyalah seorang manusia yang dibutakan jiwanya.

Kisah Salomo ini membawa kita pada suatu refleksi bahwa jika keinginan-keinginan yang tidak dimatikan dapat melakukan sedemikian banyak pada orang seperti Salomo, manusia yang paling bijaksana yang pernah ada di muka bumi, yang sangat memahami perbedaan antara yang baik dan yang jahat, apa yang tidak dapat hasrat dan keinginan duniawi ini lakukan pada kita yang tidak tahu apa-apa ini?

Tersandung dalam Terang: Kebutaan Jiwa akibat Keinginan Duniawi

Yang menarik, Santo Yohanes dari Salib menyebutkan bahwa sudah menjadi sifat manusia sendiri, pada setiap langkah, kita menganggap yang jahat sebagai yang baik, dan yang baik sebagai yang jahat. Ia menyebutkan hal ini sebagai suatu kegelapan alami. Lalu apa yang akan terjadi jika pada kegelapan alami kita ditambahkan penghalang berupa keinginan? Tidak ada yang terjadi kecuali apa yang digambarkan oleh Yesaya 59:10;

Palpavimus, sicut caeci parietem, et quasi absque oculis adtrectavimus: impegimus meridie, quasi in tenebris. (Kami meraba-raba tembok seperti orang buta, dan seolah-olah tanpa mata, kami mencari jalan; kami tersandung pada siang hari seperti dalam kegelapan.)

Sebab, seseorang yang dibutakan oleh keinginan memiliki sifat ini: bahwa, ketika ia ditempatkan di tengah-tengah kebenaran dan apa yang baik baginya, ia tidak dapat melihatnya lebih baik daripada jika ia berada dalam kegelapan. Demikianlah, hasrat dan keinginan duniawi menyilaukan jiwa, membutakannya dan membuat jiwa meraba-raba tembok seperti orang buta, seperti orang tanpa mata, dan kebutaan jiwanya mencapai tingkat sedemikian sehingga seumpama orang tersandung pada siang hari seolah-olah dalam kegelapan. Sungguh memilukan.

Epilog

Meskipun aku laksana Salomo, Sang Bijak, namun tanpa mortifikasi keinginanku, aku telah membiarkan hasrat dunia mengakar dalam jiwa dan memadamkan cahaya besar kebijaksanaan karunia Kekasih-ku. Seperti lampu yang redup oleh kabut tebal, aku pun menjadi buta di hadapan terang ilahi yang memanggilku. Sungguh pilu, namun betapa besar kerinduan jiwa ini untuk pulih dari kebutaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun