Seni Lukis  dan Kesadaran Kolektif
Dalam film V for Vendetta, yang merupakan adaptasi dari novel grafis (komik) berjudul sama karya Alan Moore dan ilustrasi oleh David Lloyd, dunia digambarkan berada di bawah kendali rezim totaliter yang menekan segala bentuk kebebasan, termasuk seni, agama, dan karya intelektual serta budaya lainnya. Rezim ini menghancurkan segala sesuatu yang dianggap mengancam kekuasaannya, menghapus sejarah, mengekang imajinasi, dan menutup ruang untuk dialog kritis. V, sang tokoh utama yang misterius melakukan agitasi dan perlawanan terhadap rezim ini dengan membuka ruang kesadaran kolektif perlawanan di balik Topeng Guy Fawkes. V mencoba menanamkan ide, yang diyakininya adalah sesuatu yang tak akan mudah dihancurkan bahkan oleh rezim terkuat sekalipun.Â
Beneath this mask, there is more than just flesh. Beneath this mask there is an idea... and ideas are bulletproofÂ
Sepertinya Alan Moore, sebagai penulis memahami dengan baik konsep kesadaran kolektif yang dikemukakan sosiolog Émile Durkheim dalam The Division of Labor in Society.  Durkheim mengemukakan bahwa kesadaran kolektif sebagai sekumpulan nilai, kepercayaan, dan norma yang dimiliki bersama oleh masyarakat memainkan peran penting dalam menjaga kohesi sosial dan stabilitas dalam masyarakat. Tidak heran dalam literatur terkait setelahnya, banyak yang mengeksplorasi tema bagaimana rezim totaliter mengendalikan dan mengubah kesadaran kolektif masyarakat untuk mempertahankan kekuasaan mereka.Â
The Anatomy of Fascism, sebuah buku yang ditulis oleh Robert O. Paxton mengungkapkan bahwa kesadaran kolektif dapat dibangun dengan penggunaan simbol-simbol dan ideologi untuk mengendalikan masyarakat. Simbol swastika Nazi sebagai representasi kebanggaan dan identitas rasial hingga patung Lenin dan Stalin di berbagai tempat adalah representasi yang dimaksud Paxton.Â
Sebaliknya, kesadaran kolektif juga dapat menjadi basis perlawanan dan perubahan seperti yang diulas Václav Havel, seorang tokoh anti komunis  Cekoslowakia  dalam bukunya The Power of the Powerless. Havel menguraikan sebuah essai kesadaran kolektif menggunakan simbolisme penjual sayur yang tidak menolak memasang slogan komunisme di tokonya  bukan karena ia mempercayai slogan itu tapi demi tetap aman. Havel menyebut tindakan ini sebagai konformitas pasif, karena sang penjual dalam kenyataannya mungkin tidak mempercayai atau pun menyepakati slogan itu.
Havel dengan persuasif menyebutkan kekuatan akan kesadaran dan kejujuran individu. Â Perlawanan dengan tidak memasang slogan propaganda yang tidak diyakininya dan hidup dalam kejujuran adalah kekuatan individu yang dapat memicu kejujuran individu lain menjadi sebuah kesadaran kolektif dan pada akhirnya menciptakan solidaritas yang cukup kuat untuk menentang rezim. Ia menekankan bahwa setiap aksi individu sebagai gerakan oposisi menggunakan kesadaran kolektif untuk menggulingkan rezim tersebut. Â Jelas, Havel meyakini bahwa perubahan besar dalam masyarakat totaliter dimulai dari perubahan kecil dalam tindakan individu. Essai Havel ini menjadi salah satu inspirasi dalam gerakan Charter 77, sebuah inisiatif hak asasi manusia yang menantang pemerintah Cekoslowakia dan rezim totaliter di Eropa Timur.Â
Pada hakikatnya, baik  Robert O. Paxton, Václav Havel maupun Michel Foucault dan lainnya,  mereka menyadari bahwa kesadaran kolektif dinilai dapat menginspirasi perubahan sosial, membangkitkan perlawanan, dan meruntuhkan legitimasi otoritas yang berkuasa. Dasar inilah yang menjadi ide berbagai adegan dalam film V for Vendetta , di mana suatu masyarakat dengan kendali rezim totaliter akan menekan segala bentuk kebebasan, termasuk seni, agama, dan karya intelektual lainnya. Rezim ini menghancurkan segala sesuatu yang dianggap mengancam kekuasaannya, mengatur narasi budaya dan peradaban, menghapus sejarah, mengekang imajinasi, dan menutup ruang untuk dialog kritis.
Dilema Seni Lukis ketika Lebih dari Sekedar Pernyataan  ArtistikÂ
Sepanjang sejarah peradaban manusia, seni selalu menjadi medium ekspresi yang kuat, melampaui sekadar estetika untuk menyampaikan emosi mendalam, filosofi, dan kritik sosial. Seni berfungsi sebagai cermin zaman, merefleksikan kesadaran kolektif masyarakat dan menantang norma yang ada.  Namun, kekuatan inilah yang menjadikan seni sebagai ruang yang sering kali penuh kontroversi, terutama ketika bersinggungan dengan politik, etika dan kekuasaan. Bukan hal baru jika kita mendengar suatu karya seni  sering disensor, ditekan, atau bahkan dihancurkan karena dianggap mengancam ideologi politik yang dominan atau mempertanyakan otoritas.
Persinggungan seni dan etika serta politik paling nyata terlihat dalam kasus sensor maupun represi, di mana pemerintah atau entitas berkuasa menekan karya seni untuk mempertahankan kontrol atau menyebarkan narasi tertentu. Salah satu contoh paling terkenal adalah klasifikasi rezim Nazi terhadap karya seni modern tertentu sebagai "seni yang merosot" (degenerate art). Karya seniman seperti Pablo Picasso dan Wassily Kandinsky dilarang, disita, dan dihancurkan karena dianggap bertentangan dengan idealisme ideologi dan visi estetika ala Nazi. Â Kedua pelukis ini dinilai menyalakan aliran kubisme, ekspresionisme, dan abstraksi yang bertentangan dengan 'etika' seni menurut cara pandang rezim Nazi yang harus bersifat realistis dan memuliakan kekuatan ras Arya serta nilai-nilai tradisional Jerman. Â
Karya Picasso, Guernica, yang menggambarkan penderitaan akibat perang dan kekerasan, dianggap terlalu kritis terhadap kekerasan dan totalitarianisme begitu ditentang Nazi karena berpotensi merusak moral rakyat dan menumbuhkan perasaan tidak setuju terhadap rezim mereka.  Beberapa karya kedua pelukis ini pun dilaporkan disita oleh rezim Nazi. Perbuatan semacam ini mematikan kreativitas dan menekan suara-suara pembangkangan dengan dalih kemurnian budaya.Â
Bagaimana pun, dalam kasus kedua pelukis ini, terlihat bahwa seni, ditakutkan dapat menjadi basis kesadaran kolektif yang  sejatinya dapat menjadi medium perlawanan dan pengingat akan martabat manusia, yang dirampas dari esensinya. Picasso melalui Guernica dengan gambaran emosional yang kuat, ketegangan, dan penderitaan perang serta bentuk-bentuk geometris yang terfragmentasi, seperti pecahan-pecahan dan potongan-potongan tubuh yang membentuk wajah dan tubuh manusia; seakan hendak mengatakan bahwa seni bukan hanya sekadar ekspresi estetika, bukan sekedar pernyataan artitsik tetapi juga simbol perlawanan diam-diam terhadap kekejaman perang dan penindasan.Â
Di Indonesia, hubungan antara seni, estetika, etika dan politik juga penuh dinamika. Salah satu contoh yang mencolok baru-baru ini adalah pembatalan pameran lukisan karya Yos Suprapto, seorang seniman Indonesia asal Yogyakarta yang sedianya akan melalukan pameran tunggal di Galeri Nasional Indonesia pada pertengahan Desember 2024. Â Pameran ini dibatalkan karena beberapa kontroversi, yang mencuat adalah pernyataan Fadli Zon, Menteri Kebudayaan yang menyatakan bahwa pembatalan terjadi karena beberapa lukisan Yos dianggap tidak sesuai tema dan memuat unsur yang sensitif. Beberapa lukisan disebut memuat unsur politik, bahkan ada yang menggambarkan adegan ketelanjangan; yang dapat membuat orang merasa tersinggung karena muatan simbol budaya tertentu. Â
Lebih lanjut, Fadli Zon menyebutkan bahwa pembatalan pameran ini juga disebabkan oleh lukisan yang dianggap tidak sesuai tema kuratorial. Â Ia menyebutkan bahwa kurator menemukan tema lukisan yang tidak sesuai dengan konsep pameran yang mengangkat tajuk "Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan". Â Jika ditelisik maka, isu yang mencuat direduksi menjadi estetika dan kepantasan, dan ketesinggungan. Namun persoalannya di sini, kepantasan dalam seni adalah konsep yang sangat subjektif, bergantung pada pandangan pribadi, norma sosial, serta konteks budaya dan sejarah tertentu. Dalam dunia seni kontemporer, bahkan banyak seniman yang menantang atau melampaui batas-batas kepantasan konvensional untuk menciptakan karya yang provokatif dan mengundang diskusi. Dalam konteks politik, lukisan yang ditolak kurator pameran pun dapat menjadi perdebatan yang tak kunjung habis. Tafsir beragam dan mengaitkannya dengan kondisi politik Indonesia pun bermunculan.
Pembatalan pameran seni Yos Suprapto yang divalidasi oleh pelukisnya sendiri, karena keberatan akan perlakuan penutupan kain hitam pada lukisannya yang berjudul Konoha I dan Konoha II dan disusul 3 lukisan lainnya. Keputusan Yos Suprapto untuk membatalkan pamerannya ini, diungkapkannya  sebagai cerminan dari perjuangan yang lebih besar untuk kebebasan berekspresi di Indonesia. Sulit untuk mengonfirmasi kedalaman imajinasi sang pelukis, terkait ketidaksesuain tema pameran ataukah memang ada gagasan-gagasan, ide seperti kata V, ide yang kuat yang ingin ditanamkan di benak penikmat karyanya. Namun, setidaknya satu hal yang mungkin hampir pasti bahwa karya Yos Suprapto telah melahirkan ketidanyamanan untuk sebagian orang. Â
Persoalan kepantasan atau estetika seperti Nazi dengan standar artitistiknya terdengar mirip dalam kasus ini, namun persoalannya apakah beberapa karya Yos Suprapto yang menjadi kontroversi tersebut membawa gagasan lebih dari sekedar estetika seperti yang Picasso usung dalam Guernica. Apakah memang mungkin karya Yos  Suprapto ini membawa kritik yang tajam yang bertentangan dengan iklim politik yang ada di Indonesia? Apakah karyanya mungkin mengandung unsur kebenaran yang tak nyaman?  Mungkinkah juga karyanya adalah simbolisme pesan untuk menghadirkan kesadaran kolektif ? Entahlah, sekali lagi, kedalaman ruang interpretasi akan seni adalah sesuatu yang sangat subjektif.Â
Hak atas Kebebasan Berkesenian dalam Demokrasi
Terlepas dari kasus pembatalan pameran lukisan Yos Suprapto, apapun itu bahwa suatu tindakan menekan seni dalam suatu masyarakat totaliter seperti di film V for Vendetta mencerminkan ketakutan terhadap perbedaan pendapat, di mana otoritas politik lebih mengutamakan stabilitas mereka sendiri daripada hak individu untuk menyampaikan ekspresi secara bebas. Tindakan ini tidak hanya merampas otonomi seniman dan pelaku budaya serta agama, tetapi juga merampas kesempatan masyarakat untuk berinteraksi dengan gagasan-gagasan yang menantang dan menggugah. Tindakan pembredelan atau pembakaran, pelarangan seperti di film V ini bukan sekadar upaya membungkam seorang seniman dan agamawan, tetapi juga cerminan dari upaya lebih luas untuk menekan suara-suara yang berani mempertanyakan atau mengungkapkan kebenaran yang tak nyaman.
Â
Dalam suatu negara yang mengusung demokrasi, maka negara itu harus dibangun di atas prinsip kebebasan berbicara dan pertukaran gagasan. Dalam lingkungan seperti ini, seni seharusnya berkembang sebagai medium eksplorasi, kritik, dan dialog. Penindasan terhadap ekspresi artistik, seperti yang terjadi dalam kasus Picasso, bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Seni yang menantang status quo atau mengungkapkan kebenaran yang tak nyaman adalah elemen vital dari demokrasi yang dinamis. Kebebasan artistik bukan hanya hak seniman, tetapi juga pilar fundamental dari masyarakat demokratis. Tanpa kebebasan untuk mencipta, mengkritik, dan mempertanyakan, masyarakat berisiko terjebak dalam stagnasi dan otoritarianisme.Â
Penindasan terhadap seni mematikan kreativitas, inovasi, dan kemampuan kolektif untuk merefleksikan serta menghadapi tantangan masyarakat. Sensor, di sisi lain, mencerminkan negara atau sistem politik yang tidak aman, yang tidak mampu menerima pluralisme dan perspektif yang beragam. Menekan seni tidak hanya membatasi kebebasan seniman, tetapi juga menyangkal hak publik untuk mengakses sudut pandang yang beragam dan interpretasi realitas sosial-politik mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Baca juga: Ibu, Peran Seorang Nabiah di Tengah Keluarga
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!