Prolog
Inginku akan dunia, seperti anjing, aku duduk dibawah kolong meja perjamuan, menanti remah, dan tulang yang jatuh dalam perayaan Allah. Tak pernah terpuaskan lapar dan dahagaku dan aku melolong dalam letih, tersiksa, lemah serta terseret semakin jauh ke dalam kegelapan dan luka menodai ragaku.
Pagi ini mentari tiba lebih awal. Rasanya ingin segera menyapa kalian teman pendakianku. Sudahkan kalian bersiap untuk langkah pendakian kita ?Aku sudah mengepak semua kebutuhan pendakian, dan semalam cahaya terang mendatangi mimpiku, seperti aurora borealis, cahaya utara yang menakjubkan, seperti menyaksikan penyingkapan keindahan dan kekuatan ilahi yang besar. Rasanya kita harus segera melangkah, karena rute kali ini akan menyadarkan kita betapa berbahaya semua keinginan yang tidak teratur itu. Seperti lubang hitam yang memakan semua yang baik. Seperti dementor yang menelan semua kebahagian dan sukacita. Teman pendakianku, para musafir cinta, angkat tongkatmu dan mulai melangkah dan terus berjaga dengan cahaya cinta.
Lihat juga : Gambaran Kitab Suci tentang Pentingnya Mortifikasi Keinginan
Dua Kejahatan Akibat Keinginan yang Tidak Terkendali : Kejahatan Privatif dan Kejahatan Positif
Pada jalur medan pendakian kali ini, kita dapat menemukan pengajaran yang mendalam Santo Yohanes dari Salib mengenai dampak dari keinginan yang tidak teratur dalam jiwa manusia. Salah satunya terdapat dalam penjelasan orang kudus ini mengenai dua kejahatan serius yang timbul akibat keinginan yang tidak terkendali, yang pertama adalah kehilangan Roh Allah, dan yang kedua adalah keletihan, penderitaan, kegelapan, kekotoran, dan kelemahan yang menguasai jiwa yang dikuasai oleh keinginan-keinginan tersebut. Santo Yohanes dari Salib mengutip Kitab Yeremia 2:13 yang berkata: “Dua mala fecit Populus meus: dereliquerunt fontem aquae vivae, ut foderunt sibi cisternas, dissipatas, quae continere non valent aquas,” yang artinya, “Mereka telah meninggalkan Aku, yang adalah sumber air hidup, dan mereka menggali kolam-kolam retak yang tidak dapat menampung air.” Ada dua hal yang digarisbawahi Santo Yohanes dari Salib terkait simbolisme kejahatan yang disebabkan oleh keinginan yang tidak teratur dalam Kitab Nabi Yeremia ini, yaitu aksi meninggalkan Allah dan aksi menggali kolam retak. Ini adalah dua aksi jiwa yang menjadi simbolisme dua kejahatan yang disebabkan keinginan-keinginan yang tidak terkendali
Santo Yohanes dari Salib dalam refleksinya yang mendalam berdasarkan Kitab Yeremia kemudian menuliskan bahwa keinginan-keinginan yang tidak terkendali ini menyebabkan dua kejahatan utama yaitu (i) kejahatan privatif; yang bersifat privatif, yakni kehilangan hubungan dengan Allah, dan (ii) kejahatan positif; yang bersifat positif, yaitu dampak negatif yang muncul dalam kehidupan jiwa yang diliputi oleh keinginan. Kejahatan positif, dalam konteks teologi dan filsafat moral, merujuk pada tindakan atau kondisi yang secara aktif membawa penderitaan, kerusakan, atau kesalahan pada seseorang. Ini berbeda dengan kejahatan negatif, yang lebih mengacu pada ketiadaan atau kurangnya sesuatu yang baik. Kejahatan positif melibatkan adanya elemen yang nyata yang mengarah pada kerusakan atau penderitaan.
Lebih lanjut, Santo Yohanes dari Salib menjelaskan bahwa ketika jiwa terikat pada sesuatu yang bersifat ciptaan, semakin besar keinginan untuk hal tersebut, semakin kecil ruang bagi jiwa untuk menerima Allah. Seperti yang dikatakan oleh para filsuf, dua hal yang saling bertentangan tidak dapat ada dalam satu tempat yang sama. Oleh karena itu, keinginan duniawi yang berlebihan menghalangi kedalaman dan kesucian jiwa untuk menerima kasih Allah.
Lebih jauh lagi, Santo Yohanes dari Salib mengingatkan kita bahwa kasih kepada Allah dan kasih kepada ciptaan adalah hal yang bertentangan, dan oleh karena itu tidak mungkin dalam satu kehendak yang sama terdapat kasih kepada ciptaan dan kasih kepada Allah. Pertanyaan reflektif dalam tulisan Santo Yohanes dari Salib membawa kita pada permenungan akan betapa besar perbedaan antara kedua hal : apa hubungan ciptaan dengan Pencipta? Apa hubungan yang indrawi dengan yang rohani? Yang terlihat dengan yang tidak terlihat? Yang sementara dengan yang kekal? Makanan surgawi yang rohani dan murni dengan makanan yang hanya bersifat indrawi dan jasmani? Kemiskinan roh yang menyerupai Kristus dengan keterikatan pada segala sesuatu?
Terdapat suatu prinsip penting berkaitan dengan proses transformasi rohani dalam jiwa. Santo Yohanes dari Salib mengibaratkan proses ini sebagai kelahiran alami, di mana tidak ada bentuk baru yang dapat diterima oleh suatu subjek kecuali bentuk yang bertentangan sebelumnya dikeluarkan terlebih dahulu. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa selama bentuk yang bertentangan masih ada, ia akan menghalangi masuknya bentuk yang baru. Begitu pula dalam perjalanan rohani, sebagaimana yang dikatakan oleh Santo Yohanes dari Salib, “selama jiwa dikuasai oleh roh yang bersifat indrawi, roh yang murni dan spiritual tidak dapat masuk ke dalamnya.”
Anjing yang Menunggu Remah di Bawah Meja Perjamuan Allah
Santo Yohanes dari Salib melanjutkan penjelasannya dengan merujuk pada sabda Tuhan yang tercatat dalam Injil Matius, yang mengilustrasikan hal ini dengan jelas. Dalam Matius 15:26, Yesus berkata, “Non est bonum sumere panem filiorum, et mittere canibus,” yang berarti, “Tidaklah patut mengambil roti anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Di sini, Tuhan mengajarkan bahwa roti — yang merupakan simbol dari rahmat dan kebenaran — hanya pantas diberikan kepada mereka yang siap dan layak untuk menerimanya, yakni mereka yang telah menyiapkan hati mereka untuk menerima kasih Allah. Ketika hati masih terikat pada keinginan-keinginan duniawi, jiwa tidak dapat menyambut sepenuhnya rahmat dan kebenaran yang datang dari Tuhan.
Memperkuat ilustrasi tersebut, Santo Yohanes dari Salib menjelaskan kisah dalam Matius 7:6, Tuhan juga berkata, “Nolite sanctum dare canibus,” yang artinya, “Jangan memberikan yang kudus kepada anjing.” Ini mengingatkan kita bahwa kasih dan rahmat yang mulia tidak dapat diberikan kepada mereka yang tidak siap atau tidak menghargainya, yang hanya akan mengotori dan meremehkan apa yang suci. Dalam konteks ini, Santo Yohanes dari Salib mengajarkan bahwa jiwa yang terikat pada keinginan duniawi (yang diibaratkan sebagai “anjing”) tidak dapat menerima apa yang kudus dan rohani dari Allah.
Jika kita melihat lebih dalam tentang pengajaran Santo Yohanes dari Salib ini, kita akan tercengang akan kedalaman pemahaman orang kudus ini dalam membuat sebuah perbandingan yang tajam antara mereka yang memilih untuk meninggalkan keinginan duniawi dan mempersiapkan diri untuk menerima Roh Allah, dengan mereka yang tetap terikat pada keinginan-keinginan terhadap ciptaan. Tuhan kita, dalam sabda-Nya, mengilustrasikan hal ini dengan membandingkan dua kelompok: anak-anak Allah yang murni yang berada di meja dan mereka yang terikat pada keinginan duniawi, yang digambarkan sebagai anjing. Anak-anak Allah, yang telah melepaskan diri dari keinginan duniawi, diberikan roti yang lebih dari sekadar remah-remah duniawi. Mereka menikmati makanan dari Roh-Nya, karena mereka mempersiapkan diri untuk menerima Roh yang tidak tercipta. Sebaliknya, mereka yang terikat pada ciptaan hanya diberi remah-remah yang jatuh dari meja, yang tidak dapat memuaskan rasa lapar jiwa mereka. Sungguh refleksi dan simbolisme mendalam tentang perjamuan yang mengibaratkan tempat sumber makanan bagi jiwa. Ya, suatu meja perjamuan jiwa, meja Allah.
Lebih lanjut disebutkan oleh Santo Yohanes dari Salib bahwa semua ciptaan pada hakikatnya adalah remah-remah yang jatuh dari meja Allah. Oleh karena itu, orang yang terus-menerus mencari pemuasan dalam ciptaan akan terus merasa lapar dan tidak puas, seperti anjing yang mengais-ngais remah-remah. Tak akan puas, ia akan terus mencari dan menunggu remah di bawah meja. “Mereka akan menderita kelaparan seperti anjing,” seperti yang dikatakan dalam Mazmur 59:14–15, “dan berkeliling kota, dan jika mereka tidak menemukan cukup untuk memuaskan mereka, mereka akan menggerutu.” Ini adalah gambaran yang jelas tentang jiwa yang terperangkap dalam keinginan duniawi: selalu merasa lapar, selalu menginginkan lebih, tetapi tidak pernah merasa puas.
Di sini jelas terlihat bahwa keinginan duniawi tidak pernah dapat memuaskan jiwa yang pada hakikatnya diciptakan untuk menemukan kepenuhan hanya dalam Roh Allah. Sama seperti seseorang yang kelaparan, jiwa yang terikat pada ciptaan selalu mencari lebih, tetapi tidak pernah mencapai kepuasan yang sejati. Santo Yohanes dari Salib menekankan bahwa kepenuhan yang sejati, yang hanya dapat diberikan oleh Roh Allah, tidak dapat memasuki jiwa yang dipenuhi dengan keinginan duniawi. Untuk menerima kepenuhan ini, jiwa harus terlebih dahulu melepaskan keinginan-keinginan tersebut, karena dua hal yang bertentangan — rasa lapar yang disebabkan oleh keinginan duniawi dan kepenuhan yang datang dari Roh Allah — tidak dapat hidup bersama dalam satu pribadi. Hanya dengan pengosongan keinginan, pemuasan oleh Roh Allah akan diberikan.
Dalam tulisan Santo Yohanes dari Salib, kita diajak untuk memahami betapa besar karya Allah dalam membersihkan dan memurnikan jiwa yang terikat pada keinginan-keinginan duniawi. Sebagaimana dijelaskan oleh oleh orang kudus ini, karya Allah dalam membebaskan jiwa dari pertentangan-pertentangan yang muncul akibat keinginan-keinginan ini jauh lebih besar dibandingkan dengan karya-Nya dalam menciptakan jiwa dari ketiadaan. Keinginan dan afeksi yang bertentangan dalam jiwa bukan hanya menentang Allah, tetapi juga memberikan perlawanan yang jauh lebih besar kepada-Nya dibandingkan dengan ketiadaan. Ketiadaan itu sendiri pada hakikatnya sama sekali tidak dapat melawan. Hal ini menegaskan betapa seriusnya dampak yang ditimbulkan oleh keinginan terhadap jiwa kita. Yang pertama-tama adalah perlawanan terhadap Roh Allah itu sendiri.
Dampak Keinginan Jiwa yang Terikat Pada Ciptaan
Keinginan-keinginan yang terikat pada ciptaan membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan spiritual seseorang. Dampak pertama yang kita hadapi adalah bahwa keinginan tersebut membuat jiwa kehilangan Roh Allah, yang seharusnya menjadi sumber kehidupan sejati. Ini adalah dampak dari aksi pertama seperti yang telah dijelaskan dalam Kitab Yeremia di awal tulisan; “Mereka telah meninggalkan Aku, yang adalah sumber air hidup”. Ketika jiwa terikat pada hal-hal duniawi, kapasitasnya untuk menerima kehadiran Allah menjadi semakin kecil, karena dua hal yang bertentangan, seperti keinginan terhadap ciptaan dan cinta terhadap Allah, tidak dapat hidup berdampingan dalam satu jiwa yang sama.
Namun, dampak kedua dari keinginan adalah semakin jelas terlihat dalam bagaimana keinginan-keinginan tersebut membawa dampak negatif terhadap jiwa. Santo Yohanes dari Salib mengungkapkan bahwa keinginan yang tidak terkendali membuat jiwa menjadi letih, tersiksa, menggelap, ternoda, dan lemah. Inilah dampak dari aksi kedua pada penjelasan awal tulisan terkait Kitab Yeremia; “dan mereka menggali kolam-kolam retak yang tidak dapat menampung air”. Keinginan-keinginan ini tidak hanya menghalangi jiwa untuk menerima kehadiran Allah, tetapi juga membuatnya merasa kosong, gelap, dan lemah. Keinginan yang terus menerus mencari pemuasan dari ciptaan membuat jiwa terperangkap dalam siklus ketidakpuasan yang tak ada habisnya. Ia selalu merasa lapar, tetapi tidak pernah puas, karena tempat penampungan mereka adalah kolam yang retak. Sungguh luar biasa dan mendalam permenungan Santo Yohanes dari Salib dalam melihat simbolisme dalam Kitab Suci.
Kejahatan Positif yang Membuat Jiwa Letih dan Lelah
Berikutnya, kita diberikan gambaran yang mendalam tentang dampak negatif yang ditimbulkan oleh keinginan-keinginan duniawi terhadap jiwa. Kejahatan positif ini setidaknya membawa lima dampak bagi jiwa yaitu letih, tersiksa, menggelap, ternoda, dan melemah. ada pos pendakian kali ini, kita akan melihat dampak keletihan dan melemahnya jiwa. Keinginan, sebagaimana dijelaskan oleh Santo Yohanes dari Salib, adalah penyebab utama keletihan jiwa. Keinginan itu, seperti anak-anak yang gelisah dan tidak puas, selalu menuntut sesuatu dari jiwa, tetapi tidak pernah memberikan rasa puas. Keinginan yang tak pernah berhenti ini membuat jiwa terus-menerus berjuang untuk mencapai kepuasan, tetapi meskipun ia akhirnya berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, jiwa tetap merasa letih dan tidak pernah puas.
Santo Yohanes dari Salib menggambarkan keinginan ini dengan sangat kuat, menyamakan jiwa yang terikat pada keinginan dengan seseorang yang menggali tanah untuk mencari harta karun. Meskipun berusaha keras, ia tetap merasa letih, karena usaha tersebut tidak memberikan kepuasan yang sejati. Seperti kolam yang retak dan tidak dapat menampung air untuk memuaskan dahaga, keinginan-keinginan duniawi tidak dapat memberikan pemenuhan sejati bagi jiwa. Bahkan ketika jiwa mencoba memuaskan keinginannya, ia tetap merasa kosong, seperti yang dikatakan Yesaya, “Lassus adhuc sitit, et anima ejus vacua est” (Yesaya 29:8), yang artinya: Keinginannya kosong.
Santo Yohanes dari Salib juga mengutip Kitab Ayub untuk menggambarkan bagaimana keinginan yang dipenuhi justru menyebabkan penderitaan lebih lanjut, “Ketika ia telah memuaskan keinginannya, ia akan semakin tertekan dan sempit; panasnya keinginan telah meningkat dalam jiwanya, dan dengan demikian segala penderitaan akan menimpa dirinya” (Ayub 20:22). Keinginan yang tidak terkendali membawa jiwa ke dalam kegelapan dan penderitaan yang semakin dalam, yang semakin menguatkan rasa haus dan lapar rohaninya.
Keinginan yang tidak terkendali mengganggu jiwa, seperti angin yang mengganggu air, membuatnya tidak bisa beristirahat atau merasa damai. Santo Yohanes dari Salib mengutip Yesaya yang menggambarkan jiwa seperti ini dengan kata-kata, “Hati orang fasik seperti laut yang bergelora” (Yesaya 57:20), yang menunjukkan bagaimana keinginan-keinginan yang tidak terkendali mengganggu ketenangan jiwa, seperti laut yang menggelora. Jiwa yang terperangkap dalam keinginan duniawi ini akan merasa lapar, tetapi bukan dengan makanan yang sejati. Santo Yohanes dari Salib menggambarkan hal ini dengan menyatakan bahwa jiwa yang lapar mencoba untuk mengenyangkan dirinya dengan angin, tetapi justru semakin lapar, karena angin tidak dapat memberi kepuasan.
Nabi Yeremia juga memberikan gambaran yang serupa, memperingatkan jiwa agar tidak terjebak dalam keinginan yang membawa kekeringan spiritual lebih lanjut. Nabi Yeremia berkata, “Jagalah kakimu (yaitu pikiranmu) dari kekosongan dan tenggorokanmu dari rasa haus (yaitu kehendakmu dari memanjakan keinginan yang menyebabkan kekeringan yang lebih besar)” (Yeremia 2:25).
Akhirnya, Santo Yohanes dari Salib menegaskan bahwa keinginan itu seperti api yang semakin membesar ketika diberi kayu bakar, dan begitu kayu bakar itu habis, api tersebut harus padam. Keinginan yang tidak terkendali akan terus membesar dan menguatkan rasa lapar dan kekosongan dalam jiwa. Jiwa yang memanjakan keinginan-keinginannya akan merasa semakin kosong dan lapar, meskipun ia terus mencari pemenuhan dari dunia.
Pesan Santo Yohanes dari Salib sangat jelas: keinginan duniawi yang tidak terkendali bukan hanya membuat jiwa letih dan lelah, tetapi juga mengarah pada kekosongan dan penderitaan. Untuk mencapai kedamaian sejati, jiwa harus melepaskan diri dari ikatan keinginan-keinginan duniawi dan membuka diri untuk menerima kepenuhan yang hanya bisa diberikan oleh Roh Allah.
Jiwa Hanya Menemukan Kepuasan Dalam Allah, di Luar Itu Hanya Memperburuk Rasa Dahaga
Santo Yohanes dari Salib menggambarkan dengan sangat tajam bagaimana keinginan, yang semakin dipenuhi, justru semakin membesar dan membawa kehancuran bagi jiwa. Ia menyatakan bahwa dalam hal ini, keadaan dengan keinginan bahkan lebih buruk daripada api. Api akan padam ketika kayu bakar habis, tetapi keinginan tidak demikian. Meskipun bahan bakar keinginan ditambahkan, keinginan tidak berkurang sebanding dengan itu. Sebaliknya, seperti yang dijelaskan Santo Yohanes dari Salib, keinginan justru menjadi lemah karena keletihan, sebab rasa lapar bertambah, sementara makanan yang dapat memuaskan berkurang. Inilah yang digambarkan oleh Yesaya dalam kitabnya: “Ia akan berpaling ke kanan, dan merasa lapar; dan ia akan makan di kiri, tetapi tidak akan kenyang” (Yesaya 9:20).
Ayat ini memberikan gambaran mendalam tentang ketidakpuasan yang dialami oleh mereka yang tidak mematikan keinginan-keinginan duniawi mereka. Mereka yang tidak melepaskan diri dari keinginan duniawi ini akan selalu merasa lapar, meskipun mereka berpaling ke kanan atau ke kiri untuk mencoba memuaskan hasrat mereka. Mereka akan melihat kepenuhan dan kedamaian yang dinikmati oleh jiwa-jiwa yang berada di sebelah kanan Allah, tetapi kepenuhan itu tidak diberikan kepada mereka. Dan bahkan ketika mereka mencoba untuk memuaskan keinginan mereka dengan kenyamanan makhluk, mereka tidak akan merasa kenyang, karena mereka meninggalkan apa yang sebenarnya dapat memuaskan mereka — yaitu Allah dan Roh-Nya.
Jadi, jelaslah bahwa keinginan-keinginan duniawi tidak hanya membuat jiwa lelah dan letih, tetapi juga menyebabkan jiwa semakin merindukan sesuatu yang tidak dapat memuaskan rasa laparnya. Keinginan itu, semakin dipenuhi, justru semakin memperburuk keadaan, karena ia menambah rasa lapar spiritual yang lebih besar. Sama seperti seseorang yang mencoba mengenyangkan dirinya dengan angin, yang justru semakin lapar, demikian pula jiwa yang terperangkap dalam keinginan duniawi akan terus merasakan kekosongan yang lebih dalam, meskipun ia berusaha keras untuk memenuhinya.
Oleh karena itu, Santo Yohanes dari Salib mengajak kita untuk menyadari bahwa keinginan-keinginan duniawi tidak dapat memberikan kepuasan sejati. Kepuasan yang diperoleh pun hanya bersifat sementara saja dan hanya akan memperburuk rasa lapar jiwa kita. Hanya dengan melepaskan keinginan-keinginan ini dan berfokus pada Allah dan menerima Allah melalui pengosongan dan mortifikasi keinginan dan nafsu yang tidak teratur, jiwa dapat menemukan kedamaian dan kepenuhan sejati. Setidaknya kita memahami bahwa mencari kepuasan dari keinginan yang tidak teratur akan menjauhkan kita dari Allah dan membawa dampak buruk bagi jiwa, dan membuat kita semakin terperangkap pada apa yang tidak pernah bisa memenuhi kebutuhan terdalam jiwa kita. Keinginan-keinginan duniawi akan selalu mengecewakan, namun Allah menawarkan kepenuhan yang tidak berakhir, yang memuaskan jiwa secara sempurna. Dan mengingat bahwa pemurnian jiwa dari keinginan-keinginan duniawi adalah karya besar Allah yang memungkinkan kita untuk kembali mengalami kedamaian dan kepenuhan dalam Roh-Nya.
Lihat juga : Pentingnya Mortifikasi Jiwa
Epilog
Namun, dalam keputusasaan, aku mulai menyadari bahwa tempatku adalah pada meja perjamuan itu, duduk bersama anak Allah lainnya. Hanya makanan surgawi Allah yang dapat memuaskan lapar dan dahaga jiwaku. Kumatikan semua keinginan tak teraturku dan kini aku tak mengais remah-remah duniawi, melainkan duduk menyantap roti kehidupan yang memuaskan jiwa di atas meja perjamuan Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!