Prolog
Lapar mendera dalam ziarahku, dan aku diberi-Nya santapan ilahi. Meski lidahku telah mencecap manna surgawi namun celaka dan bodohnya aku masih merindukan tepung Mesir dan menginginkan dagingnyaÂ
Pagi telah terbit dengan lembut di punggung bukit, dan mengusir kabut tipis yang masih menggantung di udara. Hari ini dengan sukacita aku ingin menyapa penuh semangat; "Ayo, kita lanjutkan perjalanan ini bersama", ya, kamu tidak sendiri, sekedar pengingat bahwa kita tidak sendiri dalam perjalanan ini. Ada kepulan asap dari tungku api para musafir yang sedang menyeduh kopi hangat di rute yang akan kita tuju di atas sana. Yuk, teman pendakianku, kita bergerak dengan kesadaran bahwa setiap detik yang kita habiskan di pendakian Gunung Karmel ini memberi kita banyak pelajaran dan pencerahan.
Melepas Segala Keinginan untuk Bersatu dengan Allah
Dari pengajaran Santo Yohanes dari Salib, kita telah diajak merenungkan betapa besar jarak antara makhluk ciptaan dalam dirinya sendiri dan Allah dalam Diri-Nya sendiri. Jarak ini, seperti yang dikatakan oleh Santo Yohanes, menjadi penghalang bagi jiwa-jiwa yang masih mengarahkan kasih sayangnya pada makhluk atau hal-hal duniawi. "Cinta menghasilkan kesetaraan dan kemiripan," tulisnya, sehingga jiwa yang mencintai makhluk selain Allah pada dasarnya menjauhkan dirinya dari kesatuan dengan Sang Pencipta. Untuk mengingat kembali tentang ajaran orang kudus ini, baca : Pentingnya Mortifikasi Indra.
Ya, betapa menyedihkannya kesadaran akan jarak ini, dalam refleksi mendalam tentang jarak antara pengalaman ilahi dan manusia. Santo Agustinus, yang berbicara kepada Allah, mengungkapkan betapa besar perbedaan antara kelemahan manusia dan kesucian ilahi, seperti yang diungkapkan oleh Santo Agustinus dalam Soliloquies:
Manusia malang, kapan kekecilanku dan ketidaksempurnaanku dapat bersatu dengan kesempurnaan-Mu? Engkau baik, aku jahat; Engkau penuh belas kasih, aku tidak setia; Engkau suci, aku celaka; Engkau adil, aku tidak adil; Engkau terang, aku buta; Engkau kehidupan, aku kematian; Engkau obat, aku sakit; Engkau kebenaran tertinggi, aku hanya kebodohan belaka
Pengakuan Santo Agustinus ini menggambarkan kerinduan jiwa yang terperangkap dalam keterbatasannya untuk bersatu dengan Allah yang tanpa batas. Sungguh dramatis dari kesadaran jiwa akan dosa-dosanya dan kebutuhannya akan Allah, yang meletakkan dasar bagi kerendahan hati spiritual. Menurut Santo Yohanes dari Salib, kesadaran ini menjadi titik awal bagi jiwa untuk memahami bahwa hanya melalui pelepasan total akan segala sesuatu yang mengikat---baik hal-hal duniawi maupun (pengalaman) supranatural sehingga ia dapat mencapai transformasi dalam Allah. Menurutnya, karunia-karunia supranatural, jika disalahgunakan, dapat mempengaruhi secara signifikan fakultas-fakultas jiwa, termasuk ingatan, pengetahuan, dan kehendak. Ketika karunia-karunia supranatural ini tidak diterima dengan kerendahan hati dan keterlepasan yang tepat, karunia-karunia tersebut justru dapat menghalangi kemajuan spiritual, bukannya membantu. Jelas bahwa kecintaan yang berlebihan atau ketergantungan pada pengalaman supernatural, yang dipicu oleh cinta diri, dapat merugikan tujuan akhir jiwa---persatuan dengan Allah.
Proposisi atau gagasan teologis terkait pengalaman supranatural yang diajarkan Santo Yohanes dari Salib ini pernah dikritik oleh teolog Diego de Pesus. Dalam ajarannya Santo Yohanes dari Salib mengatakan bahwa untuk mencapai persatuan sejati dengan Allah, seseorang harus melepaskan segala sesuatu yang mungkin menghalangi hubungan murni dengan Tuhan, termasuk cinta diri yang berlebihan atau bergantung pada hadiah supernatural. Hal ini berbeda dengan Diego de Pesus tidak melihat cinta diri atau keterikatan pada pengalaman mistik sebagai masalah besar, selama hal tersebut tidak menyebabkan kesombongan atau distraksi dari Allah. Jadi, perbedaan utamanya terletak pada intensitas kelepasan atau detasemen. Santo Yohanes dari Salib menekankan pengosongan total sementara Diego de Pesus memberikan pandangan yang lebih moderat. Namun sang teolog ini menyepakati bahwa bahwa pengalaman mistik dan karunia-karunia supernatural harus diterima dengan rendah hati dan bijaksana, sehingga dapat memperdalam hubungan seseorang dengan Allah.
Kembali ke Santo Yohanes dari Salib, ia menegaskan bahwa adalah sebuah "ketidaktahuan yang luar biasa" jika jiwa berpikir dapat mencapai persatuan dengan Allah tanpa terlebih dahulu melepaskan semua keinginannya. Allah sendiri, melalui sabda-Nya dalam Injil Lukas, menyatakan: "Barang siapa tidak melepaskan segala sesuatu yang dimilikinya dengan kehendaknya, ia tidak dapat menjadi murid-Ku" (Luk 14:33). Dan ini jelas; sebab doktrin yang diajarkan Putra Allah adalah penghinaan terhadap segala hal, sehingga seseorang dapat menerima sebagai ganjaran Roh Allah dalam dirinya. Karena, selama jiwa tidak menolak segala sesuatu, ia tidak memiliki kapasitas untuk menerima Roh Allah dalam transformasi yang murni untuk cinta Allah dan kekudusan.Â
Santo Yohanes menyuratkan suatu keharusan untuk memiliki keberanian untuk melepaskan segala keinginan yang mengikat hati kita pada dunia, sehingga kita dapat menjadi murid-murid sejati Kristus, yang hidup sepenuhnya dalam kasih dan transformasi Ilahi.Â
Mengangkat Keinginan Menuju Allah yang Sempurna
Dalam ajaran Santo Yohanes dari Salib, kita diajak merenungkan perjalanan rohani manusia melalui kisah anak-anak Israel di Kitab Keluaran. Allah tidak memberikan mereka manna, makanan dari surga, sampai tepung yang mereka bawa dari Mesir habis. Hal ini menjadi simbol bahwa kehilangan semua keterikatan duniawi adalah langkah pertama yang mutlak diperlukan untuk menerima karunia rohani yang mulia. Santo Yohanes menulis, "Makanan para malaikat ini tidak pantas untuk lidah yang ingin menikmati makanan manusia."
Kisah ini mengungkapkan kebenaran yang mendalam: jiwa tidak dapat menerima Roh Allah jika ia masih mencari kepuasan dalam kenikmatan-kenikmatan duniawi. Bahkan lebih dari itu, Santo Yohanes mengingatkan bahwa mencampurkan keinginan akan hal-hal lain dengan kasih kepada Allah adalah suatu penghinaan terhadap Kemuliaan Ilahi. Seperti yang tercatat dalam Kitab Suci, anak-anak Israel tidak puas dengan manna, tetapi mendambakan makanan daging (Bilangan 11:4). Keinginan mereka memicu murka Tuhan, yang menurut Daud, "Murka Tuhan turun ke atas mereka---Ira Dei descendit super eos", mengirimkan api dari surga untuk membinasakan ribuan dari mereka.
Mengapa hal ini begitu serius? Karena Allah, yang telah memberikan makanan dari surga (Kebijaksaan 16:20)---makanan yang mengandung manisnya dan substansi dari segala makanan---melihat bahwa keinginan mereka untuk hal-hal lain menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap-Nya. Padahal dengan mengirimkan manna surgawi, Allah telah menunjukan tindakan kebesaran-Nya yang menunjukkan sifat Ilahi sekaligus intervensi Allah sendiri. Dan, jiwa-jiwa ini gagal menemukan kepenuhan dalam manna, bukan karena manna itu kurang, tetapi karena mereka menginginkan sesuatu yang lain, kenikmatan daging. Santo Yohanes menegaskan, "Siapa pun yang mencintai sesuatu yang lain bersama dengan Allah, pasti menghargai Allah dengan sedikit penghormatan."
Dalam konteks kehidupan kita, Santo Yohanes dari Salib seakan mau menunjukan betapa sering kita, dalam perjalanan rohani kita, terjebak dalam "makanan daging" modern: ambisi, harta dunia, dan kenikmatan sementara yang kita campurkan dengan keinginan akan Allah. Akibatnya, kita kehilangan kelimpahan rohani yang sebenarnya tersedia dalam Allah sendiri. Santo Yohanes mengingatkan, "Oh, jika saja orang-orang rohani mengetahui betapa banyak kebaikan dan kelimpahan roh yang mereka hilangkan karena tidak berusaha untuk mengangkat keinginan mereka di atas hal-hal kekanak-kanakan!"
Maka, panggilannya jelas: lepaskan keterikatan akan hal-hal lain, arahkan seluruh keinginan kepada Allah saja, dan temukan bahwa dalam makanan rohani yang sederhana, terdapat manisnya dan kekuatan dari segala sesuatu. Dengan melakukannya, kita tidak hanya menghormati Allah, tetapi juga menemukan kedamaian dan kepuasan yang sejati dalam-Nya.
Mencari Allah di Puncak Gunung Kesempurnaan
Santo Yohanes dari Salib mengajarkan bahwa cinta sejati kepada Allah menuntut keutuhan hati dan kebebasan dari keterikatan. Ketika kehendak seseorang terikat pada sesuatu, ia cenderung menghargainya lebih dari yang lain, bahkan jika sesuatu itu jauh lebih baik. Santo Yohanes menulis, "Karena tidak ada yang setara dengan Allah, jiwa yang mencintai sesuatu yang lain bersama dengan-Nya, atau bergantung padanya, melakukan kesalahan besar terhadap-Nya". Â Betapa besarnya kesalahan itu jika seseorang mencintai sesuatu lebih daripada Allah!
Dalam perjalanan menuju Allah, Santo Yohanes menggunakan kisah Musa yang dipanggil Allah untuk naik ke Gunung Sinai sebagai simbol penting. Allah memerintahkan Musa untuk naik seorang diri, meninggalkan anak-anak Israel di bawah, dan bahkan melarang binatang-binatang merumput di dekat gunung tersebut (Keluaran 34:2--3). Pesan ini jelas: "Jiwa yang hendak naik ke gunung kesempurnaan ini, untuk berkomunikasi dengan Allah, harus tidak hanya melepaskan semua hal dan meninggalkannya di bawah, tetapi juga tidak boleh membiarkan hasrat-hasratnya---yang diibaratkan sebagai binatang---merumput di dekat gunung ini, yaitu pada hal-hal lain yang bukan semata-mata Allah."
Hasrat-hasrat yang terikat pada dunia adalah seperti beban yang menghalangi jiwa untuk mendaki lebih tinggi. Maka, untuk mencapai kesempurnaan, Santo Yohanes mengingatkan bahwa jiwa harus mengosongkan, melepaskan, dan memurnikan diri dari segala hasrat. Tanpa ini, meskipun seseorang mempraktikkan kebajikan, ia tetap tidak dapat mencapai kesempurnaan dalam kebajikan tersebut.
Kisah Yakub pada Kitab Kejadian 35:2 menjadi gambaran yang mencolok tentang kebutuhan ini. Sebelum Yakub mendaki Gunung Betel untuk membangun mezbah bagi Allah, ia memerintahkan semua orangnya untuk melakukan tiga hal: "(1) Mereka harus membuang semua dewa asing dari antara mereka; (2) mereka harus menyucikan diri mereka; (3) dan mereka harus mengganti pakaian mereka."
Ketiga tindakan ini memiliki makna simbolis yang mendalam. Membuang dewa asing berarti menanggalkan semua keterikatan yang asing bagi Allah. Menyucikan diri melambangkan penghapusan noda-noda jiwa yang ditinggalkan oleh hasrat duniawi. Mengganti pakaian adalah transformasi batiniah, menggantikan yang lama dengan yang baru, sehingga jiwa menjadi pantas untuk mendekati Allah.
Jalan menuju Allah adalah jalan yang penuh dengan pelepasan. Santo Yohanes menegaskan, "Semakin cepat jiwa mematikan hasrat-hasratnya, semakin cepat pula ia mencapai tujuan perjalanannya." Orang kudus ini mengajak kita untuk mendaki gunung kesempurnaan ini dengan meninggalkan semua beban duniawi di bawah, mengendalikan hasrat, dan membiarkan Allah memurnikan kita. Hanya dengan demikian kita dapat menjadi mezbah yang layak bagi Allah, tempat kasih murni-Nya tinggal dan bertumbuh dalam jiwa kita.Â
Menjadi Altar Bagi Allah yang Hidup
Santo Yohanes dari Salib menggambarkan perjalanan jiwa menuju kesatuan dengan Allah sebagai pendakian menuju puncak gunung kesempurnaan. Dalam perjalanan ini, jiwa yang ingin menjadi altar tempat persembahan cinta murni, pujian, dan penghormatan kepada Allah, harus terlebih dahulu melakukan tiga hal penting.
Pertama, jiwa harus membuang segala sesuatu yang asing---semua keterikatan dan kasih sayang pada dunia dan segala keinginannya yang tidak sesuai dengan Allah. Tanpa ini, jiwa tidak dapat mencapai kesucian yang diperlukan untuk mempersembahkan dirinya kepada Tuhan.Â
Kedua, jiwa harus menyucikan diri dari sisa-sisa keinginan duniawi yang tertinggal dalam hati, melalui malam gelap indra, suatu keadaan penyucian yang menyakitkan namun penting. Dalam kondisi ini, jiwa harus secara konsisten menyangkal dan bertobat dari keinginan-keinginan tersebut.
Ketiga, untuk mencapai puncak gunung kesempurnaan, jiwa harus mengganti "pakaian"-nya---memperbarui cara pandangnya terhadap Allah dan cinta-Nya. Allah, melalui dua tindakan pertama, akan memberikan pemahaman baru tentang-Nya, menggantikan pemahaman manusiawi yang lama dengan pemahaman Ilahi. Selain itu, jiwa akan mengalami cinta yang lebih dalam dan murni kepada Allah, membebaskan kehendaknya dari keinginan-keinginan lama dan kesenangan duniawi.
Seiring dengan perubahan batin ini, jiwa akan mengalami transformasi yang mendalam. Keinginan-keinginannya yang dulu bersifat manusiawi akan berubah menjadi Ilahi, dan jiwa tersebut akan mencapai keadaan persatuan dengan Allah. Dalam keadaan ini, jiwa tidak lagi menjadi diri sendiri, melainkan menjadi sebuah altar yang sepenuhnya menyembah Allah dengan pujian dan cinta. Hanya Allah yang akan ada di atas altar ini. Santo Yohanes menekankan bahwa "Allah memerintahkan agar altar tempat Tabut Perjanjian diletakkan harus kosong di dalamnya,"Â sehingga jiwa dapat memahami betapa sepenuhnya Allah menginginkan jiwa untuk kosong dari segala hal agar menjadi altar yang layak bagi kehadiran dan keagungan-Nya (Keluaran 27:8).Â
Lebih jauh lagi, di atas altar ini tidak boleh ada api asing, dan api cinta kepada Allah tidak boleh padam. Kecuali jika cinta ini tetap menyala, jiwa tidak akan dapat menjadi altar yang layak bagi Allah. Kita juga melihat dalam Kitab Keluaran bahwa ketika Nadab dan Abihu, anak-anak Imam Besar Harun, mempersembahkan api asing di atas altar, Tuhan murka dan menghukum mereka (Imamat 10:1--2). Dari peristiwa ini, Santo Yohanes mengingatkan kita bahwa "cinta kepada Allah tidak boleh pernah padam dalam jiwa," agar jiwa tersebut menjadi altar yang murni dan hanya dihiasi dengan cinta yang sejati kepada Allah. Api asing atau cinta kepada hal yang lain tak boleh ada, dan jiwa harus bersenandung dan mendaraskan syair : tak akan ada cinta yang lain, pastikan cintaku hanya untuk-Mu Tuhan.
Allah juga tidak mengizinkan hal lain untuk tinggal bersama-Nya. Dalam Kitab Raja-Raja, kita membaca bahwa ketika orang Filistin meletakkan Tabut Perjanjian di dalam kuil berhala mereka, berhala itu terjatuh dan hancur berkeping-keping (1 Samuel 5:3--5 dan 1 Raja-raja 5:3--5). Allah menghendaki agar hanya ada satu hasrat di tempat Dia berada, yaitu mematuhi hukum Allah dengan sempurna dan memikul salib Kristus. Demikian pula, dalam Kitab Suci Ilahi tidak disebutkan bahwa Allah memerintahkan sesuatu selain hukum Taurat (Ulangan 31:26) dan tongkat Harun dimasukkan ke dalam Tabut (Bilangan 17:10), tempat manna berada. Santo Yohanes dari Salib menyebutkan bahwa tongkat ini melambangkan Salib.
Ini menunjukkan bahwa Allah hanya menghendaki satu keinginan yang sejati---yaitu mematuhi hukum-Nya dengan sempurna dan memikul salib Kristus. Jiwa yang hanya menginginkan kesatuan dengan hukum Allah dan salib Kristus akan menjadi Tabut sejati, tempat di mana Allah, Sang Manna sejati, berada dan bertakhta.
Dengan kata lain, jiwa yang ingin mencapai kesempurnaan dalam Tuhan harus melepaskan segala sesuatu selain Allah, memurnikan dirinya melalui penyucian, dan memperbarui dirinya dengan pemahaman dan cinta baru yang Ilahi. Hanya dengan cara ini, jiwa dapat menjadi tempat yang layak bagi kehadiran Allah, menjadi altar yang sepenuhnya menyembah-Nya.Â
Ah aroma kopi para musafir cinta di pos yang baru ini sungguh nikmat. Mari teman pendakianku, buang penat sejenak dan memikirkan altar yang akan kita bangun dalam jiwa sambil memandang bentangan alam karya Sang Kekasih. Cinta ini sungguh indah.
Epilog
Kubangun altar baru dalam jiwaku, Tabut Sejati bagi kediaman Kekasih-ku, tempat Hukum-Nya bertakhta dan Salib Kasih-Nya memanduku. Pelataran hanya bagi Api Cinta-Nya. Milikku yang paling berharga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H