Mohon tunggu...
Paulina Aliandu
Paulina Aliandu Mohon Tunggu... Dosen - sebuah jiwa, seorang peziarah

Sebagai pencinta spiritualitas, saya juga tertarik pada sejarah, filsafat dan politik. Berkecimpung dalam bit-bit digital untuk pembelajaran mesin dalam perjalanan panjang mencapai kebijaksanaan digital.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Pendakian Gunung Karmel: Pendorong Utama Malam - Pengosongan Keinginan akan Segala Sesuatu (I-3)

19 Desember 2024   08:05 Diperbarui: 19 Desember 2024   08:45 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemandangan dari penjara(credit: MariamS free from pixabay)

Prolog 

Dibalik jeruji dan dinding penjara raga, jiwaku melihat pemandangan luar, hanya sebatas jendela persegi seukuran indraku

Pendakian Gunung Karmel kali ini, kita telah sampai pada pos pendakian yang melukiskan penyebab utama malam yang dimaksud oleh Santo Yohanes dari Salib, dan mengapa keadaan ini disebut sebagai "malam". Nah, Dalam perjalanan rohani yang ditempuh jiwa, Santo Yohanes dari Salib menggambarkan "malam" sebagai simbol yang mendalam dan penuh makna. Malam yang dimaksudkan oleh Santo Yohanes dari Salib bukan sekadar ketiadaan cahaya fisik, melainkan ketiadaan kesenangan yang mengikat jiwa pada keinginan-keinginan duniawi. Kita sebut saja itu sebagai keinginan-keinginan yang tidak teratur. Dan seperti malam yang memadamkan cahaya dan membuat mata tak mampu melihat, demikian pula jiwa yang memadamkan keinginannya (mortifikasi keinginan)  terhadap segala hal akan mengalami keadaan dimana ia tampak tidak aktif, serta berada dalam keheningan dan kegelapan. Santo Yohanes dari Salib mengumpakan bahwa sebagaimana indra penglihatan bergantung pada cahaya untuk melihat benda-benda dan objek di sekitarnya dan mendapatkan kesenangan atas keinginan melalui penglihatan tersebut berdampak pada  jiwa sering yang menjadi bergantung pada kesenangan indrawi untuk memelihara keinginannya. Namun, ketika sumber-sumber kesenangan ini dimatikan, jiwa berhenti memberi makan dirinya dengan kenikmatan duniawi. Keadaan ini disebut sebagai "malam bagi jiwa" yaitu sebuah keadaan pengosongan yang membawa jiwa mendekati pengalaman mistik akan Tuhan. Terkait hal ini, Santo Yohanes dari Salib menulis :

"jiwa tetap tidak aktif dan dalam kegelapan"

Inilah yang disebut sebagai mortifikasi keinginan. Pengosongan dan pemadaman keinginan.

Selanjutnya, Santo Yohanes dari Salib mengilustrasikan apa yang terjadi pada daya atau fakultas  manusia  (ingatan, kehendak, dan pengetahuan) terhadap kesenangan duniawi yang diperoleh melalui indra, ketika memasuki malam ini. Orang kudus ini melukiskan bahwa ketika ketika jiwa melepaskan keinginannya terhadap kesenangan dari semua hal yang dapat menyenangkan indra pendengaran, jiwa tetap tidak aktif dan dalam kegelapan sehubungan dengan daya ini. Begitupun dengan indra penglihatan, dan, ketika jiwa melepaskan dirinya dari kesenangan semua aroma manis yang dapat memberikan kesenangan melalui indra penciuman, jiwa tetap tidak aktif dan dalam kegelapan sesuai dengan daya ini. Serta jika jiwa juga menyangkal dirinya dari semua makanan yang dapat memuaskan indra pengecap, jiwa tetap tidak aktif dan dalam kegelapan. Akhirnya, ketika jiwa memortifikasi dirinya sehubungan dengan semua kesenangan dan kenikmatan yang dapat diterima melalui indra peraba, jiwa tetap tidak aktif dan dalam kegelapan sehubungan dengan daya ini. Dengan demikian, jiwa yang telah menyangkal dan menyingkirkan dari dirinya sendiri kesenangan-kesenangan yang berasal dari semua hal ini, seolah-olah jiwa ini terisolasi dari dunia luar dan telah memortifikasi keinginannya terhadapnya. Keadaan inilah yang dimaksud Santo Yohanes dari Salib sebagai keadaan seolah-olah berada dalam kegelapan malam, yang merupakan gambaran kekosongan dalam dirinya sendiri terhadap segala sesuatu, kelepasan terhadap keinginan dan ikatan duniawi, yang terasa pekat dan gelap gulita. 

Dalam ajaran mistik Santo Yohanes dari Salib pada pembahasan ini, kita juga diajak untuk memahami hakikat jiwa manusia dalam keterbatasannya. Ia menggambarkan jiwa sebagai sebuah papan halus dan kosong (latin : tabula rasa), yang belum terlukis apa pun, saat Allah pertama kali menghembuskannya ke dalam tubuh. Papan kosong ini, dalam pandangan Santo Yohanes dari Salib, hanya dapat menerima pengetahuan melalui pengalaman yang diperoleh melalui indra kita; sebuah proses yang memungkinkan kita mengenali dunia di sekitar kita melalui sense indra. Namun, jiwa manusia, sebagaimana diungkapkan oleh para filsuf, tidak dapat memperoleh pengetahuan lebih jauh, kecuali melalui indra yang bagai jendela penjara yang gelap. Seperti seseorang yang terpenjara dalam kegelapan, jiwa hanya mampu mengetahui apa yang dapat dilihatnya melalui jendela tersebut. Bila jendela itu tertutup atau tidak memberikan pemandangan apa pun, jiwa tetap berada dalam ketidaktahuan, tanpa akses pada pengetahuan yang lebih tinggi atau lebih luas. Dalam konteks ini, Santo Yohanes dari Salib menggarisbawahi keterbatasan alami jiwa manusia ini, yang hanya dapat mengetahui dunia melalui pengalaman indrawi, tanpa kemampuan untuk menjangkau sumber pengetahuan yang lebih luas dan mendalam kecuali melalui pengalaman spiritual yang melampaui indra itu sendiri.

Konsekuensi atas hal ini, Santo Yohanes dari Salib, mengungkapkan pentingnya penolakan terhadap segala bentuk kenikmatan duniawi yang dapat dicapai melalui indra. Ia menegaskan bahwa ketika jiwa menolak dan menyangkal apa pun yang dapat diterimanya melalui indra, jiwa itu seolah berada dalam kegelapan dan kekosongan. Meskipun indra tetap berfungsi, penolakan terhadap objek-objek yang mereka tangkap tidak menghalangi jiwa untuk tetap berada dalam keadaan kegelapan, seperti seseorang yang memilih untuk menutup matanya, tetap dalam kegelapan meskipun ia bisa melihat. Dalam konteks ini, Santo Yohanes dari Salib mengutip Mazmur 88:15, dimana Daud menyatakan, “Aku miskin dan dalam kesusahan sejak masa mudaku - Pauper sum ego, et in laboribus a iuventute mea"; meskipun ia secara fisik kaya. Keadaan "kemiskinan" yang disebutkan Daud bukanlah kemiskinan materi, tetapi kemiskinan kehendak, yakni tidak melekat pada kekayaan atau kenikmatan duniawi. Dengan demikian, jiwa yang terbebas dari keinginan terhadap benda-benda duniawi akan mengalami kebebasan sejati. Bukan benda-benda itu yang merusak jiwa, melainkan keinginan dan keterikatan pada mereka yang membelenggu jiwa. Inilah yang dimaksud dengan "malam" bagi jiwa, suatu keadaan dimana jiwa melepaskan keinginan dan kenikmatannya terhadap dunia, meskipun ia masih memiliki benda-benda tersebut. Dalam pelepasan ini, jiwa menjadi kosong dan bebas, mengalami pembebasan sejati yang hanya dapat ditemukan dalam kedalaman kehendak yang tidak lagi terikat pada apa pun selain Tuhan.

Inilah malam pertama, Malam Indra, salah satu dari ketiga malam yang sudah kita bahas. Malam ini, menurut Santo Yohanes, bukanlah kehampaan yang tanpa makna, melainkan jalan yang membawa jiwa pada kebebasan sejati. Dengan mengosongkan diri dari segala sesuatu yang fana, jiwa menjadi wadah yang murni, siap untuk diisi dengan kehadiran Tuhan. 

Saudara pendakianku, pos pendakian ini telah membuka cakrawala kita akan apa yang dibutuhkan untuk berada dalam malam gelap yang dimaksud oleh Santo Yohanes dari Salib. Ambil waktu sejenak, berikutnya kita perlu bersiap menapaki rute untuk melihat betapa pentingnya jiwa keluar dari rumahnya dan memasuki malam gelap ini. Tetap semangat sebagai musafir cinta hingga tiba di puncak Karmel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun