Diskursus filosofis tentang agama selalu jadi 'candu' yang tak bisa dipisahkan dari proses keberjadian manusia. Agama selalu jadi tema sensitif yang 'menelanjang' di hadapan nalar-nalar agnostik. Apa benar agama masih relevan dengan konsep pembangunan manusia hari ini? Lantas bagaimana membenarkan konflik relegius atas nama agama?
Pertanyaan-pertanyaan ini sangat sering  diajukan bahkan menjadi 'nucleus' dari keberatan terhadap eksistensi agama. Berikut merupakan indikator mengapa agama patut 'ditampar' dengan spekulasi agnotisime.Â
Agama sebagai lembaga dogmatis seringkali mengarahkan manusia pada ekspresi relegius yang tidak membebaskan. Hingga akhirnya agama tidak lebih dari sekedar lembaga yang membangun neurosis secara berlebihan. Bahkan agama dalam banyak konteks gagal membentuk manusia untuk menjadi lebih antropologis. Kegagalan ini tidak terlepas dari subjektifikasi agama tentang Tuhan, yang menjadikanya isu sentral, pemantik polemik yang tak dapat salah.
Andaikata Tuhan tidak 'dipenjarakan' dalam agama tentu manusia dapat melihat bahwa keburukan tertinggi adalah menghindari objektifitas dalam arti ketat. Penghindaran tersebut mustahil membebaskan manusia dari keburukan-dengan begitu manusia telah menjadi buruk dalam dirinya sendiri.
Maka cukup masuk akal bila mengaminkan sentilan Karl Jaspers tentang agama bahwa agama hanya merupakan 'kepercayaan filosofis'. Sebab bagaimana mungkin manusia 'wajib dipahami' oleh sesuatu yang lebih besar di luar dirinya. Bahkan simbol-simbol serta transendensi terlalu dipaksakan hinggap pada nalar yang terbatas. Akibatnya manusia menjadi 'gila dan buas'. Manusia dikendalikan oleh radikalitas yang memicu dirinya untuk 'bertikai' demi menemukan Tuhan yang 'diciptakan'. Mustahil itu terjadi!
Sangat jelas terlihat bagaimana agama membuat pengkategorian terhadap manusia sambil menyepelehkan kebenaran: "ikan hanya mungkin berenang dalam air bukan di luarnya". Dengan kurang teliti agama menaruh kesadaran pada manusia untuk hidup terpisah secara kategorial. Manusia B wajib melakukan kebaikan jika manusia A mampu menghindari keburukan.Sebaliknya manusia A wajib menghindari keburukan jika manusia B mampu melakukan kebaikan. Logika ini gila! Tak ada apa pun di sana selain taruhan imperatif yang tidak mungkin dimenangkan demi kebebasan.
Dalam hubungan dengan ini, kita bebas membuat komparasi untuk melihat sejauh mana agama dapat menjaga 'imunitas' di hadapan nalar agnotisisme. Atau semacam menyulutkan konfrontasi untuk menguji premis-premis dogmatis yang tak lagi relevan dengan konsep pembangunan manusia hari ini.
Pada akhirnya kita tiba pada 'kejenuhan' yang menuntut jawaban. Jika manusia harus hidup tanpa agama, apa perlu terjebak dalam 'taruhan pascal'; melaksanakan perbuatan baik tanpa wajib peduli pada apa pun mengenai Tuhan? Atau apa mungkin kebaikan dapat diwujudkan hanya dengan melaksanakan perbuatan baik?
regenofla
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H