Oleh Paul Sagajinpoula
Hampir setiap hari Kijang Innova hitam tersebut lewat di depan kantor kami. Seperti biasa, di bagian kursi depan sebelah kiri (selalu) duduk seorang bapak dengan setelan baju dinasnya dan di sebelah kanan tentu saja sopir pribadinya yang setia mengantar jemput beliau setiap hari. Warna plat mobil yang berwarna merah kemudian menjadi konfirmasi kepastian bahwa itu adalah sebuah mobil dinas. Ya, mobil itu adalah mobil dinas yang biasa digunakan oleh seorang pejabat kecamatan di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Jika melihat kondisi jalan raya yang ada di Siberut ini—kebetulan saya berada di sini sekarang—maka akan menjadi tidak pantas jika seorang pejabat kecamatan memakai kendaraan dinas sejenis mobil. Bagi saya hal itu terkesan terlalu “dipaksakan” (kalau seandainya kendaraan dinas yang digunakan adalah sepeda motor tentu saya tidak akan menuliskan artikel ini).
Satu hal lain yang cukup menarik perhatian saya dengan mobil Kijang Innova hitam tersebut adalah plat nomornya yang berwarna merah itu. Di plat nomor itu tertulis angka 12.12. Itu artinya pemakaian mobil dinas tersebut sudah kedaluwarsa alias mati pajak. Alamak! Pemerintah selama ini selalu berkaok-kaok kepada masyarakat agar taat membayar pajak kepada negara tapi mereka sendiri tidak melaksanakannya! Keterlaluan!
Pemakaian istilah 'jalan 'raya' juga seperti yang saya singgung di atas mungkin lebih baik diganti dengan istilah 'jalan umum'. Karena menurut saya, jalan raya itu adalah jalan mulus beraspal dan lebar sementara jalan raya yang ada di sini bukan beralaskan aspal tapi hanya semen beton dan jalannya pun hanya satu arah. Saya rasa akan lebih baik kalau memakai istilah jalan umum saja.
Seperti yang sudah saya gambarkan sedikit di atas, kondisi jalan umum yang ada di Siberut ini—lebih tepatnya di wilayah Kecamatan Siberut Selatan—hanya satu arah (khusus yang bisa dilalui hilir mudik oleh mobil). Jaraknya pun kurang lebih hanya 10 Km yaitu mulai dari dermaga (yang ada di Maileppet) sampai ke batas paling ujung yang bisa dilalui mobil yaitu daerah Puro II. Nah, jika mengacu kepada kondisi jalan umum tersebut, maka sangat mubazir rasanya jika seorang pejabat kecamatan menggunakan mobil dinas di daerah seperti ini. Akan lebih baik (dan tentunya lebih bijak) kalau pejabat kecamatan tersebut cukup memakai sepeda motor saja sebagai kendaraan dinasnya. Apalagi, jika diperkirakan, jarak dari rumah beliau sampai ke kantor kecamatan (lebih kurang) hanya 2,5 Km saja.
Penggunaan mobil dinas dengan jarak tempuh yang cuma “secuil” begitu rasanya sangat tidak pantas. Atau kalau boleh dibilang, terkesan tidak tepat sasaran dan kurang manusiawi. Kenapa? Mentawai—tentunya termasuk Siberut—adalah salah satu kabupaten di provinsi Sumatera Barat yang termasuk ke dalam kategori daerah miskin dan tertinggal. Tentunya akan lebih baik dan lebih bijak jika biaya pengadaan dan operasional mobil dinas untuk si pejabat kecamatan tersebut dialihkan kepada hal-hal lain yang lebih membutuhkan, misalnya untuk pembangunan atau perbaikan jalan di wilayah Siberut (Selatan)—karena di sini masih banyak jalan -jalan yang rusak.
Kita ambil satu contoh, Desa Muntei. Muntei adalah salah satu desa yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Siberut Selatan. Salah satu hal memprihatinkan adalah akses untuk masuk ke desa ini yang sudah sangat parah. Jalan beton yang biasa digunakan untuk lalu lalang ke Desa Muntei sudah sangat rusak dan berlubang-lubang di sana sini. Padahal akses dari persimpangan jalan umum tadi ke desa ini bisa dibilang hanya memakan waktu 5 – 7 menit. Tapi karena kondisi jalan yang sudah keterlaluan parahnya, untuk sampai ke Desa Muntei bisa memakan waktu sampai 20 menit. Selain itu, jarak desa ini juga sebetulnya tidak begitu jauh dari kantor kecamatan. Namun (mungkin) karena si pejabat kecamatan tadi jarang sekali melewati jalan ini dengan mobil dinasnya sehingga bisa jadi beliau “kurang tahu” bagaimana kondisi jalan yang ada di salah satu daerah administrasinya itu.
Saya bukan sedang mengatakan bahwa seorang pejabat tidak boleh menggunakan kendaraan dinas. Pemakaian kendaraan dinas oleh pejabat sah-sah saja karena memang itu adalah fasilitas yang disediakan oleh negara demi menunjang kelancaran pekerjaan si pejabat tersebut. Tapi sebelum negara memutuskan untuk menyediakan kendaraan dinas bagi pejabat A, B, atau C, apakah tidak dilakukan peninjauan terlebih dahulu untuk menentukan kendaraan dinas jenis apa yang pantas dan layak digunakan oleh para pejabat? Apakah memang harus mobil atau cukup sepeda motor saja?
Saya melihat dengan kondisi jalanan di Siberut, yang hanya satu arah dan jarak tempuh dari rumah bapak pejabat kecamatan tersebut ke kantornya hanya 2,5 Km, cukuplah beliau tadi menggunakan sepeda motor saja sebagai kendaraan dinasnya. Tidak pantas rasanya beliau asyik hilir mudik dengan mobil dinasnya sementara masih banyak jalan-jalan rusak yang perlu diperbaiki di Siberut ini. Bahkan masih banyak dusun/desa yang belum ada akses jalan daratnya. Seandainya mobil dinas beliau tadi ditarik dan diganti dengan sepeda motor, tentu biaya perawatan dan operasional yang digunakan untuk mobil dinas tersebut bisa dialihkan untuk perbaikan atau pembangunan jalan.
Memang satu hal yang masih menjadi momok di negeri ini adalah watak para pejabat kita. Umumnya ketika sudah duduk ditampuk kekuasaan, mereka seolah terlena dan terbuai dengan segala kenyamanan dan fasilitas yang disediakan oleh negara. Hati nurani dibiarkan tumpul. Saya berharap semoga saja kisah 'Mobil Dinas yang Tak Pantas' di atas tidak terjadi di daerah lain di Indonesia. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H