Banjir yang melanda kota Kendari Sulawesi Tenggara merupakan yang terparah dalam beberapa dekade terakhir dan mungkin paling besar dalam sejarah banjir di kota ini. Saat tulisan ini dibuat ketinggian air mencapai 1-1,5 meter. Kejadian tersebut menjadi peringatan pada kita tentang pentingnya mengelola banjir. Predikat sebagai kota adipura seakan tidak punya arti lagi setelah banjir melanda. Banjir yang diikuti tanah longsor telah melumpuhkan ekonomi dan transportasi di kota ini yang beberapa bulan lalu menerima piala adipura. Tidak terhitung kerugian dari aspek materi namun juga telah meninggalkan trauma mendalam masyarakat
Evaluasi Banjir yang terjadi kali ini mau tidak mau perlu dievaluasi. Menurut hemat saya, evaluasi dialamatkan pada tata kelola pemerintah kota yang selama ini hanya memperhatikan aspek estetika namun abai terhadap ketersediaan fasilitas lingkungan. Selama ini pemerintah hanya memanfaatkan variabel kebersihan kota sebagai bagian penting namun lupa terhadap ketersediaan drainase yang semakin hari semakin tertutup tanah dan sampah. Dapat kita lihat setiap hari Jumat para pamong sibuk membersihkan sempadan jalan dan jalur hijau tetapi lupa akan kebersihan drainase yang semakin hari semakin tidak terurus. Harus diakui drainase di kota Kendari sangat memprihatinkan. Genangan air di beberapa ruas jalan dan pemukiman adalah bukti kecil dari ketiadaan drainase itu.
Massifnya konversi lahan menjadi perumahan dan ruko memberikan dampak yang tidak kecil terhadap perubahan lingkungan kota. Pembangunan yang hanya berorientasi ekonomi dan lupa terhadap aspek lingkungan. Celakanya, konversi lahan tersebut terjadi di daerah resapan. Sepanjang jalan By-Pass sebagai contoh, pembangunan perumahan dan ruko kian hari semakin tidak terkendali. Beberapa developer perumahan dan ruko hanya memberikan sedikit space dalam penyediaan drainase dan ruang hijau sebagai resapan air.
Selain itu, warga Kendari yang tidak terbiasa menghadapi bencana alam memerlukan pembelajaran manajemen resiko bagaimana menghadapi bencana. Tidak seperti halnya warga Jakarta yang telah beradaptasi dengan banjir atau warga Yogyakarta yang sudah beradaptasi dengan gempa dan letusan gunung berapi. Dan tentu peran pemerintah sangat dibutuhkan dan masyarakat sipil.
Hal ini menjadi menjadi masukan pula bagi pemerintah kota Kendari untuk mendesain ulang rencana pembangunan kota dengan memperhatikan isu-isu perubahan iklim dalam rencana pembangunan daerah sebagai upaya mitigasi dari banjir. Penting pula bahwa proses manajemen resiko bencana menjadi program pemerintah dalam proses pembangunan ke depan yang selama ini tidak pernah disuarakan dan sosialisasikan. Sudah waktunya pemerintah kota memberlakukan semacam peraturan daerah atau perangkat hukum lainnya tentang perubahan iklim dan pengurangan resiko bencana alam seperti halnya banjir.
Syahdan, banjir yang terjadi di Kota Kendari bagaimanapun tidak bisa hanya menyalahkan perubahan iklim tapi juga tentang tata kelola pemerintahan. Banjir terbesar dalam beberapa dekade terakhir ini merupakan gambaran akan menderitanya kehidupan masyarakat kota di tahun-tahun mendatang jika tidak ada upaya mitigasi dan perhatian oleh pemerintah kota Kendari.
Nb: terimakasih buat istriku atas kiriman foto2nya dan teman yang tidak sempat disebutkan namanya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H