Mohon tunggu...
Patta Hindi
Patta Hindi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lahir di Sulawesi Selatan, tapi tumbuh kembang di Kendari Sulawesi Tenggara I Mengajar di Universitas Swasta I fans klub Inter Milan I blog http://lumbungpadi.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyoal Kesiapan Pendidikan Indonesia Menyongsong AFTA 2015

13 Maret 2014   14:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:59 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering


Pemerintah harus dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui kualitas pendidikan. Jika kualitas pendidikan dan SDM telah mumpuni maka Indonesia berpeluang menjadi basis produksi dan menguasai pasar Asean Economic Community (AEC) 2015.

Harapan dari direktur bidang pendidikan Bappenas Subandi Sardjoko di media elektronik (Beritasatu 13/10/2013) sangat beralasan. Sudah menjadi rahasia umum sebuah negara seperti Indonesia yang masih berkutat pada persoalan pendidikan peran negara (baca: pemerintah) sangat diperlukan. Namun apakah harapan itu akan terwujud? Dan sudah siapkah pendidikan kita bersaing secara global? Bisa iya bisa tidak. Peran besar pemerintah selama ini toh tidak membuat pendidikan kita memimpin atau paling tidak sejajar dengan negara-negara tetangga lainnya sebut saja Malaysia yang konon pernah mengimpor guru dan dosen tahun 70-an dari Indonesia, atau negara kecil seperti Singapura yang kemajuan dalam dunia pendidikannya dapat sejajar dengan Jepang atau Amerika Serikat sekalipun.

Data statistik mungkin bisa menjelaskan kondisi pendidikan kita hari ini. Data UNDP 2012 menyebutkan Indek Pembangunan Manusia (IPM) kita berada di urutan 121—bandingkan dengan negara tetangga Malaysia di rangking 64, Singapura di rangking 18—dari 186 negara yang di survei. Demikian halnya daya saing dalam bidang matematika, sains dan membaca anak-anak Indonesia yang yang menurut penelitian organisation for economic cooperation and development (OECD) berada pada peringkat 64 dari 65 negara yang berpartisipasi. Kabar tidak sedap juga datang dari program milenium pembanguan MDGs 2015, beberapa indicator yang tidak berhasil tersebut selain kemiskinan, kesehatan, namun juga pendidikan. Data yang terhampar jelas ini menjadi bahan renungan tentang kesiapan kita menyambut pasar global ekonomi Asean.

Memang berbicara tentang dunia pendidikan kita seperti benang kusut yang sulit diurai. Masalah pemerataan akses pendidikan, gaji pendidik sampai tawuran menjadi persoalan yang terus mendera. Kondisi ini tentu akan berdampak pada kemampuan daya saing dari negara lain.

Masalah di dunia pendidikan kita sebenarnya menurut hemat saya terletak pada kurikulum. Pemberlakuan kurikulum yang konon mampu menjawab tantangan global ternyata menimbulkan banyak kerancuan sehingga menimbulkan pro dan kontra. Kurikulum baru ini menimbulkan persoalan seperti dehumanisasi, komersialisasi dan penurunan mutu karena proses adaptasi dari pendidik yang tidak siap dengan perubahan kurikulum yang begitu cepat. hal ini terjadi karena kurikulum kita ingin mencontoh bahkan meniru pola pendidikan asing yang belum tentu cocok dengan kontek sosial budaya masyarakat kita. Padahal kita punya pola pendidikan yang bernilai luhur seperti sekolah yang dibuat Ki Hadjar Dewantara yang memiliki ciri khas kebudayaan Indonesia.

Persoalan kurikulum baru itu sebagai contoh, kurikulum dengan metode student centre learning (SCL) tidak berjalan dengan maksimal karena kesiapan baik dari pendidik maupun peserta didik. Pengalaman saya mengajar mahasiswa sistem tersebut tidak berjalan dengan baik karena faktor warisan masa sekolah yang hanya mengandalkan guru sebagai pusat belajar. Mahasiswa tidak kreatif walaupun bahan bacaan yang berikan itu berlimpah. lain lagi cerita teman saya yang mengajar di SMA metode SCL juga tidak berjalan baik karena dia bingung apa yang disebut SCL itu. Ini hanyalah sedikit contoh dari masalah kurikulum kita. Pendidikan kita selama ini hanya menekankan metode hafalan jadilah peserta didik kita tidak mengembangkan kreasinya karena sifatnya pengajaran yang monologis. Peserta didik kita di Indonesia hanya ditekankan pada aspek kognisi namun melupakan aspek afektif dan psikomotorik.

Pelajaran yang bisa dipetik

Dan untuk menjawab permasalahan tersebut menurut saya adalah perlunya kurikulum yang tidak “bongkar pasang” yang bisa menghadapi tuntutan global dan tidak meninggalkan kekhasan Indonesia, meminjam istilah lingkungan think globally, act locally. Menurut saya hal perlu direnungkan kembali adalah, pertama. Kurikulum yang rencana, isi, pengaturan bahan kajian, dan penilaiannya yang kemudian dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran sebaiknya mengikuti kondisi sosial budaya Indonesia. Kita bisa kembali ke metode Bapak pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam sekolah taman siswanya.

Kedua, keseimbagan antara teori dan praktek. Selama ini banyak penyelenggara pendidikan tidak punya porsi yang jelas antara teori dan praktek. Sebagai contoh di kampus tempat saya mengajar kurikulumnya lebih banyak memuat teori dan sedikit sekali praktek. Hasilnya bisa diketahui, mahasiswa lebih banyak menghafal daripada praktek di lapangan. Akhirnya mahasiswa hanya pandai menghafal.

Ketiga, menjadikan Bahasa Inggris sebagai pengantar pengajaran, kita patut bersedih disaat menyongsong pasar global pelajaran Bahasa Inggris dihapus di sekolah dasar. Padahal seperti kita ketahui bahasa Inggris adalah bahasa global. Jika alasan karena rumus Bahasa Inggris itu sulit dicerna bisa dirubah dengan metode yang lebih menghibur dan dibuat lebih fun yang jelas peserta didik menikmati pelajaran apalagi ditambah visualisasi.

Keempat, penilaian seperti raport yang birisi angka-angka musti dikurangi atau ditambah dengan penilaian yang bersifat kualitatif. Misalnya peserta didik dinilai dengan memberikan tanggapan kekurangan dan kelebihan pada setiap mata pelajaran. Pengetahuan yang sifatnya kuantitatif tidak menjamin peserta didik untuk tidak tawuran, menyontek dan perbuatan amoral lainnya. Sudah saatnya penilaian kualitatif diterapkan di sekolah-sekolah atau di universitas.

***

Hemat saya Indonesia akan bersaing dalam bidang pendidikan jika prasyarat yang disebutkan diatas dapat terwujud. Untuk mewujudkan hal itu kita memerlukan pemimpin yang visioner yang memperhatikan pembangunan dan kemajuan pendidikan.

Akhinya, pasar bebas ekonomi Asean masih setahun lagi. Masih kesempatan untuk bersiap menghadapai pasar bebas Asean 2015. Dan tahun 2014 yang kita hadapi sekarang ini adalah tahun-tahun penting karena kita akan memilih pemimpin tempat dimana kita menaruh harapan.

Kita tentu berharap pada pemimpin terpilih nantinya memiliki itikad baik untuk membangun dunia pendidikan agar bangsa Indonesia menjadi pemimpin dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Saya masih ingat ceramah professor Anies Baswedan di suatu siang bahwa salah satu faktor penting dalam pembangunan bangsa adalah pendidikan. Pernyataan professor Anies Baswedan masih kontekstual dengan kondisi bangsa kita sekarang ini. Untuk itu optimisme musti tetap dinyalakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun