Karena itu, ketika berbicara tentang lulusan pun, mereka dengan sendirinya akan mengatakan, "Inilah para lulusan kami yang sudah kami cetak dan proses sedemikian rupa sehingga siap Anda pakai."
Kalau kecurigaan bahwa kampus memang subordinat dunia industri ternyata adalah hal lumrah yang sudah sepantasnya dimaklumi, ya baiklah.Â
Kalau memang faktanya demikian ya sudahlah. Namun aspirasi untuk mengasah kreativitas, daya berpikir kritis, orisinalitas, dan semangat kewirausahaan yang tidak jarang berakar dari cara pikir di luar kotak (out of the box)Â barangkali perlu dikaji ulang. Semua itu bertentangan dengan praktek penerapan standar baku dan keseragaman yang selama ini telah nyata-nyata membelenggu cara pikir sivitas akademik di banyak kampus.
Lalu apa alternatif yang lebih baik untuk menggantikan ungkapan "lulusan siap pakai" tersebut? Sederhana saja solusinya: hapuskan ungkapan itu dari wacana kampus baik ke dalam maupun ke publik luas. Ganti saja dengan yang lebih elok: "Kami melahirkan para lulusan yang mempunyai semangat juang, siap untuk berpikir kritis, kreatif, dan berkarakter baik."
Melahirkan, bukan mencetak. Ya, karena kata "melahirkan" lebih menyiratkan perjuangan dan pergumulan di dalam untuk kemudian melepas sang bayi itu lahir sebagai insan yang sehat dan menatap mantap ke masa depan, entah apapun bentuknya masa depan itu . . .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H