Mohon tunggu...
Patrik Tatang
Patrik Tatang Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti, Pengamat, Penulis Lepas

Seorang Analis, Peneliti Independen. Perhatian utama pada Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tantangan dan Masa Depan CPO (Minyak Sawit), Biodiesel, dan Energi Murah

2 Januari 2019   16:20 Diperbarui: 2 Januari 2019   18:14 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minyak berbasis Tanaman (oil crops) yang paling populer adalah sawit (cpo), akan tetapi di negara-negara terutama eropa, china dan kanada telah mengembangkan minyak berbasis Canola (Rapeseed), walau produktifitasnya hanya 1/5 Sawit dalam menghasilkan minyak, tapi dari segi kecepatan dan kesesuaian lahannya serta independensinya sangat menjanjikan bagi negara-negara yang selama ini mengimpor CPO dari Indonesia dan Malaysia.

Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah antisipasi dengan semakin berkembangnya minyak Canola yang merupakan produk pengganti (substitusi) CPO dengan menduduki peringkat 2 Dunia saat ini.

sumber: ERS
sumber: ERS
Disamping produk saingan seperti minyak canola, masa depan sawit sebagai solusi energi murah terbarukan biodiesel juga akan menghadapi produk pengganti berupa energi listrik. Dengan adanya pengembangan teknologi reaktor nuklir generasi IV berbasis Thorium, maka supply energi murah dan masif akan di dominasi oleh energi listrik.

Kombinasi dari alternatif produk diatas akan mempengaruhi bisnis sawit dalam 10 tahun kedepan. Dunia akan semakin kompetitif, energi akan semakin murah, tidak ada lagi namanya krisis energi. Daya saing produksi akan semakin ketat bagi negara-negara yang tidak mampu menyediakan sumber energi murah berbasis listrik kedepannya.

Saat ini Eropa dan Kanada menjadi leading sektor untuk produksi Minyak Canola (Rapeseed). Dan untuk produksi listrik murah, China dan India menjadi leading sektor untuk penelitian dan implementasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir berbasis Thorium, disusul oleh Belanda dan Kanada.

Indonesia harus mampu melakukan lobi dan sinergisasi teknologi baru secepatnya, agar kita tidak menjadi negara konsumtif, melainkan produktif mampu bersaing secara kompetitif dengan negara-negara lainnya.

Kebijakan-kebijakan inovatif dan adaptif sangat dibutuhkan pada tingkat pusat guna memberi dukungan dan percepatan untuk mengatasi persoalan daya saing ini.

Dibutuhkan Pemimpin yang memahami bagaimana Indonesia menjawab tantangan daya saing pada konteks kerjasama internasional. Indonesia harus dapat menjalin kemitraan global dan penguatan institusi sebagaimana yang telah disepakati bersama oleh 193 kepala negara (25 September 2015) dalam upaya mewujudkan "Sustainable Development Goals #SDGs" alias Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun