Stasiun Manggarai, sebagai pusat transit utama di Jakarta, telah menjadi potret dari tantangan transportasi publik yang semakin kompleks. Kepadatan yang terjadi setiap harinya menggambarkan bagaimana infrastruktur yang ada harus berjuang untuk mengimbangi kebutuhan mobilitas yang terus berkembang. Bagaimana sistem KAI dan peran pemerintah dapat memberikan solusi yang berkelanjutan untuk situasi ini menjadi pertanyaan yang layak kita renungkan.
Stasiun Manggarai, yang kini berfungsi sebagai simpul utama dalam jaringan transportasi kereta api di Jakarta, mencerminkan dinamika kompleksitas sistem transportasi perkotaan di ibu kota. Setiap hari, ratusan ribu penumpang bergerak melalui stasiun ini, menciptakan gelombang keramaian yang sering kali tampak sulit dikendalikan. Fenomena ini tidak hanya menunjukkan intensitas mobilitas masyarakat Jakarta, tetapi juga menggarisbawahi tantangan fundamental dalam sistem transportasi publik yang dihadapi PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan pemerintah Indonesia dalam mengelola mobilitas urban yang efektif dan berkelanjutan.
Stasiun Manggarai mengalami lonjakan jumlah penumpang terutama karena perannya sebagai stasiun transit utama yang menghubungkan berbagai rute commuter line di Jabodetabek. Sejak Manggarai diresmikan sebagai pusat penghubung (hub) bagi berbagai jalur KRL Jabodetabek, stasiun ini tidak lagi berfungsi hanya sebagai titik pemberhentian, melainkan menjadi persimpangan di mana banyak jalur bertemu. Akibatnya, penumpang yang transit di Manggarai tidak dapat dihindari, karena keterbatasan alternatif rute yang tersedia. Hal ini menimbulkan ketergantungan besar pada Manggarai sebagai simpul transit, menyebabkan kepadatan yang hampir tidak terelakkan pada jam-jam sibuk.
Faktor utama yang memperparah situasi ini adalah keterbatasan infrastruktur pendukung serta minimnya ruang fisik untuk pengembangan. Sebagai stasiun yang terletak di daerah padat penduduk, pengembangan fasilitas di Manggarai menghadapi tantangan besar. Kapasitas peron yang terbatas, minimnya akses tangga dan lift, serta ruang tunggu yang tidak mencukupi adalah masalah yang kerap kali menciptakan situasi tidak nyaman bagi penumpang. Antrean panjang di pintu masuk dan kepadatan yang terjadi di tangga serta peron menggambarkan kesenjangan antara kapasitas stasiun dengan volume penumpang yang terus meningkat. Kondisi ini mengindikasikan ketidaksiapan infrastruktur dalam menghadapi peningkatan jumlah penumpang yang terus-menerus.
Masalah ini mencerminkan tantangan yang lebih luas dalam perencanaan transportasi publik. Transformasi Stasiun Manggarai menjadi stasiun hub tidak disertai dengan peningkatan kapasitas yang memadai untuk mengakomodasi pertumbuhan jumlah penumpang. Keterbatasan kapasitas ini menunjukkan kurangnya penyesuaian manajemen dan pengembangan infrastruktur yang proporsional dengan beban operasional stasiun. Oleh karena itu, situasi di Stasiun Manggarai seharusnya menjadi refleksi kritis bagi PT KAI dan pemerintah dalam merancang kebijakan transportasi publik yang lebih komprehensif dan berorientasi ke masa depan.
Salah satu rekomendasi untuk mengatasi permasalahan ini adalah perbaikan manajemen penumpang yang lebih efisien. PT KAI dapat mengadopsi sistem pengaturan arus penumpang yang lebih baik dengan memperjelas jalur untuk keluar dan masuk, menambah fasilitas tangga dan lift untuk mengurangi potensi penumpukan di titik-titik tertentu, serta memanfaatkan teknologi informasi untuk menyediakan panduan digital secara real-time kepada penumpang. Informasi yang akurat dan tepat waktu mengenai rute dan jadwal kereta dapat mengurangi kebingungan dan membantu mengatur arus penumpang dengan lebih efektif.
Selain perbaikan manajemen internal di Manggarai, pengembangan stasiun hub tambahan di wilayah strategis lainnya harus menjadi prioritas untuk mengurangi beban Manggarai. Langkah ini dapat memberikan alternatif bagi penumpang sehingga distribusi penumpang dapat lebih merata. Selain itu, integrasi moda transportasi publik, antara KRL, MRT, LRT, dan TransJakarta---harus terus ditingkatkan. Integrasi ini bukan hanya soal konektivitas fisik, tetapi juga menyangkut sinkronisasi jadwal dan sistem tiket yang terintegrasi, sehingga memudahkan penumpang dalam berpindah moda tanpa hambatan administratif atau waktu yang signifikan.