Menurut saya, kasus yang saya ungkapkan kali ini, yaitu sebuah kasus mengenai pelakuan seksual terhadap mahasiswa dengan judul "Lecehkan Mahasiswi UHO Kendari, Profesor B Dituntut 2,6 Tahun Penjara" adalah kasus tersbeut memiliki beberapa sisi yang harus kita analsiis terlebih dahulu sebelum melompat ke kesimpulan. Pertama adalah suasana yang dapat berada di mana dan kapan kasus tersebut dapat terjadi. Dari artikel dari Kompas, kita dapat baca bahwa kejadian pelakukan seksual oleh Professor B terjadi di rumah professornya sendiri, dan dapat berada di sebuah suasana di mana hanya terdapat kedua subyek, yaitu RA dan Prof B. Berikutnya melihat tingkat ketakutan RA untuk tidak langsung melaporkan kepada polisi atas kedua kasus pelecehan yang dilakukan oleh Professor B atas nilainya yang takutnya dikurang dan beliau tidak diloloskan oleh Professor B. Ini menu jukkan dan menerangkan betapa hancurnya sistem dan hierarki perguruan tinggi saat ini, di mana nilai dan kelulusan dipentingkan dibanding dengan kenyamanan mahasiswa, dan betapa kacaunya kuasa dosen atas emosi dan kenyamanan mahasiswa.
Fakta yang dapat mendukung pernyataanku bisa dilihat dari penjelasan yang diberikan oleh Kompas. Kita bisa baca bahwa pelaku dilecehkan saat menyerahkan tugasnya saat datang ke rumah dosen, Prof B, dan setelah mereka berbincang mengenai penyetoran nilai. "Dugaan pelecehan tersebut terjadi di rumah sang dosen saat RA menyerahkan tugasnya. Mereka kemudian duduk berhadapan dan RA pun menyetorkan nilai lalu berbincang sebentar." Seterusnya, saat RA pamit pulang, dosen berdiri dan membuka masker RA lalu menciumnya. "Namun saat pamit pulang, dosen ikut berdiri dan membuka masker RA lalu menciumnya." Suasana tersebut tergolong ke dalam saat yang tidak tepat, setidaknya tanpa izin dan konfirmasi dari korban. Sifat memaksa dari dosen hanya mengamplifikasi situasi terhadap kasusnya, dan menggambarkan Prof B dalam lampu yang negatif, sehingga bisa terlihat bahwa beliau melakukan pelecahan seksual.
Professor B didugah sudah melakukan pelecehan tersebut lebih dari sekali, yakni sudah dua kali. "Menurutnya pelecehan yang dilakukan Prof B sudah dua kali terjadi. Lokasinya sama yakni di rumah sang dosen yang ada di kawasan perumahan dosen di Kelurahan/Kecamatan Kambu, Kota Kendari." Saat itu juga, RA takut melaporkan kasusnya ke polisi atas nilainya yang direndahkan dan tidak diloloskan oleh Professor B. "RA sempat takut melapor ke polisi karena ketakutan mendapatkan nilai jelek dari pelaku."
Professor B dari Universitas Halu Oleo tertangkap atas pelakuan seksual terhadap mahasiswa Fakultas Perguruan dan Ilmu Pendidikan UHO Kendari, Sulawesi Tenggara. Prof B dituntut hukuman pidana 2 tahun 6 bulan penjara atas kelakuannya, dengan denda sebanyak Rp50 juta, subsider 6 ulan kurungan. Dugaan pelecehan terjadi di rumah sang dosen saat RA (korban dari pelakuan seksual) menyerahkan tugasnya.
Kasus pelecehan seksual yang melibatkan Profesor B terhadap mahasiswinya di Universitas Halu Oleo dapat diibaratkan sebagai sebuah kapal megah yang mulai tenggelam perlahan karena ada celah kecil di lambungnya yang dibiarkan terus menganga. Dalam analogi ini, Profesor B adalah kapten kapal yang seharusnya bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan para penumpangnya, yaitu para mahasiswa. Sebagai kapten, ia memiliki otoritas dan kepercayaan penuh dari awak kapal dan penumpang. Namun, alih-alih melindungi mereka, kapten ini justru menyalahgunakan posisinya untuk merusak kapal dari dalam, secara perlahan tetapi pasti.
Mahasiswi yang menjadi korban, dalam hal ini RA, bagaikan seorang penumpang yang menyadari bahwa air mulai masuk ke kapal. Ia tahu ada yang salah, namun ia terjebak dalam dilema yang berat. Jika ia melaporkan kebocoran tersebut, ia khawatir akan dikeluarkan dari kapal atau bahkan dilempar ke laut oleh sang kapten. Kekhawatiran ini mewakili ketakutan RA terhadap kemungkinan dihukum secara akademis, misalnya nilainya diturunkan atau ia tidak diluluskan, jika ia berani berbicara melawan otoritas sang profesor.
Sementara itu, sistem pendidikan tinggi yang ada, dengan hierarki yang kaku, dapat diibaratkan sebagai undang-undang kapal yang secara tidak langsung melindungi tindakan kapten meskipun ia jelas-jelas melakukan kesalahan. Peraturan ini menyulitkan para penumpang, terutama mereka yang tidak memiliki kekuasaan, untuk menentang kapten yang seharusnya menjadi pelindung mereka. Akibatnya, celah kecil di lambung kapal tersebut terus melebar, memungkinkan lebih banyak air masuk, yang pada gilirannya mengancam seluruh kapal. Jika dibiarkan, tidak hanya sang penumpang yang akan tenggelam, tetapi juga reputasi dan integritas kapal itu sendiri, dalam hal ini, institusi pendidikan.
Ketika air mulai memenuhi kapal, bukan hanya seorang penumpang yang terancam, tetapi seluruh kapal dan semua yang ada di dalamnya. Begitu pula, jika tindakan Profesor B dan sistem yang memungkinkan perilaku semacam ini tidak segera diperbaiki, seluruh institusi, termasuk para mahasiswa lainnya, akan terkena dampaknya, merusak kepercayaan publik dan meruntuhkan fondasi moral serta etika yang seharusnya menjadi landasan utama dari dunia pendidikan.
Penyunting: Gregorios Farrell Purnomo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H