Yogyakarta, Pers IMaKo -- Sekolah Tinggi Pembangunan masyarakat Desa "APMD" kembali me-launching buku baru yang berjudul Hilangnya Penghidupan Desa, dengan narasumbernya yakni Mba Bekti dan Mas Hendri. Kegiatan launching yang mengikutsertakan dosen, staf, dan mahasiswa ini, dilaksanakan di Hall kampus APMD, Kamis (16/11/2023).Â
Buku yang ditulis oleh beberapa civitas APMD ini, memliki poin menarik yang dibahas yakni wacana mengenai desa yang tidak umum atau isu struktural seperti masalah ketimpangan, ketidakadilan, desa yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya, dan desa yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat. Sehingga tidak hanya sekadar wacana terkait pemberdayaan secara teknis di desa atau bantuan bagi desa, melainkan lebih pada isu-isu struktural tersebut.
Mba Bekti yang merupakan alumni APMD, berharap buku ini dapat menginspirasi publik untuk mengangkat wacana isu-isu struktural di desa. Bagi civitas akademik di APMD, buku ini menjadi langkah awal untuk melakukan akselerasi, riset, sumbangsih kepada kebijakan, kajian mengenai bagaimana isu-isu struktural direspon.Â
APMD memiliki tugas yang besar untuk merumuskan isu tersebut secara detail dan menerjemahkan gagasan besar terkait dengan hilangnya penghidupan di desa karena ketimpangan dan politik yang tidak adil. Hal tersebut kemudian diterjemahkan dalam advokasi oleh kampus, akademisi, lembaga pemerintah, dan gerakan mahasiswa yang kemudian diformulasikan secara konkret untuk mewujudkan suatau gerakan bersama yang bisa dilakukan.Â
Di sisi lain buku ini bisa menginspirasi berbagai elemen dengan memberikan perspektif baru dalam melihat desa. Bagi mahasiswa pun buku ini dapat menjadi modal riset, Misalnya dalam program-program yang dilakukan di desa apakah sudah efektif dalam menangani kemiskinan atau isu-isu struktural lainnya, pemberian program pada desa yang sumber dayanya diambil sehingga masyarakat tidak berdaya, ataupun memberikan subsidi atau bantuan bagi nelayan namun wilayah tangkapan ikan nelayan dirampas atau bahkan para nelayan bertarung dengan kapal besar yang mengeksplorasi ikan. Sehingga bantuan teknis yang diberikan pun percuma jika sumber daya penghidupan masyarakat diambil.
Berdasarkan atas pidato yang disampaikan sebelumnya oleh Bu Nining selaku ketua panitia Dies Natalis APMD ke-58 tahun, kegiatan launching menjadi sarana untuk refleksi serta evaluasi kinerja terkait dengan Tri Dharma terhadap desa apakah hanya dijadikan sebagai situs proyek saja atau sudah berubah, dimana program pusat ditentukan di desa sedangakan desa tidak memiliki Prakarsa. Misalnya desa menjadi situs ekologi, kemiskinan, dan lainnya apakah sudah berubah hari ini? Sehingga ini kemudian menjadi suatu pertanyaan besar, sehingga Tri Dharma yang dilakukan mampu memberikan perubahan yang signifikan.Â
Desa menjadi tempat hidup dan penghidupan, namun yang terjadi hari ini ialah banyak orang desa yang hidup di kota, sehingga masyarakat yang tinggal di desa kebanyakan orang tua dan anak-anak. Kemudian yang perlu diperhatikan ialah bagaimana desa menjadi sumber hidup dan penghidupan hal ini juga menjadi PR terbesar. Misalnya di desa wisata, masyarakat tidak perlu pergi ke kota untuk mendapatkan uang karena masyarakat bisa mengelola ekologi mereka bersama baik itu mata air, sawah, dan sumber daya lainnya. Tentunya pemerintah perlu memperhatikan akses masyarakat desa dalam mengelola sumber daya yang dimiliki.Â
Selain itu juga SDM-nya perlu diperhatikan, dimana saat ini bisa dilihat bahwa para petani kebanyakan yang sudah berumur sedangkan yang usianya masih muda jarang ditemukan. Dengan demikian generasi penerus sangat dibutuhkan dalam mengelola kebutuhan pokok manusia, sehingga ide petani milenial terus digaungkan namun seberapa besar ide tersebut menyentuh anak-anak muda dan inilah yang kemudian menjadi tantangan bagi generasi muda terutama juga oleh mahasiswa. (Eck)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H