Public speaking adalah salah satu skill yang sangat dibutuhkan dalam berbagai bidang profesi atau pekerjaan. Lewat teknik public speaking yang baik seseorang akan menangkap makna atau pesan dengan tepat. Hal ini dapat meminimalisir mispersepsi tentang sebuah informasi.
Sama halnya dengan kemampuan komunikasi lektor di gereja dalam membacakan sabda Tuhan. Jika lektor mampu membacakan bahan bacaan dengan artikulasi yang jelas, intonasi yang tepat, power yang pas, disertai dengan eye contact kepada audiens maka audiens akan lebih mudah memahami pesan dari bacaan tersebut.
Sebagai bentuk dukungan untuk para lektor Gereja Katolik Santo Paulus, Bandung, tim pengurus lektor dari Gereja Santo Paulus mengadakan event berupa talkshow public speaking yang mengundang Astrid sebagai pembicara.Â
Emaya sebagai ketua lektor dari Gereja Paulus, Bandung berharap para lektor dapat memahami isi bacaan sebelum bertugas dan dapat menyampaikannya dengan penjiwaan yang sesuai. Pada kegiatan talkshow tersebut, pembicara didampingi oleh MC bernama Ria yang memandu lajunya acara.
Pada sesi pertama, para peserta diajak untuk lebih mengenal diri lewat permainan kartu dan mengidentifikasi secara personal hal apa yang menjadi keunggulannya selama ini. Apakah sudah baik dalam hal relasi sosial dan mengutamakan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, atau punya keterampilan berpikir kritis yang tajam, sehingga cerdas dalam memahami setiap isi dari bacaan yang ada, kreatif ketika berhadapan dengan tantangan dalam tugas sebagai lektor.Â
"Jadi kalo misal merasa dirinya itu punya kemiripan dengan kartu gambar wand atau tongkat itu artinya orangnya kreatif, mungkin pas tugas lektor tiba-tiba merasa ngeblank karena grogi. Nah kalo kreatif dia akan ambi jalan dengan tenang dulu, atur ekspresinya biar nggak keliatan panik," ungkap Astrid.Â
Selain lewat permainan kartu, pembicara yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu Psikologi ini turut mengajak para peserta menggambarkan jembatan, meskipun belum terlalu dijelaskan pada sesi pertama, namun menurut Astrid tujuan dari menggambar jembatan tak lain untuk mengajak para peserta lebih mindfulness. "Kadang kita ini orangnya nggak fokus. Misal punya masalah di sekolah sama teman, atau lagi ada berantem di keluarga terus kita mau tugas jadi kepikiran itu terus. Nah lewat gambar jembatan kita bisa lihat apa sih yang masih jadi fokus kita," jelas Astrid.
Dalam gambar jembatan, para peserta diminta untuk menggambarkan sesuatu yang ada di sisi kiri, berisi hal-hal atau pengalaman traumatik masa lalu atau sesuatu yang tidak disukai dan ingin ditinggalkan.Contohnya bisa berupa ditertawakan saat bertugas lektor atau diremehkan saat mau bertugas. Di sisi ujung kanan, peserta diminta menggambarkan hal yang ingin dicapai, contohnya menjadi lektor yang pemberani dan percaya diri saat bertugas. Sementara di tengah berisi tentang diri sendiri dan orang-orang yang selama ini mendukung dalam hal bertugas atau pun di kehidupan sehari-hari. Di bagian bawah jembatan ada orang-orang yang terkadang menjadi penghalang mencapai kesuksesan.