Di zaman modern ini, masih banyak stigma bahwa perempuan merupakan makhluk hidup yang lemah dan berada di bawah laki-laki. Banyak sekali masyarakat yang masih berpikiran kuno dan beranggapan bahwa pernyataan tersebut merupakan hal yang dapat dimaklumi. Budaya patriarki masih sangat kental di zaman modern seperti saat ini, walaupun telah banyak bukti yang menunjukkan perempuan dapat melebihi laki-laki. Budaya patriarki hampir merajalela di segala aspek dan bidang mulai dari pendidikan, ekonomi, hukum hingga politik. Adanya budaya patriarki menyebabkan kesenjangan dan ketidakadilan gender. Budaya ini menyebabkan perempuan terbelenggu dan tidak bebas. Selain itu, jika perempuan mendapatkan diskriminasi dari pihak lawan hal tersebut sudah wajar dan telah menjadi menjadi rahasia umum. Hal tersebut terjadi karena kurangnya atau lemahnya perlindungan hukum terhadap kaum perempuan di Indonesia. Sehingga dapat dilihat jika di masa kini budaya patriarki masih kental, apalagi di masa lampau. Pada masa penjajahan Jepang dan Belanda, perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan kecuali mereka yang berasal dari keluarga bangsawan atau kalangan priyayi bahkan dijadikan budak seks oleh mereka.Â
Budaya patriarki menyebabkan banyak masalah sosial seperti pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),hingga pernikahan dini. Masalah-masalah tersebut diperbolehkan terjadi karena adanya sistem budaya yang mendominasi dan penegakan hukum yang membiarkan masalah atau kasus tersebut dapat terjadi terus-menerus. Di dalam kasus KDRT, perempuan sebagai istri hanya diperbolehkan menuruti semua perintah suami dan memiliki keterbatasan dalam menentukan pilihan ataupun keinginannya. Suami boleh melakukan apa saja termasuk kekerasan apabila sang istri tidak menuruti keinginan atau perintah suami. Banyak perempuan yang sudah bekerja dan berpenghasilan namun terpaksa berhenti karena alasan sudah menikah dan itu pun merupakan permintaan dari sang suami maupun keluarga yang bersangkutan. Mereka menganggap bahwa perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi-tinggi dan bekerja yang pada akhirnya menikah untuk tujuan mengurus suami, anak-anak, dan hanya bekerja di dapur. Perempuan berhak mengenyam pendidikan tinggi dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa harus bergantung pada suami. Hal tersebut dilakukan untuk berjaga-jaga jika suami pergi entah meninggal, pergi karena selingkuh ataupun menikah dengan perempuan lain, dan berhenti menafkahi sang istri. Sehingga istri memiliki persiapan yang matang jika hal-hal tersebut dapat terjadi diwaktu yang tak terduga. Pendidikan ibu yang tinggi dapat menjadikan anak menjadi pribadi yang terdidik sejak dini dan ibu yang bekerja dapat menghidupi anak-anaknya tanpa perlu khawatir dan bergantung pada laki-laki maupun orang lain.Â
Pada kasus pelecehan seksual, pihak wanita akan selalu berada di pihak korban sedangkan laki-laki akan berada di pihak pelaku. Masyarakat beranggapan bahwa ego maskulinitas berkaitan erat dengan konstruksi dan pola pikir laki laki sedangkan femininitas diabaikan dan lemah. Mereka membiarkan laki-laki untuk menggoda perempuan seperti bersiul saat ada perempuan melintas di depan mereka. Perbuatan tersebut sudah dianggap wajar atau lumrah oleh masyarakat. Perempuan dianggap sebagai objek yang pantas menerima tindakan kekerasan dan pelecehan. Pada kasus pelecehan seksual, pihak perempuan yang menjadi korban sering dianggap sebagai sumber dari awal sebabnya pelecehan seksual terjadi. Mulai dari cara berpakaian (contoh: memakai celana pendek), tingkah laku, dan waktu saat kejadian pelecehan terjadi (contoh: malam hari), dapat menjadi alasan mengapa pelecehan seksual dapat terjadi. Nafsu atau syahwat yang besar merupakan satu hal normal yang dimiliki oleh laki-laki sehingga lagi-lagi perempuan dituntut agar menjaga setiap detail yang ada ditubuhnya, jadi jika terjadi pelecehan seksual maka perempuan dianggap tidak dapat menjaga kehormatan dirinya sendiri.Â
Pernikahan dini juga merupakan salah satu dampak negatif dari budaya patriarki karena wanita dianggap hanya bisa berkecimpung di dunia domestik seperti menyapu, mencuci hingga memasak. Selain itu perempuan yang menolak perjodohan tersebut maka mereka dianggap hina dan tidak tahu diri, karena adat yang membuat mereka memiliki keterbatasan untuk menolak perjodohan sehingga dapat membuat hal tersebut terjadi. Sehingga dengan terpaksa mereka harus menerima perjodohan agar tidak membuat diri sendiri dan keluarga malu.
Namun ada satu lagi yang membuat penulis bertanya-tanya mengapa jika ada laki-laki yang berperilaku seperti perempuan akan dihujat sedangkan perempuan yang berperilaku seperti laki-laki akan dipuji bahkan dianggap keren. Bukankah hal tersebut juga termasuk dampak negatif dari budaya patriarki? Seharusnya kedua hal tersebut mendapat perlakuan yang sama dan tidak berbeda. Sehingga dapat disimpulkan bahwa feminisme dianggap lemah dan tidak berharga.Â
Dari permasalahan-permasalahan di atas, seharusnya pemerintah peka dalam membuat hukum mengenai keadilan gender atau dan juga harus diikuti oleh masyarakat yang tidak terus-menerus melanggengkan budaya patriarki sehingga akan menghasilkan keadilan gender dalam segala bidang maupun aspek kehidupan. Bukan hanya hak asasi manusia saja yang perlu dilindungi, namun hak asasi perempuan juga harus diperhatikan dan dilindungi, sehingga perjuangan yang telah dilakukan oleh R.A Kartini tidak sia-sia dalam memperjuangkan hak asasi perempuan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H