Mohon tunggu...
Patricia Constance
Patricia Constance Mohon Tunggu... -

Seorang wanita dengan daya khayal luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

True Love

13 Juni 2014   09:32 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:56 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Prolog

Lalu tiba tiba ia tersadar. Tangan ini bukan tangan yang merangkulnya ketika ia merasa dunia telah berakhir. Apa yang ia lakukan? Ia kira begitu mata ini terbuka, dia langsung dapat mengenalinya. Tapi ini semua salah.

“ Dimana dia? Cepat katakan dimana dia!” teriak pria itu dengan frustasi.

“Maaf, maafkan aku, maaf,,” wanita di depannya hanya bisa menatapnya pasrah dengan berlinangan air mata. Entah apa yang harus dilakukannya ketika ia tahu pria ini tidak lagi sama seperti sebelumnya. Bukan dia lagi dalam hatinya.

Pria itu menatap liar ke seluruh penjuru. Begitu ia menyadari hal itu sia sia, ia langsung berlari, meninggalkan semuanya, meninggalkan semua orang yang melihatnya dengan heran.

Tuhan tolong jangan. Jangan biarkan aku kehilangan dia lagi.

Katanya sambil berlari tak jelas kemana. Lalu tiba-tiba ia melihat wanita itu. Ia mengejar wanita tersebut, separuh hidupnya. Ya separuh hidupnya! Ia berteriak memanggil nama wanita itu. Berharap wanita itu menengok dan menunggunya. Tapi sayang, wanita itu justru langsung berlari ke tengah jalan tanpa memperhatikan mobil merah dengan kecepatan tinggi hendak menuju ke arahnya. Dan tiba –tiba semua menjadi hitam,,,

Bab 1

Kelas masih setengah terisi. Seperti biasa, aku memilih bangku paling depan dekat dengan meja dosen. Ini bukan karena rajin atau ingin cari muka, namun kedua mata yang tetap tidak dapat menjalankan fungsinya meskipun sudah dibingkai dengan lensa minus 5 ini memaksaku untuk duduk di ‘kursi’ kehormatan itu. Saat ini merupakan Minggu ketiga semester keduaku, aku sudah mulai bisa mengenali siapa saja yang menjadi temanku di kelas pemasaran ini. Yang duduk di belakang kanan, adalah gerombolan Keshya dan kawan-kawannya. Tak sulit membedakan Keshya dan teman-temannya. Pakaian mereka yang luar biasa mini benar-benar pas dengan tubuh mereka yang seperti lidi. Di bangku depannya ada Nino, Nero, dan Nespa, “3N” yang sangat maniak games. Mereka terlihat serius mengamati laptop sambil menggunakan headset. Melihat serunya mereka bercakap-cakap dengan bahasa yang aku tidak pahami (“Dota” “Kancut” “Tembak”) sepertinya mereka sedang memanfaatkan fasilitas internet kampus dengan sangat baik. Lalu disebrangku, ada Priscilla dan kawan kawannya. Mereka bisa dikatakan golongan eksis di fakultasku. Beberapa dari mereka merupakan anak Senat dan pengurus UKM (menjadi pengurus UKM di semester kedua itu bisa dianggap luar biasa di kampusku). Priscilla sendiri merupakan anggota BPM dan sudah tidak terhitung berapa UKM yang dia ikuti. Sedangkan aku? Aku cukup bangga dengan statusku sebagai si “kupu kupu kampus”. Tak peduli dengan keramaian disekitarku, aku asyik dengan tab samsung dihadapanku mencari resep kue yang ingin aku coba minggu ini.

Namaku Kilat Badai Alessandra. Ibuku memang hobi memberikan nama anaknya sesuai dengan cuaca ketika ia sedang melahirkan. Aku lahir ketika badai besar mengamuk, oleh karena itu dia langsung tanpa ragu memberikan nama itu padaku. Kata orang nama adalah doa, dan sebagian bilang nama akan menunjukkan nasib anak itu ketika ia sudah dewasa. Tapi hal sebaliknya terjadi padaku. Tidak seperti kilat yang menggelegar dan membuat orang kaget serta tercengang terpesona akan keberadaannya, hampir tidak ada seorang pun yang pernah menyadari keberadaanku. Kakakku selalu menyebutku “ROCKIE” karena sifatku yang pendiam dan tubuh kaku yang aku warisi dari ayahku.

Jangankan melakukan kayang, bisa berdiri dengan kedua kaki tanpa terjatuh saja sudah syukur, dan bicara soal wajah, well memang wajahku biasa saja. Khas wanita keturunan Chinese pada umumnya. Sifatku yang pendiam dan kaku ini yang menjadi alasan utama predikatku sebagai si anti sosial sejati. Tapi tidak masalah, aku menyukai kesendirian. Rasanya menyenangkan bisa berada di duniaku yang tenang.

10 menit sebelum kelas dimulai, anak-anak lain mulai berdatangan ke kelas. Tak lama muncullah ibu dosen yang mengingatkanku pada Mrs Puff, salah satu karakter pada kartun favoritku, Spongebob. Bedanya dosen ku yang satu ini memiliki mata setajam silet dan suara cempreng layaknya Omas. ‘Aah’ aku mengeluh dalam hati sambil mengambil binder spongebob ku.

1 setengah jam yang membosankan dimulai,,,,

----

Aku tidak pernah ingat dengan nama asli dosen satu ini. Seluruh mahasiswa di kelas ku selalu memanggilnya dengan panggilan kesayangan “Ibu V“ kepanjangan dari “Ibu Vampire”. Konon kabarnya, dosen yang satu ini akan menghisap darah mahasiswa pelan pelan dengan tugasnya yang tidak kepritugasan. Mrs V masih asyik memanggil satu per satu nama mahasiswanya untuk absen. Begitu selesai, ia menutup buku absen dan menebarkan pandangannya yang tajam ke seluruh kelas.

“Oke. Dalam waktu 5 menit, saya ingin kalian semua membuat kelompok. Terdiri dari 2 orang, kumpulkan nama anggota kelompok dalam selembar kertas. Waktu dimulai dari sekarang!”

Ini adalah waktu yang paling dibenci oleh semua anti sosial diseluruh dunia. Mencari kelompok. ‘Sial’ maki ku dalam hati. Disaat-saat seperti ini aku biasanya hanya duduk diam sampai saatnya berakhir dan tersisa para kelompok yang anggotanya kurang atau yang tidak memiliki kelompok, sama sepertiku sehingga bisa kuseret menjadi kelompokku. Mrs V memandangku dengan tajam, karena hanya aku satu satunya yang duduk diam dan tidak berusaha mencari kelompok.

“ Oke waktu abis! Tunjuk tangan bagi yang belum punya kelompok” ucap Mrs. V. Aku mengangkat tanganku sambil melirik ke kanan dan ke kiri serta ke belakang. Betapa malunya ketika hanya akulah yang mengangkat tangan. Tanpa aku inginkan, semua mata memandang kepadaku. Yah hanya aku yang tersisa tanpa kelompok. Aku menyesali sekali mengapa jumlah mahasiswa di kelasku ganjil, paling tidak jika seandainya saja genap, aku tidak perlu menjadi objek yang dikasihani seperti ini. Saat ini aku hanya ingin menguburkan diri di lubang dalam-dalam.

Pada semester pertama kuliah, aku memang tidak memiliki teman yang akrab.  Sialnya di awal semester kedua ku di ini, hanya gerombolan Priscilla yang pernah sekelasku sebelumnya. Namun tentu saja, mereka tidak pernah mengalami yang namanya “tidak punya kelompok”.

“Kilat, kamu masih belum mendapat pasangan?” tanya Mrs V menghampiri. Aku hanya tertunduk malu.

‘Ah ibu tua ini. Sudah tau pake acara nanya lagi’ gumanku jengkel dalam hati.

“Hmm seharusnya kamu dapat pasangan. Jumlah murid di kelas ini genap. Coba saya cek dulu di daftar absen, mungkin ada yang tidak masuk” kata Mrs V, sambil kembali membuka buku absen.

Genap? Jumlah anak di kelas ini genap? Mana mungkin. Seingatku dari hari pertama aku masuk sampai hari ini, hanya ada 39 murid di kelas ini. 21 wanita dan 18 pria. Ah Ibu ini sudah pikun sepertinya’ pikirku sambil berusaha menghitung kembali jumlah mahasiswa di kelas dalam hati.

“Ah ini dia! Bastian Suryadiningrat! Mana orangnya?” Kata Ibu Dosen sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Tiba-tiba kelas yang sunyi senyap menjadi sangat ramai oleh bisikan,

Gerombolan Kesya terkikik sambil memandang dan menunjuk-nunjukku. Seseorang disampingku yang aku yakini kakak kelas yang megulang kelas memandangku dengan muka kasihan. Sedangkan “3N” hanya melongo mendengar nama Bastian. Anehnya, sekilas aku melihat tatapan tajam datang dari Priscilla.

Kasak kusuk yang semakin ramai ini membuatku penasaran. Bastian? Sepertinya aku tidak pernah mendengar nama ini. Meskipun aku seorang anti sosial sejati, tapi aku masih mengenali teman - teman 1 angkatan ku yang hanya berjumlah 80an orang ini pada masa pengenalan kampus, dan seingatku tidak ada yang namanya Bastian.

“TENANG TENANG” teriak Mrs V menghentikan kasak kusuk tersebut. Lalu ia menatapku “Kilat, kamu akan berpasangan dengan Bastian. Dia memang belum masuk hari ini. Coba nanti kamu cek ke penasihat akademiknya, kemana si Bastian. Saya tidak mau tahu, 2 minggu lagi tugas ini harus terkumpul dengan nama kamu dan Bastian diatasnya. Dan ini peringatan bagi kalian semua, nilai tugas sama dengan nilai UAS. 50%!” Kata Mrs V  tersebut sambil tersenyum sadis.

‘Ah sial!’ maki ku dalam hati. Tapi apa boleh buat, mata Mrs V yang aku yakini berkilat layaknya kucing tidak menunjukkan tanda-tanda toleransi sedikit pun. Tugas yang diberikan memang sederhana. Kami diminta untuk mengunjungi beberapa supermarket di Jakarta, membandingkan promosi yang dilakukan tiap supermarket dan menulis laporan. Masalahnya, dalam laporan tersebut harus ada foto kedua anggota kelompok dan dipresentasikan. DIPRESENTASIKAN OLEH SELURUH ANGGOTA KELOMPOK. Artinya, aku tidak bisa berbohong dengan mengerjakan tugas itu sendirian.

Arggh Sial Kuadrat!

----

“No 54, no 53, no 51, aah ini dia no 50!”

Aku mengamati rumah yang besarnya hampir 3 kali rumahku. ‘Apa ini benar rumahnya?’ kataku dalam hati. Rumah bercat putih itu berdiri di depanku dengan gagahnya. Jujur, selain di TV, aku tidak pernah secara langsung melihat rumah sebesar ini. Kubaca lagi alamat yang diberikan oleh sekretariat kepadaku.

Bastian tidak pernah muncul dimanapun. Baik dikuliah pemasaran maupun di kuliah yang lain. Aku berusaha mengecek ke sekretariat, apa mungkin dia sedang sakit, namun ternyata tidak ada kabar sedikit pun. Aku mencoba bertanya kepada beberapa teman, yang sedikit memberikan informasi padaku, ternyata Bastian adalah kakak kelasku dan hanya itu informasi yang aku peroleh. Semua orang yang aku tanyai soal Bastian langsung pergi dengan memberikan ekspresi kasihan kepadaku tanpa memberikan informasi lanjutan. Bastian angkatan 2007, sedangkan aku angkatan 2009. Ini menjawab mengapa aku tidak pernah mendengar namanya.

Akhirnya setelah minggu pertama berlalu tanpa ada kehadiran Bastian, aku tidak bisa membiarkannya lagi. Maaf maaf saja kalau aku harus mengulang kelas dan diomeli oleh Ibu hanya karena seorang ‘BASTIAN’. Aku memberanikan diri meminta nomor handphone dan alamat Bastian ke sekretariat dengan alasan sangat ‘URGENT’. Handphonenya tidak aktif ketika aku hubungi. Oleh karena itu disinilah aku sekarang. Di depan rumah Bastian Suryodiningrat.

Aku memencet tombol bel yang terletak di depan pintu gerbang yang tingginya 3 kali tinggiku. Sekali,,,dua kali,,,tiga kali,,,tidak ada jawaban. Saat mulai putus asa, tiba-tiba kurasaan pundakku ditepuk. Seorang wanita dengan tas belanjanya yang penuh sayur dan ikan menatapku dengan pandangan penuh tanya. Umurnya kuperkirakan tidak jauh berbeda dengan umur ibuku. Hanya saja raut muka nya lebih sangar dibandingkan ibu ku.

“Maaf neng, neng siapa ya? Ada perlu apa?”

Awalnya aku hanya bisa menatapnya bingung. Jujur saja, aku tipe orang yang sulit berbicara dengan orang yang baru dikenal. ‘Tenang Kilat, tarik napas,,buang, coba pikirkan apa yang ingin kamu katakan’ aku coba menenangkan diriku sendiri.

“Emm, nama saya Kilat bu. Saya teman sekampus Bastian. Apa benar ini rumah Bastian? Bisa bertemu dengan Bastian?”

Mendengar nama Bastian, wajah ibu itu menjadi lebih ramah. Ia tersenyum, lalu mulai menjabat tanganku.

“Oh temennya si Abang ya neng. Ibu namanya Mbo Narsi. Ibu yang ngurus si Abang dari kecil neng. Abang sudah tidak tinggal disini. Emang ada urusan apa neng sampe nyariin Abang kesini?”

Aku sempat berpikir sejenak ‘Abang? Oh kayanya Bastian disini dipanggil Abang. Oke. Paling tidak, ini memang alamat rumah Bastian’ . Aku mencoba membiasakan diri dengan sebutan 'Abang' untuk Bastian lalu dengan tersenyum menjawab kepada si ibu “Saya datang kesini karena Bastian, eh maksud saya abang, sudah tiga minggu tidak masuk Bu. Saya ingin mengecek keadaannya sekaligus menyampaikan tugas selama dia tidak masuk”

Mbo Narsi terlihat sangat terkejut. Tanpa sengaja ia menjatuhkan tas belanjaannya dan menutup mulutnya.

“Astafirulahalazim neng. Betul si Abang tidak pernah kuliah lagi? Ya ampun. Si abang bener-bener deh” lalu Mbo Narsi melanjutkan “Abang sudah tidak tinggal disini neng. Tapi kalau neng mau, mbo bisa ngasi alamat Abang tinggal,”

Aku tersenyum lega dan dengan antusias mengiyakan. Mbo Narsi mengeluarkan sebuah notes dari tas kecilnya dan memperlihatkannya padaku sambil memintaku untuk mencatatnya. Aku segera mencatat alamat itu. Baru kusadari alamat ini tidak berada jauh dari rumahku. Kalau tidak salah ini merupakan sebuah rumah kost kumuh berlantai 5 yang sering ditempati oleh buruh pabrik yang bekerja di kawasan peindustrian dekat rumah ku. Aku mencoba meyakinkan lagi alamat tersebut pada Mbo Narsi. Masa anak gedongan tinggal di tempat kumuh kaya gitu, pikirku.

“Iya neng, bener kok. Ini Abang sendiri yang nulisin alamatnya. Abang ga mungkin bohong neng sama saya.” Kata Mbo Narsi yakin. Selintas aku melihat sinar keibuan dari mata mbo garang ini.

“Oh baiklah mbo kalau begitu. Terima kasih ya untuk alamatnya. Nanti, Kilat akan coba samperin ke alamat ini.” Kata ku sambil tersenyum manis.

“Neng, tolong sampeiin pesen Mbo ke Abang ya. Mbo kangen banget ama Abang. Tolong neng bilang ama Abang biar cepet pulang” kata Mbo Narsi dengan mata berkaca-kaca.

Pada detik itu, aku menyadari, sepertinya Bastian yang aku cari ini lebih misterius daripada yang aku duga.

---

Aku melangkah masuk ke bangunan kumuh ini. Tidak sulit menemukan alamat yang diberikan. Karena seperti yang kuduga, alamat ini tidak jauh dari alamatku sendiri. Berdasarkan pengamatanku, bangunan ini terdiri dari lima lantai. Tiap kamarnya memiliki jendela yang mengarah keluar. Ketika masuk, aku menemukan seorang laki-laki berusia baya yang sedang asyik memainkan playstation. Melihat ekspresinya, mengingatkanku pada si “3N”. Aku menghampiri bapak tua itu, menarik nafas dan bertanya,

“Permisi pak, apakah disini ada yang namanya Bastian?”

Bapak itu terlihat jengkel lalu tanpa mengalihkan pandangannya dari playstation, ia berkata “Lantai 3 kamar 2. Naik aja”. Tanpa pikir panjang, aku segera mengucapkan terima kasih dan menaiki tangga.

Tak sulit menemukan kamar Bastian. Aku berdiri di depan pintu kayu yang besar bewarna coklat itu dan mencoba mengetuknya “Permisi”, ucapku. Semenit, dua menit, tidak ada jawaban. Mungkin sedang keluar pikirku. Aku mencoba menunggu sambil duduk di kursi yang terdapat di depan kamar Bastian. Sambil menunggu  kukeluarkan tab ku. Kembali kulanjutkan pencarianku mengenai resep makanan. Tak terasa waktu makin sore. Aku begitu tenggelam dalam dunia maya. Sehingga ketika sebuah tubuh jatuh dihadapanku, yang bisa kulakukan hanya bengong dan menunggu beberapa detik sampai akhirnya aku sadar dan berteriak,

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHH”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun