Ekspedisi Forbes Wilson dan timnya ke Ertsberg berlangsung kurang lebih satu setengah bulan dengan menelusuri aliran sungai yang deras dan penuh risiko terseret arus, memanjat tebing-tebing yang tinggi dan terjal dengan risiko tergelincir dan jatuh ke jurang yang sangat dalam, melintasi hutan yang penuh lintah darat serta ancaman berbagai penyakit tropis seperti malaria. Ternyata tantangan ekspedisi di Tanah Papua lebih sulit dan lebih berat bila dibandingkan dengan medan-medan yang pernah dijelajahi Wilson di Amerika Selatan.
Ia bahkan hampir putus asa untuk meneruskan ekspedisinya walaupun pernah bertekad mengorbankan nyawa guna menemukan kembali Ertsberg. Berkat tekadnya yang terus membaja Wilson dan timnya tidak mengenal menyerah, dan akhirnya pada hari Kamis 16 Juni 1960, ekspedisinya berhasil menemukan kembali Ertsberg dan mengambil sample batuan yang diperlukan. Patut di catat bahwa keberhasilan ekspedisi ini tidak dapat dipisahkan dari peran kunci Moses Kilangin, seorang penduduk asli Papua suku Amungme yang direkomendasikan oleh Pater Koot di Kokonau untuk menjadi pemandu, juru bahasa dan juru runding dengan masyarakat setempat untuk bersedia menjadi pemikul barang dalam membantu memperlancar keberhasilan ekspedisi. Atas jasa-jasanya menyukseskan ekpedisi Wilson Forbes, Freeport menghargainya dengan mengabadikan namanya pada bandara yang dibangun untuk kepentingan operasional perusahaan di Timika yaitu Bandar Udara Moses Kilangin.
Setelah ekspedisi Forbes Wilson berhasil menemukan kembali Grasberg dan memastikan deposit tembaga yang terkandung di dalamnya, Freeport masih harus menunggu tujuh tahun lagi untuk masuk ke Indonesia karena terjadi perkembangan politik yang kurang menguntung, baik di Cuba dimana Freeport sudah berinvestasi maupun di Papua yang status politiknya sedang dipersengketakan antara Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 1 Mei 1963 melalui perantaraan Perserikatan Bangsa Bangsa Papua diserahkan kembali oleh Belanda kepada Indonesia sebagai bekas wilayah Hindia Belanda. Sementara itu pada tahun-tahun berikutnya Indonesia mengalami pergolakan politik internal antara kekuatan komunis dan nasionalis yang akhirnya melahirkan pergantian rezim pada tahun 1966. Freeport baru boleh masuk ke Indonesia pada tahun 1967, setelah pemerintahan yang baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto membuka pintu lebar-lebar untuk masuknya penanaman modal asing termasuk Freeport.
Membuka jalan ke lokasi tambang
Usaha pertama yang dilakukan setelah mendapat izin beroperasi adalah membuka jalan ke Grasberg dari dataran rendah ke dataran tinggi sepanjang kurang lebih 100 Km yang terus menanjak dari elevasi kurang lebih 5 meter sampai mencapai ketinggian 4300 meter di atas permukaan laut. Kegiatan tersebut merupakan suatu upaya raksasa yang hanya bisa berhasil berkat dukungan teknologi moderen seperti alat transportasi udara seperti helicopter dan dukungan sumber daya manusia yang tangguh dan tak kenal menyerah. Bagi mereka yang sudah pernah melewati jalan darat yang dibangun di punggung bukit-bukit batu yang terjal dan yang kiri-kanannya diapit oleh jurang-jurang yang dalam ke kota tambang Tembagapura masih bisa menyaksikan kedahsyatan tantangan alam yang harus ditaklukkan 50 tahun yang silam. Jalan tersebut setiap hari harus terus dirawat agar tidak longsor akibat curah hujan yang tinggi.
Kini dalam memasuki perayaan tahun emasnya, Freeport telah berkembang menjadi salah satu tambang tembaga dan emas terbesar di dunia yang terletak pada ketinggian sekitar 4000 meter di atas permukaan laut dan sedang mengembangkan sebuah tambang bawah tanah yang termoderen dan terbesar di dunia pada kedalam sekitar 1800 meter di dalam perut bumi, suatu maha karya anak bangsa yang sejak memulainya dianggapolehbanyak orangsesuatuyang“impossible” dan hanya “orang gila” saja yang mau melakukannya.
Memang sejarah panjang perjuangan manusia menaklukkan tantangan alam Papua yang maha dahsyat bukanlah suatu kisah romantis yang indah. Seorang pejabat Pemerintah kolonial Belanda, Jan van Echoud, dalam bukunya “Vergeten Aarde” (Bumi yang dilupakan) mengibaratkan Papua sebagai sebuah negeri dengan misteri gelap yang tantangan alamnya maha dahsyat dan hanya para petualang dan pemberani saja yang tertarik untuk menjelajahinya.
Pemerintah kolonial Belanda sendiri meskipun mengklaimnya sebagai wilayah jajahannya, seakan tak memedulikannya dan bahkan melupakannya sama sekali karena mengaggap tak ada sesuatu yang menguntungkan baginya di wilayah itu bila dibandingkan dengan pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku. Apalagi penduduknya dianggap “jahat dan kurang bersahabat.” Papua hanya menarik bagi manusia-manusia yang berjiwa petualang dan berkemauan baja untuk menaklukkan alamnya dan menyingkap misterinya yang gelap guna menemukan apa yang tersembunyi dibaliknya sebagaimana telah dibuktikan oleh Dozy dan Forbes Wilson dan timnya serta para penjelajah sebelumnya.
Tantangan-tantangan yang pernah dihadapi oleh Dozy maupun Forbes Wilson lebih dari setengah abad yang lalu sebagian sudah ditaklukkan dengan teknologi moderen namun sebagian masih tetap eksis sampai hari ini. Kondisi geografis yang bergunung-gunung, curah hujan yang tinggi, suhu udara yang berkisar antara 0 - 10 derajat Celcius, serta rawan terhadap bencana tanah longsor masih tetap merupakan tantangan-tantangan alam yang belum dapat ditaklukkan sepenuhnya. Para karyawan Freeport sejak awal sudah dibayang-bayangi ancaman keamanan dan keselamatan kerja khususnya yang bersumber dari tantangan alam tersebut.
Berkat dukungan teknologi mutakhir dan managemen berpengalaman, PTFI secara teknis berhasil mengendalikan tantangan alam tersebut dengan membangun infra-struktur pertambangan yang mampu mendukung kegiatan operasionalnya dan memperkecil risiko bahaya yang dihadapi sehingga dapat mempekerjakan ribuan tenaga kerja Indonesia dan khususnya orang asli Papua di tambang terbuka dan tambang bawah tanahnya, suatu tambang yang dijuluki “tambang di awan-awan” atau menurut istilahnya Dozy “tambang emas di bulan.”
Icon investasi asing pertama di Indonesia