PENDAHULUAN
PENGENALAN KARYA
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, sebuah novel, dengan nomor ISBN 979-418-055-6, yang diterbitkan di tahun 1938 yang 84 tahun kemudian masih dikenal banyak orang di Nusantara. Novel ini ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim atau yang lebih dikenal dengan Hamka dengan tebal buku 224 halaman. Karena sudah berdekade-dekade lamanya sejak buku ini pertama kali diterbitkan, novel yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” ini sudah melewati 22 kali percetakan. Genre dari novel ini adalah fiksi, namun tragedi tenggelamnya kapal terkenal bernama “Van der Wijck” betul pernah terjadi. Karakter-karakter dengan latar belakangnya masing-masing dan alur ceritanya lah yang berbentuk fiksi. Selain itu, buku ini bisa dikatakan buku bergenre romansa juga karena kisah buku yang fokus ceritanya adalah kisah cinta yang berakhir tragis antara kedua tokoh utamanya. Novel ini telah melalui banyak perubahan gambar cover buku. Dari cetakan pertama desainnya relatif simpel, dari yang warnanya agak monotone, menjadi cover buku dengan banyak warna pastel yang indah, dengan ilustrasi kota besar Nusantara di zaman penjajahan Belanda, disertai kapal Van der Wijcknya sendiri. Selain melewati banyak perubahan cover, novel ini juga diterbitkan oleh berbagai penerbit sejak pertama kali dirilis di tahun 1938.
Hamka, dengan nama asli Haji Abdul Malik Karim, adalah seorang sastrawan sekaligus ulama, wartawan, pengajar dan filsuf dari periode sastra pujangga baru. Beliau lahir di Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981. Selama hidupnya, selain menulis novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, karya sastra Hamka lainnya adalah Tafsiran Al-Azhar dan Di Bawah Lindungan Ka’bah. Selain berkecimpung di dunia sastra dan edukasi, Hamka pernah terjun di dunia politik. Pemilu 1955, beliau terpilih untuk duduk di Konstituante, mewakili Masyumi. Di tahun 1964, karena berbagai macam tuduhan di era dominasi partai komunisme di Indonesia, Hamka ditangkap dan ditahan di Sukabumi, sebelum bebas saat berakhirnya era kepresidenan Soekarno.
SINOPSIS
Novel ini dimulai dengan Pendekar Sutan yang membunuh salah satu keluarganya karena masalah warisan. Tentunya, Pendekar Sutan kemudian diasingkan selama bertahun-tahun karena perbuatannya itu. Tak lama setelah ia dibebaskan, Pendekar Sutan merantau ke Makassar sebelum bertemu dengan wanita yang kelak menjadi ibu dari anaknya, Daeng Habibah. Pendekar Sutan dan Daeng Habibah dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Zainuddin. Kedua orangtua dari Zainuddin tak lama kemudian meninggal, sehingga ia harus diasuh oleh Mak Base. Banyak tahun kemudian, Zainuddin merantau ke tanah kelahiran almarhum ayahnya, di Batipuh, Minangkabau. Sayangnya ia tidak disambut baik oleh keluarga ayahnya sebab Zainuddin sudah mereka anggap tidak memiliki hubungan darah di detik almarhum Pendekar Sutan menikahi istrinya. Namun, di Batipuh, Zainuddin bertemu dengan Hayati, si kembang desa. Seorang gadis yang sangat cantik dan berasal dari keluarga yang terpandang di Batipuh. Sayangnya, keluarga Hayati tidak menyetujui hubungan keduanya, sehingga Zainuddin diusir dari Batipuh, dengan janji dari Hayati untuk selalu setia kepadanya sebagai hadiah perpisahan.
Sayangnya, janji tersebut tidak bertahan lama. Hayati dilamar oleh Aziz, seorang pria Minang yang kaya dan gagah, dan berasal dari keluarga yang terpandang. Mau tak mau, karena tekanan keluarga Hayati, gadis itu kemudian menikah dengan Aziz. Zainuddin yang mendengar kabar ini tentu merasa patah hati. Kata sedih tidak cukup untuk menggambarkan perasaannya di saat itu, sebab Zainuddin sampai jatuh sakit karena kabar itu. Lelah karena begitu lama terperangkap dalam kesedihan, Zainuddin memutuskan untuk merantau ke Batavia bersama sahabatnya Muluk. Disana, ia menjadi seorang penulis dengan nama Tuan Shabir, dan ceritanya yang menceritakan kisah cintanya dengan Hayati, berjudul Teroesir, digemari banyak orang. Dari hidupnya yang melarat, ia menjadi kaya dan memiliki rumah yang sangat megah. Zainuddin kemudian pindah ke Surabaya, dan di kota ini, ia kembali bertemu dengan Aziz dan istrinya, Hayati, yang ternyata juga baru saja pindah ke kota Surabaya. Tak disangka, Aziz ternyata masih memelihara sifatnya yang penuh nafsu, yang kemudian membawa kehidupannya ke ambang kehancuran. Ia terlilit hutang sana sini, dan preman merampok rumahnya karena tak mampu bayar hutang.
Di sisi lain, Zainuddin masih memelihara sifatnya yang rendah hati, sehingga ia menawarkan rumahnya sebagai tempat tinggal sementara untuk Aziz dan Hayati. Sudah sadar akan kelakuannya yang tidak terpuji, dan tidak enak dengan Zainuddin, Aziz memutuskan untuk pergi dari rumah Zainuddin, sendiri, untuk mencari kerja. Istrinya, Hayati, ia minta untuk tetap tinggal bersama Zainuddin sampai ia mendapat kerja yang stabil, sebelum menjemput istrinya di kediaman teman barunya. Sayangnya, janji tidak bisa selalu ditepati. Aziz merasa dirinya tak pantas bagi istrinya. Ia sering memarahi istrinya tanpa alasan, dan mencemoohnya hanya karena Hayati datang dari desa. Aziz membunuh dirinya di hotel yang ditinggali, meninggalkan Hayati seorang janda. Di surat terakhir yang Aziz buat untuk istrinya, ia merelakan Hayati untuk kembali bersama Zainuddin, pria yang sampai sekarang masih istrinya cintai, ketimbang dirinya yang sudah sering berbuat jahat kepada Hayati. Dengan itu, Hayati berusaha memperbaiki hubungannya dengan mantan kekasihnya itu.
TEORI
Pada kritik sastra ini, pendekatannya akan menggunakan jenis kritik sastra mimetik. Kata mimetik ini berasal dari kata mimesis (bahasa Yunani) yang berarti tiruan. Plato, filsuf tersohor dari Yunani, pernah membuat sebuah teori akan teori mimesis. Teori mimesis tersebut berisi bagaimana seni-seni yang ada di dunia ini merupakan interpretasi terhadap alam dan kehidupan. Sehingga, pendekatan mimetik dalam kritik sastra ini berarti kritik sastra yang dibuat memiliki fokus pada hubungan isi karya sastra dengan kehidupan nyata, baik itu alamnya, kehidupan sosialnya, dan aspek-aspek lainnya. Saya sendiri memilih pendekatan mimetik sebagai landasan kritik sastra karena berbagai adat dan penggambaran strata sosial yang sangat kental terkandung dalam novel ini. Cocok untuk menggunakan pendekatan kritik sastra mimetik.