Tulang punggung pelayanan kesehatan di Indonesia adalah dokter(umum). Dengan jumlah dokter(umum) saat ini lebih dari 110.000 orang dan dokter gigi lebih dari 27.000 orang , mereka sebagian besar bertugas didaerah daerah mengisi Puskesmas Puskesmas yang menjadi pusat pelayanan kesehatan didaerah tersebut. Merekalah tulang punggung pelayanan kesehatan di Indonesia.
Tidak gampang bekerja di Puskesmas, apalagi puskesmas yang berada didaerah terpencil dan sangat terpencil, daerah kepulauan dan daerah perbatasan. Mereka terhukum oleh kondisi geografis, dimana sering akses ke Puskesmas itu sulit, apalagi akses kewilayah kerjanya. Mereka bekerja ditengah keterbatasan peralatan puskesmas. Jikapun peralatan ada, tetapi sebetulnya tidak layak dan sering tidak berfungsi karena sudah rusak.
Satu satunya andalan yang mereka miliki adalah sebuah stetoskop, Tidak salah memang jika salah seorang direktur BPJS menyatakan bahwa dokter di Puskesmas memeriksa hanya dengan memegang megang pasien saja. Tidak salah memang memeriksa pasien dengan hanya memegang megang saja dan mengandalkan stetoskop. Tetapi ini akan berakibat tingginya kasus rujukan dari puskesmas ke pusat pelayanan yang lebih tinggi.
Dengan kondisi saat ini, kita yakin bahwa masalah sebetulnya di Puskesmas bukanlah pada orangnya, karena siapapun ditempatkan di Puskesmas maka masalahnya akan tetap sama. Angka rujukan akan tetap tinggi dari Puskesmas. Andaikan Puskesmas dilayani oleh spesialis penyakit dalam juga akan tetap tinggi.
Tugas seorang dokter di Puskesmas bukan hanya pelayanan kesehatan, tugas mereka mulai dari Promotif, Preventif, Pengobatan dan Rehabilitasi. Mereka harus berkeliling seluruh desa dan dusun dalam wilayah kerja mereka. Menggunakan seluruh modalitas yang tersedia. Dan salah satu modal yang mereka miliki adalah dengkul mereka yang bisa membawa mereka menyeberangi sungai, mendaki bukit , melewati hutan. Sering mereka melewati hutan dan diiringi riuh rendah bunyi monyet yang berarti ada harimau didekat tempat tersebut. Menakutkan dan mengkhawatirkan, apalagi jika orang tua mereka tahu hal ini.
Kemampuan berimprovisasi, itulah yang harus mereka lakukan. Mereka harus mensiasati dan mengakali keterbatasan peralatan dan obat obatan yang mereka miliki. Tetapi mereka tetaplah bukan seorang tukang sulap yang mampu mengubah situasi dalam sekejap mata. Mereka tetaplah seorang manusia biasa dengan segala keterbatasannya.
Mereka bertugas 24 jam dalam sehari. Tak ada profesi lain yang bertugas terus menerus tanpa jam kerja. Disaat pegawai lain bertugas 8 jam sehari, 5 hari seminggu , maka mereka bekerja tanpa ada waktu jeda. Waktu jeda yang mereka miliki hanyalah saat minta izin ke Kepala Dinas atau Kepala Puskesmas untuk mengikuti seminar. Bahkan saat orang berlebaran, sering ada surat dari Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kepala Dinas Kesehatan, bahwa aturan libur itu tidak berlaku bagi Dokter Puskesmas. Mereka harus tetap bertugas disaat orang lain bersilaturahmi dengan keluarganya. Tidak ada lembur untuk kelebihan kerja. Harusnya 2 hari mereka bekerja mereka sudah bebas 5 hari berikutnya. Atau kalau mengikuti kerja pegawai lain dari jam 08.00 pagi sampai jam 16.00 lima hari seminggu. Diluar jam itu mereka bebas, tetapi itu tidak berlaku bagi mereka. Akan terjadi keributan di masyarakat jika mereka datang diluar jam kerja dan tidak dilayani, dan jika diekspose di media massa maka dokternya akan menjadi tersangka. Ini akan bisa dipolitisasi oleh orang yang berminat.
Coba, mana ada profesi lain yang seperti itu, mungkin hanya polisi yang bisa seperti itu. Tetapi polisi masih bisa bergantian dengan teman temannya. Kalau dokter berbeda, siapapun petugasnya yang bekerja bertugas dan berjaga , dokternya ya tetap itu juga. Lu lagi, lu lagi. Dan yang paling menyedihkan ini sering dimanfaatkan oleh penguasa dengan jargon pelayanan gratis, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Dan dokternya meringkuk di Puskesmas tanpa bisa membantah, jika membantah maka akan ada sanksi kepegawaian. Entah apanya yang gratis, padahal pelayanan tersebut dibayar oleh BPJS dan Pemda. 24 jam sehari, memangnya dokter robot yang tidak perlu istirahat.
Untungnya sebagian besar dokter masih menjunjung tinggi idealisme, mereka mau bertugas bersusah payah, berpergian jauh ke pelosok pedalaman melayani masyarakat, menyeberangi sungai, mendaki bukit, memanggul sepeda motor, naik perahu, merenung di pinggir sungai menunggu air pasang surut sehingga bisa menyeberang, berjalan malam dengan diterangi lentera yang bahan bakarnya karet yang diambil dari pepohonan karet warga yang berada di pinggir jalan. Mereka menjunjung tinggi idealisme dengan bayaran secukupnya, hanya kepuasan melihat pasien terlayani dengan baik, kepuasan melihat wajah sumringah masyarakat yang didatangi oleh dokternya. Sumringah dijamu oleh kepala desa/dusun yang bahagia warganya didatangi oleh Tim Kesehatan.
Uang, jangan ditanya masalah uang. Inilah bagian yang sensitif untuk dipertanyakan. Bukankah dokter ditakdirkan dan dibentuk untuk melayani masyarakat. Bukankah yang paling berharga adalah kepuasan pasien, itu melebihi pembayaran dengan apapun. Bukankah kebanggaan sebagai dokter itu adalah bayaran yang paling tinggi. Bayaran yang tertinggi adalah dari Allah SWT. Dan sering mereka menghibur diri sendiri, “ memang benar, bayaran paling tinggi adalah dari Allah SWT dan kepuasan telah membantu kesembuhan pasien. Alhamdulillah”.
Sementara kehidupan duniawi mereka harus tetap berjalan. Mereka tidak bisa mendapatkan makanan gratis, mereka tidak bisa mendapatkan transpor gratis, mereka tidak bisa memiliki rumah dengan hanya menunjukkan baju putih mereka yang sudah kotor karena sering turun ke lapangan dan tak punya uang untuk membeli yang baru.Mereka tidak bisa mengikuti seminar dengan gratis, mereka tidak bisa menginap di hotel jika mengikuti simposium di kota dengan membawa kartu BPJS atau KTP mereka yang menunjukkan identitas mereka. Mereka tetaplah manusia yang memerlukan segala sesuatu demi untuk keberlangsungan hidup mereka, hidup keluarga mereka.